Penyandang Disabilitas Masih Sulit Akses Keadilan
Utama

Penyandang Disabilitas Masih Sulit Akses Keadilan

MA tidak berkeberatan apabila MA diminta untuk menerbitkan Perma terkait penanganan kasus difabel guna mewujudkan peradilan yang fair.

ASH
Bacaan 2 Menit
Acara peringatan satu dasawarsa HUT KY, Kamis (13/8), yang dimeriahkan dengan acara seminar tentang Kesetaraan Penyandang Disabilitas Dalam Sistem Peradilan. Foto: RES
Acara peringatan satu dasawarsa HUT KY, Kamis (13/8), yang dimeriahkan dengan acara seminar tentang Kesetaraan Penyandang Disabilitas Dalam Sistem Peradilan. Foto: RES
Persoalan akses kesetaraan bagi penyandang disabilitas ternyata tak hanya menyangkut infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan publik, tetapi juga minimnya akses keadilan (access to justice). Soalnya, prosedur hukum yang ada dalam beberapa kasus masih ditafsirkan secara tekstual, sehingga menghalangi hak-hak penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum baik berstatus sebagai saksi/korban maupun pelaku.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengingatkan prinsip hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan persamaan di hadapan hukum merupakan salah satu prinsip dari 26 prinsip yang tertuang dalam UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan (Ratifikasi) Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas. Ratifikasi konvensi ini harus diadopsi dalam draft RUU Penyandang Disabilitas terutama dalam upaya membangun kesetaraan hak penyandang disabilitas dalam sistem peradilan.

“Semua pihak juga perlu mendukung isu ini, mudah-mudahan Agustus ini RUU inisiatif DPR bisa segera dibahas,” ujar Khofifah saat membuka Seminar Nasional bertajuk “Kesetaraan Penyandang Disabilitas dalam Sistem Peradilan” dalam rangka memperingati Satu Dasawarsa Komisi Yudisial di gedung KY Jakarta, Kamis (13/8).

Dia menjelaskan prinsip hak kesetaraan di hadapan hukum ini termasuk hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam sistem peradilan. Menurutnya, dari prinsip ini akan sangat banyak instrumen aturan lebih rinci yang dibutuhkan. Misalnya, ada jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan hukum secara probono (gratis).

“Sangat mungkin, kita bisa mengumpulkan para lawyer yang bisa memberi bantuan hukum probono kepada penyandang disabilitas. Ini tentunya dibutuhkan aturan dan ruang untuk mengkonsolidasikan masalah ini,” katanya.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengatakan selama ini penyandang disabilitas sangat sulit mendapatkan akses keadilan ketika berproses di pengadilan baik jaminan sarana fisik maupun prosedur hukum yang ‘ramah’. Dia menjelaskan sarana dan prasana fisik di sejumlah lembaga hukum termasuk pengadilan masih didesain untuk masyarakat umum, belum mengakomodir aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Selain itu, prosedur hukum acara yang melibatkan penyandang disabilitas masih ditafsirkan secara kaku oleh aparat penegak hukum yang mengakibatkan hak-haknya terabaikan. Dia mengaku sudah melakukan kerja sama untuk meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum untuk menjamin pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas.

Baginya, tak kalah penting, pihaknya mendorong agar RUU Penyandang Disabilitas yang masuk Prolegnas 2015-2019 segera dibahas DPR. Hal ini untuk menjamin hak-hak hukum penyandang disabilitas terutama ketika berhadapan dengan kasus hukum.   

Direktur Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), Muhammad Joni Yulianto mengungkapkan dalam beberapa kasus yang didampingi penyandang disabilitas (difabel) kerap mengalami ketidakadilan dalam proses hukum. Misalnya, dalam kasus pemerkosaan seksual dimana difabel menjadi korban seorang tuna rungu, tetapi pihak kepolisian tidak bisa melanjutkan kasusnya dengan alasan tidak bisa menggali keterangan korban.

“Polisi terkadang berdalih, ‘korbannya tuna rungu, bicara saja tidak bisa, bagaimana mungkin kita mendapatkan bukti’, padahal bisa menggunakan penterjemah (bahasa tuna rungu). Ini seringkali menjadi salah satu hambatan dalam proses peradlilan,” keluhnya.

Karena itu, keberadaan RUU Penyandang Disabilitas yang saat ini ditunggu-tunggus sangat penting untuk menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi para difabel. Selain itu, Mahkamah Agung (MA) seharusnya bisa menerbitkan Peraturan MA (Perma) terkait mekanisme penanganan kasus yang melibatkan difabel pengadilan sekaligus memberi pemahaman bagi para hakim (khusus) yang berperpektif disabillitas. “Kita berharap masing-masing lembaga bisa berkontribusi untuk menyelesaikan terutama MA,” harapnya.  

Hakim Agung Eddy Army mengatakan prosedur hukum yang ada saat ini yang diterapkan bagi difabel masih belum berperpektif difabel. Hal ini disebabkan belum adanya ketentuan/aturan khusus yang menjamin kesetaraan perlakuan dalam sistem peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas termasuk di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, terutama ketika saksi korban tidak dapat memberikan keterangan memadai.

“Jadi, kekhawatiran perlakuan diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas dalam mengakses kesetaraan perlakuan di hadapan hukum bukanlah mengada-ada,” kata Eddy.  

Untuk itu, pihaknya tidak berkeberatan apabila Mahkamah Agung diminta untuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) terkait penanganan kasus difabel guna mewujudkan peradilan yang fair. Soalnya, UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat juncto UU No. 19 Tahun 2011 masih belum memadai. “Ini sambil menunggu RUU Penyandang Disabilitas disahkan DPR,” katanya.
Tags:

Berita Terkait