ICW Ingatkan Presiden untuk Tolak Revisi UU KPK
Utama

ICW Ingatkan Presiden untuk Tolak Revisi UU KPK

Keputusan merevisi UU KPK memperburuk citra DPR dimata publik, pada saat bersamaan sebagian fraksi di DPR malah mendukung dana aspirasi Rp20 miliar per anggota dewan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho. Foto: SGP
Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho. Foto: SGP
DPR telah bersepakat memasukan Revisi Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK  dalam daftar Prolegnas prioritas 2015. Meski sejumlah fraksi di DPR mendukung revisi tersebut, Presiden Jokowi belakangan menolak melakukan revisi. Dukungan terhadap Presiden Jokowi pun datang dari pegiat anti korupsi.

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan usaha merevisi UU KPK bukan kali pertama terjadi. Pada 2012, DPR kekeuh akan melakukan upaya tersebut, namun gagal. Secara subtansi serupa yang pernah diusulkan untuk dibahas pada 2012.

“Pada tahun 2012 seluruh fraksi di DPR menyatakan menolak Revisi UU KPK. Kondisi ini berbanding terbalik dengan saat ini (tahun 2015) dimana seluruh fraksi setuju melakukan revisi UU KPK,” ujarnya di Kantor ICW, Kamis (25/6).

Emerson mencatat setidaknya terdapat lima isu krusial yang akan dimasukan dalam naskah akademik RUU KPK. Yakni,  pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetata rumusan ‘kolektif kolegial, dan pengaturan terkait dengan pelaksana tugas pimpinan jika berhalangan hadir.

Menurutnya, alasan merevisi kelima isu krusial itu tak dapat diterima. Pasalnya, kelima hal itu menjadi jantung kekuatan KPK. Keputusan melakukan revisi UU KPK dinilai memperburuk citra DPR dimata publik pada saat bersamaan sebagian fraksi di  DPR telah mendukung dana aspirasi sebesar Rp20 miliar per anggota dewan.

Dikatakan Emerson upaya sejumlah anggota dewan mempercepat revisi UU KPK ditengarai langkah ‘penyelamatan’ diri dan ‘balas dendam’ karena sejumlah elit partai pernah dijerat dan menjadi terpidana korupsi hasil dari penyadapan KPK. Begitu pula dengan tuntutan hukuman yang tinggi dari KPK. ICW sedikitnya mencatat 11 politisi Senayan dan parlemen daerah terjerat dalam perkara korupsi yang terungkap dari proses penyadapan yang dilakukan oleh KPK dan dituntut maksimal oleh jaksa KPK.

Saat ini Presiden memiliki posisi yang sangat penting untuk menyelamatkan KPK. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat, 19 Juni 2015 lalu menyatakan penolakannya terhadap agenda revisi UU KPK. Oleh karena itu, Presiden dengan kewenangan yang dimilikinya dapat menarik diri terlibat dalam pembahasan revisi UU KPK bersama dengan DPR RI.

Sebagaimana diketahui, Ketentuan terkait pembahasan bersama RUU antara pemerintah dan DPR diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 49 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan “Terhadap RUU Inisiatif DPR maka Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima”.

Berdasarkan ketentuan diatas maka jika dalam jangka waktu tersebut Presiden tidak menugasi menteri terkait untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan Revisi UU KPK, maka pembahasan tidak dapat dilakukan oleh DPR RI. Dengan demikian, proses pembahasan revisi UU KPK yang tidak dihadiri oleh pemerintah dapat dikatakan sebagai cacat hukum.

“Kami mendesak Presiden Jokowi untuk tetap konsisten mendukung penguatan KPK dengan cara menolak gagasan DPR memasukkan revisi UU KPK dalam Prolegnas 2015 dan tidak menunjuk wakil pemerintah dalam proses pembahasan Revisi UU KPK dengan DPR,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo, Eddyono menilai langkah DPR merevisi UU KPK dengan alasan pengaturan penyadapan salah alamat. Menilik akar persoalan, problem utama adalah tidak hadirnya aturan yang komprehensif mengatur mengenai penyadapan dari hilir ke hulu

“ICJR menilai bahwa merevisi UU KPK tidak akan menjawab masalah pengaturan penyadapan di Indonesia dengan beberapa alasan,” ujarnya.

Supriyadi menilai merevisi UU KPK hanya akan mempersoalkan satu lembaga semata, yakni KPK. Padahal pengaturan penyadapan saat ini pula menjadi kewenangan institusi lain seperti Kepolisian, Kejaksaan dan BNN. Menjadi penting DPR melakukan revisi seluruh aturan perundangan yang mengatur penyadapan dengan standar kontrol yang sama mengikat KPK, Polisi, Kejaksaan serta BNN.  “Pertanyaannya, kenapa hanya KPK?,” katanya.

Semestinya, DPR dan pemerinta membuat satu aturan penyadapan dengan tujuan harmonisasi dan singkronisasi peraturan perundangan. Oleh sebab itu, ICJR pun meminta DPR agar fokus pada semua aturan ketimbang hanya memperhatikan UU KPK. Menurut Supri, jika mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, maka UU KPK tentu tidak akan menampung seluruh persyaratan yang diminta dalam putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU ITE terhadap UUD 1945.

“Atas dasar alasan tersebut ICJR merasa bahwa DPR harus melihat secara jernih persoalan dalam pengaturan penyadapan di Indonesia. Niat DPR untuk merevisi UU KPK dengan alasan untuk  menjawab persoalan penyadapan tidak tepat, sebab persoalan utamanya adalah tidak adanya satu aturan yang komprehensif mengatur mengenai penyadapan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait