Nasib Revisi UU KPK di Tangan Presiden
Berita

Nasib Revisi UU KPK di Tangan Presiden

Melalui penerbitan Supres. Jika Surpres tidak diterbitkan, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak akan dapat dilaksanakan.

Oleh:
RED/ANT
Bacaan 2 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, lanjut tidaknya revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) berada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Presiden Joko Widodo menjadi kunci berlanjut atau tidaknya revisi UU KPK,” tulis Peneliti PSHK, Miko Ginting dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Minggu (29/11).

Ia menilai, sikap menyetujui dibahasnya RUU KPK menunjukkanketidakpekaan pemerintah dan DPR akan masa depan KPK dan pemberantasan korupsi. Padahal,dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Suatu RUU tidak akan dibahas tanpa persetujuan kedua belah pihak.

Terlepas dari usulan pihak yang mana, lanjut Miko, secara hukum presiden tetap memegang kunci lanjut atau tidaknya revisi UU KPK melalui instrumen Surat Presiden (Surpres). Presiden memiliki pilihan untuk menolak atau menyetujui pembahasan RUU KPK dengan penerbitan surat presiden.

Hal ini senada dengan bunyi Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal itu menyatakan, pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika presiden menerbitkan Surpres. Maka itu, tanpa adanya Surpres, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak akan dapat dilaksanakan.

Penerbitan Surpres juga mengkonfirmasi persetujuan presiden untuk membahas suatu RUU, melalui penugasan menteri terkait mewakili presiden. Apabila Surpres tidak dikeluarkan, berarti presiden mengambil sikap tidak menyetujui RUU dan menolak meneruskannya ke tahap pembahasan.

“Rangkaian pelemahan terhadap KPK dan agenda pemberantasan korupsi belum mereda. Mulai dari kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, penundaan pemilihan capim KPK, hingga kesepatan merevisi RUU KPK,” tutur Miko.

Ia berharap, Presiden Jokowi mengambil perannya untuk memperkuat KPK. Sesuai dengan pemberantasan korupsi yang dituangkan dalam Nawacita dengan tak menerbitkan Surpres dan menolak pembahasan. “Tanpa sikap yang jelas sama saja presiden menyetujui atau setidak-tidaknya mendiamkan semua rangkaian pelemahan KPK di era pemerintahannya ini,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, tak perlu alergi dengan keinginan pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK, karena keinginan itu bertujuan menata hukum menjadi lebih baik."Saya kira tidak perlu terlalu alergi dengan keinginan ini, seperti yang dikatakan JK (Wapres Jusuf Kalla) tidak ada yang sempurna. Jadi yang tidak sempurna itu harus disempurnakan," katanya di Palembang, Senin (30/11).

Setelah membuka Kejuaraan Atletik Antarpenjaga Penjara se-ASEAN di Kompleks Olahraga Jakabaring, ia mengatakan, sudah saatnya bangsa ini mengevaluasi UU KPK karena mendapati kenyataan bahwa selama 15 tahun sejak penerapannya tetap tidak menjauhkan Indonesia dari urutan ke-100 indeks korupsi di dunia.

"Padahal, Indonesia termasuk negara yang paling banyak memenjarakan kepala daerah dan menteri, tapi mengapa indeks korupsinya tidak bergerak signifikan, ada apa? " katanya.

Ia mengharapkan, berbagai pihak tidak menilai keinginan ini sebagai suatu yang negatif karena DPR juga telah memastikan akan memanggil wakil dari KPK untuk meminta masukan. "Pemerintah juga mendapatkan laporan dari DPR bahwa keinginan untuk merevisi UU KPK ini tidak seheboh dulu, itu pun yang sempat heboh karena terprovokasi saja," katanya.

Terkait materi UU yang akan direvisi, ia mengatakan, sementara ini ada lima poin yang menurut DPR harus direvisi. "Pemerintah sifatnya menunggu, karena itu akan dilihat apakah usul itu diparipurnakan DPR, untuk kemudian dikaji bersama," katanya.

Ketika ditanya mengapa pemerintah terkesan berupaya mempercepat revisi UU KPK ini karena sebelumnya pada Oktober 2015 sempat meminta DPR untuk menunda, ia menjelaskan pada dasarnya pemerintah berkeinginan calon pimpinan baru KPK sudah memegang pedoman baru supaya bisa bergerak lebih baik lagi.
Tags:

Berita Terkait