PMK Data Kartu Kredit Berdampak Positif Penambahan Pendapatan Negara
Berita

PMK Data Kartu Kredit Berdampak Positif Penambahan Pendapatan Negara

Meski bertentangan dengan UU Perbankan, PMK masih bersifat imbauan kepada pihak asosiasi dan perbankan. Setidaknya, kebijakan tersebut dapat menambah jumlah data base wajib pajak sebagai alat pemerintah untuk menarik pajak.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.39/PMK.03/2016 tentang Penggunaan Data Kartu Kredit untuk Kepentingan Perpajakan diharapkan berdampak positif terhadap penambahan pendapatan negara dari sektor perpajakan. Setidaknya, ada penambahan data base yang menjadi ujung tombak negara yang mewajibkan warga negara membayar kewajiban pajaknya kepada negara.

Hal ini disampaikan anggota Komisi XI Heri Gunawan di Jakarta, Jumat (15/4). “Sudah otomatis. Setidaknya bukan menutupi kekurangan pendapatan negara dari pajak, tetapi akan menambah pendapatan pajak. Tetapi paling tidak akan menambah data base wajib pajak,” ujarnya.

Menurutnya, PMK 39/2016 memberikan akses bagi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengakses data dari para pengguna kartu redit. Nah dengan kemudahan akses itulah bakal menambah data base para wajib pajak baru. Terlebih, Ditjen pajak dapat melihat daya belanja nasabah pengguna kartu kredit untuk kemudian disesuaikan dengan pajak yang dibebankan negara.

Dengan bertambahnya jumlah data base wajib pajak, di tahun berikutnya dapat menambah pendapatan negara dari sektor pajak. Memang pendapat negara yang diharapkan tidak secara langsung, namun dengan bertambahnya jumlah wajib pajak, pemerintah dapat memprediksi tambahan pendapatan negara dari sektor pajak. “Jadi ini menambah data basenya,” imbuhnya.

Pandangan senada diutarakan anggota Komisi XI lainnya, Eva Kusuma Sundari. Menurutnya, meski mesti dikalkulasikan terlebih dahulu dengan Permekeu tersebut dapat menutupi jumlah kekurangan pendapatan negara dari sektor pajak, namun Eva meyakini berdampak positif. Namun begitu, bila merujuk target pendapatan negara yang sedemikian tinggi, Eva tak yakin dapat menutupi kekurangan pendapatan negara dari sektor pajak sepenuhnya.

“Tapi menurut ku akan menambah pendapatan negara. Tapi juga gapnya jangan terlalu tinggi antara pencapaian dengan target. Upaya kita semaksimal mungkin menambah pemasukan,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada hukumonline.

Menurutnya, kekuatan Ditjen Pajak dalam melaksanakan kewenangannya menarik pajak terletak pada data base wajib pajak. Ketika Ditjen Pajak memiliki tambahan data base wajib pajak melalui Permenkeu 39/2016 bakal menjadi tambahan kekuatan dalam menambah pendapatan negara. “Jadi saya melihat ini baik,” ujarnya.

Untuk diketahui, PMK No. 39/PMK.03/2016 berlaku sejak 23 Maret lalu. Khusus untuk data kartu kredit mulai berlaku pada 31 Mei 2016. Pada dasarnya perubahan kelima ini mengubah sustansi sepuluh angka dalam PMK sebelumnya, dan menambah angka 62-67 pada Lampiran PMK tersebut. Dalam angka 67 Lampiran itulah tertera lembaga, instansi, asosiasi atau pihak lain yang diwajibkan menyampaikan informasi data transaksi nasabah kartu kredit.

Data transaksi kartu kredit disampaikan bulanan dengan catatan disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya. Data yang disampaikan adalah nama bank, nomor rekening pemilik kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama dan alamat pemilik kartu, Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian dan nilai transaksi, serta pagu kredit.

Dalam peraturan ini berarti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki akses untuk melihat profil belanja para Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Cara ini dilakukan lantaran DJP tak memiliki akses ke rekening simpanan bank para WP. Lalu apakah akses kartu kredit tersebut dimungkinkan untuk diakses mengingat kerahasiaan data nasabah di perbankan?

Bertentangan dengan UU Perbankan
Meski Permenkeu 39/2016 memiliki nilai positif dalam aspek penambahan pendapat negara, namun dengan mengakses data pengguna kartu kredit bertentangan dengan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 40 ayat(1) menyebutkan, “Pasal 40 (1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”.

“Yah kalau bertentangan pasti karena di sini masih ada kerahasiaan perbankan. Cuma secara segi tentunya ini dua hal yang berbeda. Di satu sisi menteri keuangan meghimbau, di lain sisi Ditjen Pajak memiliki kewenangan terbatas mendapatkan akses data base,” kata Heru.

Kendati demikian, Heru berpendapat Pemenkeu tersebut cukup baik. Terlebih, Permenkeu 39/2016 masih bersifat menghimbau pihak asosiasi dan perbankan agar memberikan data base pengguna kartu kredit. Dengan begitu, Ditjen Pajak dapat masuk  mendapatkan data base pengguna kartu kredit. “Tidak mungkin dia bisa masuk sendiri, karena itu sudah masuk ranah berbeda,” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu berpandangan Ditjen Pajak memiliki kewenangan terbatas terhadap akses data perbankan. Pasalnya itu tadi, terdapat aspek kebijakan kerahasiaan data nasabah perbankan. Namun di tahun 2018 mendatang, Indonesia sudah menandatangani automatic exchange of information. Dengan begitu, ke depan adanya keterbukaan informasi terkait dengan data base wajib pajak.

“Mungkin saat ini itu (PMK 39/2016, red) hanya himbauan kepada perbankan untuk dapat memberikan data akses kartu kreditnya,” ujarnya.

Eva menambahkan, memang PMK tersebut mesti diubah terlebih dahulu agar tidak berbenturan dengan aturan di atasnya, yakni UU Perbankan. Namun, pemerintah mesti melihat ketika adanya klausul pasal tertentu dimanfaatkan untuk tujuan jahat, maka DItjen Pajak dapat bersikap kooperatif.

“Apalagi di sini banyak bank asing. Saya melihatnya ini harus dipikirkan bersama menanyakan kembali apa itu rahasia perbankan,” ujarnya.

Yang pasti, kata Eva, UU Perbankan kini sudah masuk Prolegnas prioritas 2016. Nah dengan begitu revisi terhadap UU Perbankan setidaknya dapat menyesuaikan dengan kondisi kekinian dalam rangka mendukung pendapatan negara dari sektor pajak. Kendati begitu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu bakal mendukung Ditjen Pajak mengejar penambahan pendapatan negara dari sektor pajak.

Ia menilai hambatan penting yakni pihak perbankan yang tidak kooperatif dengan rahasia perbankan. Ia menilai Kemenkeu dengan menerbitkan Permenkeu tersebut sebagai upaya antisipasi terhadap keterbukaan informasi yang sudah menjadi komitmen internasional. “Jadi saya melihat ini it’s oke. Lagian ngapain kalau memang tidak ada sesuatu yang disembunyikan. Jadi ini tren keterbukaan informasi dimana saat ini menjadi komitmen internasional,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait