MK Tidak Boleh ‘Alergi’ dengan Pengawasan Eksternal
Berita

MK Tidak Boleh ‘Alergi’ dengan Pengawasan Eksternal

Untuk memperkuat lembaga pengawas MK tidak ada jalan lain selain merevisi UU MK sebagai solusi mengatasi tidak efektifnya pengawasan internal di MK.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Kasus tertangkapnya Hakim Konstitusi Nonaktif Patrialis Akbar terkait dugaan suap terus menjadi sorotan masyarakat yang kembali meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap MK pasca kasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam sejumlah kasus sengketa pemilihan kepala daerah. Salah satu sebabnya, disinyalir tidak adanya pengawasan eksternal terhadap para hakim MK.

Anggota Komisi III Masinton Pasaribu menilai tak adanya pengawasan ekstenal terhadap MK menjadi celah terjadinya perbuatan tercela. Meski sudah adanya Dewan Etik MK, lembaga pengawas internal ini dinilai tak berjalan efektif. “Tidak adanya ini (pengawasan eksternal) menjadi bagian terjadinya oknum hakim berbuat ‘nakal’. Pengawasan eksternal menjadi keharusan terhadap profesi yang memiliki kewenangan cukup besar,” kata dia

“Kita mau, MK harus membuka diri terhadap pengawasan eksternal dan MK seharusnya mau diawasi pihak eksternal,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Senin (30/1). (Baca Juga : KY Dukung Pembentukan Majelis Kehormatan Kasus Patrialis)

Menurutnya, kesembilan hakim MK memiliki kewenangan cukup luas. Apabila tidak diawasi kinerja para hakim MK ini berpotensi abuse of power alias penyalahgunaan kewenangan. Karena itu, mau tidak mau MK harus membuka diri terhadap pengawasan eksternal agar perjalanan lembaga MK sebagai pengawal konstitusi tetap on the track.

“Sebagai wakil Tuhan di muka bumi, MK harus membuka diri, bermartabat. Hakim tidak lagi memikirkan keduniawian, apalagi setaraf hakim MK. MK harus membuka diri terhadap pengawasan eksternal,” kata politisi PartaiDemokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Anggota Komisi III Arsul Sani menilai tidak maksimalnya pengawasan Dewan Etik melakukan pengawasan terhadap hakim MK menjadi dibutuhkan lembaga penegak etik eksternal, seperti Komisi Yudisial (KY). Menurutnya, ruang lingkup tugas Dewan Etik tidak memiliki faktor pendukung dalam melakukan pengawasan. Sedangkan KY memiliki divisi penyelidikan (investigasi) untuk terus dikembangkan dengan melakukan kerja sama dengan elemen masyarakat sipil.

“Nah itu kelebihannya kalau pengawasan itu ada di satu kembaga yang memang punya struktur dalam UUD 1945. Ke depan, harus mencari jalan tengah apa yang sudah diputuskan MK (menghapus pengawasan KY terhadap hakim MK) dengan melihat kembali semangat tokoh-tokoh kita dalam proses amandemen UUD 1945 saat melahirkan KY,” ujarnya mengingatkan. (Baca Juga : Patrialis Dicokok KPK, Komisi Hukum DPR : Kami Kaget Luar Biasa)  

Revisi UU MK
Dia mengungkapkan komisi tempatnya bernaung sedang melakukan rapat konsultasi dengan MK. Diantaranya, membahas persoalan kasus Patrialis dan kemungkinan revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Lebih lanjut, Arsul berpandangan perlunya alternatif pengawasan selain KY. Misalnya, membentuk Inspektorat Pengawasan atau memperkuat kewenangan Dewan Etik MK. “Nanti kita lihat pilihan pemerintah seperti apa?” ujar Politisi Partai Persatuan Pembangunan ini.

Terpisah, peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar juga berpendapat cara memperkuat pengawasan terhadap MK yakni dengan merevisi UU MK. Dalam revisinya nantinya tidak harus merujuk ke KY. “Pembuat UU bisa saja menempelkan kelembagaan lain, seperti Komisi Ombudsman,” usulnya.

Menurut Erwin, bila ingin memperkuat lembaga pengawas MK tidak ada jalan lain selain merevisi UU MK sebagai solusi mengatasi tidak efektifnya pengawasan internal di MK. Pilihan lainnya, Presiden dapat saja membuat regulasi setingkat peraturan pemerintah (PP). “Namun, tentu saja kewenangan pengawasan diatur setingkat PP tidak sekuat UU,” ujarnya.

Berbeda dengan Erwin, Arsul Sani mengingatkan dahulu semangat mengamandemen UUD 1945 antara lain menggolkan keberadaan KY yang bertugas mengawasi para hakim termasuk hakim MK. Namun, usulan tersebut dimentahkan oleh MK sendiri lewat putusannya pada 2006 silam. Karena itu, perlu aturan ketika ada uji materi UU terkait kewenangan hakim MK atau UU MK, yang mengadilinya mesti hakim-hakim ad hoc.

“Mungkin perlu dibentuk hakim-hakim ad hoc khusus untuk mengadili perkara UU MK atau pasal-pasal terkait kewenangan hakim MK. Sebab, ada prinsip hukum, hakim itu tidak boleh mengadil perkara yang menyangkut dirinya sendiri,” kata Arsul lagi.

Masinton menambahkan merevisi UU MK, perlu juga meminta persetujuan dan komitmen dari lembaga MK terutama terkait pengawasan dan rekrutmen hakim MK. “Kita juga perlu meminta komitmen hakim MK untuk membuka diri soal pengawasan eksternal dan rekrutmen hakim. Makanya, hari ini Komisi III DPR melakukan rapat konsultasi dengan MK,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait