Sebuah Catatan untuk Menyempurnakan Industri Freight Forwarding Nasional
Kolom

Sebuah Catatan untuk Menyempurnakan Industri Freight Forwarding Nasional

Terbitnya PM 74/2015 bisa jadi telah menyelesaikan sebagian dari pekerjaan rumah yang ada. Namun, penyempurnaan PM 74/2015 tetap perlu dilakukan

Bacaan 2 Menit
Aktivitas peti kemas di pelabuhan. Foto: SGP
Aktivitas peti kemas di pelabuhan. Foto: SGP
Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 74 tahun 2015 tentang Jasa Pengurusan Transportasi (“PM 74/2015”), menandai babak baru pengembangan usaha freight forwarding dan logistik di tanah air. Peraturan Menteri yang mencabut Keputusan Menteri No. 10 Tahun 1988 dan Keputusan Menteri No. 10 Tahun 1989, memperjelas aktivitas yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan Freight Forwarding/Jasa Pengurusan Transportasi (“JPT”) sekaligus menegaskan kewajiban Perusahaan JPT beserta dan persyaratan pendiriannya.

Meski mengatur usaha JPT dengan cukup komprehensif, PM 74/2015 mengundang cukup banyak pro kontra. Terbukti, PM 74/2015 sudah dua kali diubah sebelum genap satu tahun diundangkan. Terlepas dari itu, Penulis tetap menilai PM 74/2015 dapat disempurnakan khususnya terkait persyaratan dan batasan bagi Perusahaan JPT yang berstatus Penanaman Modal Asing/PMA (“JPT PMA”).

Sebelum PM 74/2015 diundangkan, atau tepatnya sejak 28 tahun lalu setelah Keputusan Menteri No. 10 Tahun 1988 diundangkan, Perusahaan JPT telah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan pengurusan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut dan udara. Aktivitas sedemikian luas dapat dilakukan oleh Perusahaan JPT saat itu ditunjang dengan kewajiban untuk memiliki modal sebesar Rp200 juta, tanpa kewajiban (meski tidak dilarang) untuk memiliki alat angkut.

Aktivitas yang tidak kalah luas diberikan oleh PM 74/2015. Perbedaannya, PM 74/2015 mengatur persyaratan modal yang sama sekali tidak sedikit yakni Rp6,25 miliar bagi Perusahaan JPT Lokal. Muncul dugaan bahwa syarat modal minimum yang tinggi ini dimaksudkan agar Perusahaan JPT Lokal memiliki keandalan dalam menyediakan jasa yang berujung pada perlindungan kepentingan konsumennya.

Menariknya, tak sampai enam bulan diundangkan, melalui PM 78/2015, Menteri Perhubungan merevisi ketentuan mengenai modal minimum dalam PM 74/2015. Intinya syarat minimum modal disetor Rp6,25 miliar yang diwajibkan kepada Perusahaan JPT Lokal dalam PM 74/2015 dikecualikan bagi Perusahaan JPT lokal yang memiliki surat pernyataan Asosiasi JPT sebagai jaminan dalam beroperasi. Meski belum jelas seberapa rendah keringanan yang dapat diberikan bagi perusahaan JPT Lokal, revisi PM 74/2015 ini justru menimbulkan dugaan bahwa PM 74/2015 bisa jadi telah gagal mencapai tujuan awalnya untuk melindungi kepentingan konsumen.

Tak hanya itu, polemik mengemuka ketika modal yang jauh lebih tinggi disyaratkan untuk Perusahaan JPT PMA. PM 74/2015 mengatur tak kurang dari AS$2.5 juta, atau setara dengan Rp32,5 miliar (dengan Kurs 1 dollar AS setara 13 ribu rupiah), sebagai minimum modal disetor bagi perusahaan JPT PMA. Pengaturan ini terkesan sarat aroma diskriminatif khususnya ketika revisi pertama atas PM 74/2015, yang memungkinkan Perusahaan JPT Lokal dapat dikecualikan dari syarat minimum modal, tidak mengatur pengecualian yang sama bagi Perusahaan JPT PMA. Belum lagi terdapat pembatasan teritori perusahaan JPT PMA hanya dapat beroperasi di empat Pelabuhan Utama (Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makasar) serta lima Bandar Udara (Kuala Namu, Soekarno Hatta, Djuanda, Hasanuddin, dan I Gusti Ngurah Rai).

Tak Ramah Investasi
Jika dilihat sepintas lalu, cukup wajar jika Perusahaan JPT PMA diwajibkan untuk memiliki modal yang lebih tinggi dari Perusahaan JPT Lokal. Rezim hukum Penanaman Modal semisal Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2015 mensyaratkan minimum modal dari perusahaan penanaman modal asing, secara general tanpa melihat kekhususan dari bidang usaha, lebih besar dari Rp10 miliar dengan modal disetor tidak kurang dari Rp2,5 miliar atau 25 persen dari nilai investasi. Bandingkan dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang memungkinkan perseroan didirikan dengan modal dasar sebesar Rp50 juta dengan 25 persen atau Rp12,5 juta modal disetor.

Namun jika dilihat lebih jauh, Perusahaan JPT PMA juga terikat dengan rezim hukum investasi. Salah satu produk hukum dari rezim hukum investasi adalah Daftar Negatif Investasi, yang terakhir diatur berdasar Peraturan Presiden No. 39 tahun 2014 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (“DNI“), dimana Bidang Usaha Jasa Pengurusan Transportasi dibatasi hanya untuk maksimal 49 persen modal asing. Artinya 51 persen saham dari sebuah Perusahaan JPT PMA harus dimiliki oleh pemegang saham dalam negeri.

Dengan minimum modal disetor untuk Perusahaan JPT PMA berdasar PM 74/2015 sebesar 32.5 miliar rupiah, dapat ditafsirkan bahwa sekurang-kurangnya Rp16.5 miliar modal di Perusahaan JPT PMA harus dimiliki oleh investor Indonesia. Angka ini 2.6 kali lebih besar daripada mendirikan Perusahaan JPT Lokal sebagaimana diamanatkan oleh PM 74/2015.

Tak hanya itu, syarat yang tidak mudah ini tidak hanya harus dipenuhi oleh Perusahaan JPT PMA yang baru akan didirikan. Dalam tiga tahun sejak April 2015, Perusahaan JPT PMA yang telah berdiri sebelum PM 74/2015 diundangkan juga wajib memenuhi syarat ini. Meski tidak ada kejelasan sanksi bagi pelanggarannya, penulis khawatir pelanggaran atas hal ini dianggap sebagai pelanggaran atas Pasal 13 huruf a dan c yang dapat dikenai sanksi administrasi berupa teguran sampai pencabutan izin.

Wilayah Operasi JPT PMA
PM 74/2015 mengatur bahwa Perusahaan JPT PMA harus JPT PMA hanya dapat beroperasi di empat Pelabuhan Utama (Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makasar) serta lima Bandar Udara (Kuala Namu, Soekarno Hatta, Djuanda, Hasanuddin, dan I Gusti Ngurah Rai). Tidak jelas politik hukum yang melatarbelakangi pembatasan wilayah kerja Perusahaan JPT PMA. Memang, pembatasan yang hampir mirip diatur dalam UU No. 17 Tahun 2009 tentang Pelayaran dan PP No. 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda yang menerapkan asas Cabotage pada pengaturannya. Asas yang dimaksudkan untuk memperkuat industri transportasi dalam negeri ini membatasi badan usaha asing untuk beroperasi hanya pada pelabuhan dan bandar udara internasional di wilayah Indonesia.

UU Pelayaran mengatur penerapan asas cabotage dengan cara memberdayakan angkutan nasional di wilayah maritim Indonesia, dan di saat yang bersamaan membatasi kapal asing dan perusahaan angkutan laut asing hanya dapat beroperasi dari dan ke luar negeri. Dengan lain perkataan, layanan angkutan antar pelabuhan di dalam wilayah Indonesia merupakan wilayah eksklusif kapal berbendera Indonesia dan perusahaan angkutan laut nasional. Senada dengan UU Pelayaran, PP 8/2011 membatasi badan usaha angkutan multimoda asing hanya sampai simpul transportasi impor (pelabuhan/bandar udara internasional) dan wajib bekerja sama dengan badan usaha angkutan multimoda nasional untuk angkutan lanjutan.

Meski kapal asing dan badan usaha angkutan multimoda asing dibatasi dari melayani angkutan dalam negeri, UU Pelayaran maupun PP 8/2011 tetap memungkinkan asing menjadi pemegang saham dari perusahaan angkutan laut nasional dan badan usaha angkutan multimoda nasional. Walaupun, presentase kepemilikan asing pada perusahaan angkutan laut nasional dan badan usha angkutan multimoda nasional tetap tunduk dan dibatasi oleh DNI, badan usaha yang demikian tetap diperlakukan sebagai badan usaha nasional. Sayangnya, hal ini tidak sama dengan pembatasan yang diterapkan dalam PM 74/2015, alih-alih memberikan perlindungan, asas cabotage diterapkan dengan membatasi operasi Perusahaan JPT PMA. Penulis menilai, hal ini justru mengancam kepentingan nasional khususnya bagi pemegang dari 51 persen saham perusahaan JPT PMA.

Masih banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki industrI transportasi dalam negeri, khususnya industri freight forwarding. Penulis menilai, terbitnya PM 74/2015 bisa jadi telah menyelesaikan sebagian dari pekerjaan rumah tersebut. Namun, sesuai pemaparan di atas, penyempurnaan PM 74/2015 tetap perlu dilakukan, khususnya untuk memberikan kepastian hukum pada perusahaan JPT yang telah berdiri serta pada para mitra asing yang sedikit banyak telah ikut membesarkan industrI logistik dan freight forwarding dalam negeri.

* Penulis adalah karyawan swasta pada perusahaan yang bergerak di bidang Jasa Pengurusan Transportasi
Tags:

Berita Terkait