Pakar Hukum Ini Dukung Penghapusan Syarat Riwayat Hidup
Pengujian UU Keistimewaan DIY:

Pakar Hukum Ini Dukung Penghapusan Syarat Riwayat Hidup

Syarat menyerahkan daftar riwayat hidup dalam pemilihan gubernur DIY dinilai tidak tepat, membingungkan, dan menimbulkan diskriminasi terhadap posisi perempuan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gubernur DI Yogyakarta di sidang MK. Foto: RES
Gubernur DI Yogyakarta di sidang MK. Foto: RES
Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra menilai Pasal 18 hingga Pasal 27UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), politik hukum pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur memilah secara jelas antara proses internal Keraton dengan proses politik formal di luar Keraton. Sebab, beleid ini telah menegaskan gubernur berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan wakil gubernur dari Kadipaten Paku Alaman yang kemudian ditetapkan DPRD.

Saldi mengatakan syarat calon gubernur DIY dalam Pasal 18 huruf m UU Keistimewaan DIY potensial menganulir proses internal Keraton. Sebab, masuknya kata “istri”bermakna seorang yang dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur dapat dimaknai hanya laki-laki.

“Cara pandang lebih netral ketika melihat perkembangan yang terjadi di internal Kasultanan Yogyakarta jauh lebih fleksibel sekiranya kata istri’ disepadankan dengan kata suami’dengan membuat garis miring sehingga menjadi istri/suami,” ujar Saldi Isra saat memberi keterangan sebagai ahli di sidang lanjutan pengujian UU Keistimewaan DIY yang diajukan 11 Warga Yogyakarta di Gedung MK, Selasa (29/11) kemarin.

Guru Besar Universitas Andalas Padang itu berpendapat jauh lebih netral lagi jika syarat daftar riwayat hidup seperti persyaratan dalam UU Pilkada yang umum berlaku di daerah-daerah lain dengan menggunakan batas penalaran yang wajar dihapuskan. Syarat tambahan seperti lema ‘istri’ berrlebihan jika dibandingkan dengan syarat calon kepala daerah lain. Ingat, UU Pilkada sama sekali tidak mengharuskan pencantuman nama istri/suami.

“Kita bisa merujuk Pasal 7 UU Pilkada yang sama sekali tidak mencantumkan syarat tersebut. Pertanyaan mendasar, mengapa pencantuman syarat suami/istri tidak menjadi syarat normatif dalam UU Pilkada?” (Baca juga: Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Daerah Khusus Saat Gelar Pilkada).

“Padahal secara posisi, jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY sama dengan daerah lain, bahkan dalam level yang lebih tinggi. UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pun tidak meminta syarat pencantuman suami dan istri,” lanjut ahli yang sengaja dihadirkan Pemohon ini.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas ini menilai dalam batas penalaran yang wajar, ketentuan tersebut tak hanya berpotensi diskriminasi, tetapi juga melanggar prinsip negara hukum. Ini ditegaskan dalam putusan MK No. 008 Tahun 2004 menyatakan, “Negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, dengan sendirinya melarang diskriminasi berdasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.”

Karena itu, dia menegaskan kini saatnya melakukan koreksi dan mengembalikan persyaratan tersebut dengan semangat yang jauh lebih netral. “Mengembalikan semangat politik hukum bahwa penentuan calon gubernur, wakil gubernur di DIY menjadi urusan internal di lingkungan Keraton dan Kadipaten Paku Alaman.”

Tidak ada kaitan
Sementara ahli Pemohon lain, Zainal Arifin Mochtar menilai Pasal 18 ayat (1) huruf m sama sekali tidak ada kaitannya dengan keistimewaan Yogyakarta dalam hal syarat pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Karenanya, aturan ini harus dipandang sebagai bagian umum yang berlaku bagi semua jabatan kepala daerah di setiap provinsi lain.

“Karena anehnya, Pasal 18 ayat (1) huruf m ini tidak ditemukan di berbagai aturan lain. Kalaupun ditemukan, maka suami atau istri seringkali menjadi klausula wajib seperti yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,” lanjutnya.

Menurutnya, keberadaan pasal tersebut telah menghilangkan makna rasio legis yang seharusnya dikandung sebuah aturan karena tidak jelasnya tujuan yang hendak dicapai. Bahkan, dimungkinkan adanya ketentuan yang bias gender karena dapat mendatangkan implikasi kesimpulan bahwa yang dapat menjadi gubernur DIY hanyalah laki-laki.

Zainal berpendapat Pasal 18 ayat (1) huruf m dapat dimaknai kewajiban menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Apabila aturan ini dibaca seperti itu, maka tentu saja ini menjadi aturan yang sangat konyol dan diskriminatif secara bersamaan karena menikah dan punya anak bukanlah sesuatu yang hadir dalam kewajiban hukum, tetapi bernuansa takdir dan titipan Tuhan.

“Syarat menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat hal-hal tersebut sangat tidak tepat, membingungkan, dan menimbulkan diskriminasi terhadap posisi perempuan,” tegasnya.

Sebelumnya, 11 warga Yogyakarta yang terdiri dari aktivis perempuan, pengusaha kecil/menengah, dan Abdidalem Keraton Ngayogyakarta mempersoalkan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY. Intinya, mereka menilai aturan ini bersifat diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebab, adanya kata “istri” ketika menyerahkan daftar riwayat hidup menimbulkan penafsiran seolah-olah harus laki-laki yang bisa menjadi calon gubernur dan wakil gubernur DIY. Hal ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil. (Baca juga: Keistimewaan Suatu Daerah Harus Keinginan Masyarakat).

Bagi Pemohon, larangan diskriminasi terhadap wanita atau perempuan telah ditegaskan dalam UU No. 7 Tahun 1984  tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Perempuan. Posisi negara seharusnya netral dan tidak terlalu jauh mencampuri proses internal Keraton. Para Pemohon meminta Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY khususnya terhadap frasa “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Tags:

Berita Terkait