Dinilai Mengambil Sebagian Kewenangan PERADI, Otto Hasibuan Siap Gugat SKMA
Utama

Dinilai Mengambil Sebagian Kewenangan PERADI, Otto Hasibuan Siap Gugat SKMA

Rencananya gugatan akan dilayangkan ke MA.

Oleh:
NNP/RIA/FAT
Bacaan 2 Menit
Otto Hasibuan. Foto: RES.
Otto Hasibuan. Foto: RES.
Advokat senior Otto Hasibuan berencana untuk menggugat Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) No.73/KMA/HK.01/IX/2015 terkait kewenangan pengadilan tinggi dalam  menyumpah advokat yang memenuhi syarat dari organisasi advokat manapun. Ia menilai, SKMA tersebut telah mengambil sebagian kewenangan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai penentu lulus tidaknya calon advokat dalam ujian.

“Soal sumpah, memang dikatakan boleh organisasi yang lain, tetapi syarat-syarat untuk disumpah ini yang menentukan adalah organisasi advokat dalam hal ini PERADI. Jadi ini Mahkamah Agung (melalui pengadilan tinggi) telah mengambil sebagian kewenangan PERADI,” kata Otto, Rabu (23/3).

Ia mengatakan, pemberian kewenangan bagi PERADI dan Kongres Advokat Indonesia (KAI) untuk mengusulkan advokat yang disumpah ke pengadilan tinggi sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa akhir 2015 lalu. Dalam putusan yang memperkuat putusan tahun 2009 itu, MK menilai, organisasi advokat yang berhak mengusulkan advokat untuk disumpah oleh pengadilan tinggi adalah PERADI dan KAI.

Namun, lanjut Otto, gara-gara SKMA pengadilan tinggi secara tak langsung menentukan sah atau tidaknya syarat seseorang menjadi advokat. Padahal, dari advokat yang disumpah oleh pengadilan tinggi setelah SKMA terbit, ada yang tidak mengikuti pendidikan dan ujian yang diselenggarakan PERADI. “Kenyataannya, yang tidak dididik oleh PERADI pun disumpah. Yang tidak lulus ujian PERADI pun disumpah,” kata mantan Ketua Dewan Pimpinan Nasional PERADI ini.

Rencananya, Otto akan menggugat SKMA ini ke MA. Namun, ia belum bisa memastikan kapan gugatan ini akan resmi dilayangkan. Otto heran, SKMA tersebut merupakan surat dari Ketua MA, tapi statusnya seperti mengikat ke pihak luar MA, seperti seluruh organisasi advokat. Padahal, status dari SKMA itu tak masuk dalam hierarki perundang-undangan.

“Surat Ketua Mahkamah Agung, itu bukan peraturan, bukan keputusan pula, tetapi mengikat semua orang dibikinnya. Mengikat advokat juga. Ini bagaimana? Bagaimana bisa Surat Ketua MA mengikat lembaga PERADI?” katanya.

Otto tak menepis jika terkait penyumpahan boleh mengikat ke pihak luar. Namun, jika berkaitan dengan syarat untuk disumpah, hanya PERADI yang memiliki kewenangan. “Kalau mengenai penyumpahan, itu boleh mengikat. Tapi merembet ke syarat penyumpahan, itu jelas harus PERADI,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Pengawas Advokat PERADI kubu Fauzie Yusuf Hasibuan, Binsar Sitompul mengatakan, bahwa banyak internal MA yang kaget dari dampak lahirnya SKMA. Menurutnya, kekagetan itu lebih kepada semakin banyaknya advokat yang muncul di media, namun diragukan status advokatnya.

“Ini muncul advokat yang seperti mudah sekali menjadi advokat. Dia tidak melakukan PKPA, pendidikan sesuai dengan undang-undang. Tidak melakukan program magang, langsung lantik, buka kantor. Ribut di media massa,” kata Binsar kepada hukumonline di Bandung beberapa waktu lalu.

Padahal, lanjut Binsar, advokat-advokat tersebut tidak tercatat namanya lulus dari PERADI. Atas kejadian ini, ada beberapa pihak internal MA yang menanyakan hal tersebut kepada dirinya. Ia mengatakan, munculnya advokat-advokat tersebut akibat dari terbitnya SKMA terkait penyumpahan advokat.

“Ya itu lah saya bilang, kalau MA itu memudahkan orang menjadi advokat ya kayak gini jadinya. Jadi mereka juga mungkin ya dalam hati kecilnya mikir agak kebablasan,” tutur Binsar.

Sebagai Ketua Komwas, Binsar mengaku banyak laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran etika yang dilakukan para advokat tersebut. Namun, ia mengatakan, tak bisa menindaknya lantaran advokat tersebut bukan berasal dari PERADI. Sayangnya, ia tak merincikan dari mana asal organisasi para advokat tersebut.

“Banyak laporan ke saya selaku ketua Komwas, loh ngga tercatat di PERADI kita ini namanya. Jadi kita juga ga bisa nindak dong mereka-mereka ini. dan mereka banyak yang kecewa. Sekarang ini fenomenanya banyak yang kecewa dengan para advokat, sedangkan kita, tidak bisa memperingatkan mereka, menindak mereka, karena tidak tercatat di PERADI ini,” tutupnya.

Dihubungi terpisah, Juru Bicara MA Suhadi berpendapat bahwa rencana gugatan yang coba dilakukan pihak PERADI untuk mempermasalahkan SKMA Nomor 73 tentang Penyumpahan Advokat merupakan hak setiap warga negara. Namun, ia menegaskan, bahwa ada sejumlah hal penting yang melatarbelakangi Ketua MA Hatta Ali akhirnya mengeluarkan surat yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) se-Indonesia itu.

“Iya, itu hak setiap warga negara untuk menggugat,” kata Suhadi saat dihubungi hukumonline, Senin (28/3).

Misalnya, banyaknya calon advokat baru yang belum diambil sumpah. Padahal, kata Suhadi banyak calon advokat telah memenuhi persyaratan berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang semestinya bisa diambil sumpahnya oleh KPT. Sayangnya, beberapa tahun belakangan KPT tak bisa mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi persyaratan itu yang berdampak bagi pencari keadilan.

“Itu antara normatif (ketentuan undang-undang) dan kebutuhan masyarakat. Pengadilan juga berkepentingan karena kebutuhan mengenai penasehat hukum tidak bisa terpenuhi di daerah-daerah. Sedangkan untuk pidana harus ada penasehat hukum itu ketika ditunjuk secara gratis untuk orang tidak mampu dan diancam hukuman mati, seumur hidup, atau diatas lima tahun,” jelas Suhadi.

Meski begitu, lanjut Suhadi, ia menegaskan bahwa di balik penerbitan SKMA itu, tak ada sedikitpun motif untuk mereduksi kewenangan organisasi profesi advokat terkait dengan penyumpahan calon advokat baru. Ia mengatakan, keluarnya SKMA itu murni dalam rangka merespon kebutuhan, baik kebutuhan pencari keadilan maupun calon advokat itu sendiri. Lagipula, MA tidak ada kepentingan langsung terkait dengan hal ini.

“Tapi hendaknya dipikirkan bahwa Mahkamah Agung itu betul-betul mencari jalan keluar atas kisruhnya di antara mereka sendiri. Dari sisi kemanusiaan, itu bertentangan dengan UUD 1945 dan macam-macam tentang hak orang memperoleh pekerjaan, untuk memenuhi hajat hidupnya, dan lain-lain,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait