Ketika Konsistensi Pengacara Pilkada Dipersoalkan
Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:

Ketika Konsistensi Pengacara Pilkada Dipersoalkan

Semestinya semua advokat/pengacara memahami makna Pasal 158 UU Pilkada ini. Ini untuk menghindari benturan atas perbedaan pendapat terkait penerapan Pasal 158 UU Pilkada ini ketika advokat yang bersangkutan saat bersamaan membela pemohon dan pihak terkait.

Oleh:
AGUS SAHBANI/CR-23
Bacaan 2 Menit
Sidang Pleno MK. Foto: RES
Sidang Pleno MK. Foto: RES
Sidang permohonan sengketa pemilhan kepala daerah (Pilkada) serentak 2017 sudah memasuki tahap pembuktian setelah sidang pembacaan permohonan, jawaban permohonan, dan putusan dismissal dari sekitar 50 permohonan sengketa pilkada. Hanya ada 7 permohonan sengketa pilkada yang berlanjut ke tahap sidang pembuktian setelah 40 permohonan “rontok” saat pembacaan putusan dismissal pada 3-5 April lalu. 3 permohonan lain diputus pemungutan suara ulang (PSU) dan penghitungan suara ulang.   

Meski tak seramai sidang sengketa pilkada serentak pertama pada 2015 lalu, sekitar 526 pengacara dari 103 firma hukum terlibat dalam sengketa pilkada serentak kedua ini baik posisi membela pemohon, termohon (KPUD), maupun pihak terkait (pemenang pilkada). Selama dua kali perhelatan sengketa pilkada, sebelum pendaftaran sengketa pilkada dibuka, MK telah memberi bimbingan teknis (Bimtek) terhadap para advokat yang bakal menangani sengketa pilkada termasuk pihak KPU/KPUD setempat.

Tentu, hal ini untuk memberi pemahaman yang sama terhadap para advokat/pengacara tentang bagaimana prosedur beracara sengketa pilkada guna menghindari kesalahan-kesalahan dalam praktik. Setelah dua kali menggelar perhelatan sidang sengketa pilkada serentak, Mahkamah Konstitusi (MK) mengaku tidak menemui kendala berarti dalam praktik beracara sengketa pilkada yang sebagian besar dikuasakan kepada para pengacara ini.   

“Tidak ada pengacara yang tidak mengetahui sistem beracara di MK, MK kan sudah memberi Bimtek di Pusdiklat MK kepada seluruh pemohon, pihak terkait, KPUD termasuk tim kuasa hukum masing-masing, bagaimana beracara sengketa pilkada,” ujar Juru Bicara MK, Fajar Laksono Suroso kepada hukumonline, di Gedung MK, Kamis (29/3). 

Fajar menerangkan sebagian besar pengacara/advokat yang bakal menangani sengketa pilkada sudah sering beracara di MK. Terlebih, sebelum pelaksanaan sidang sengketa pilkada diberikan Bimtek mengenai materi praktik beracara sengketa pilkada termasuk praktik bagaimana membuat permohonan, membuat jawaban termohon, membuat keterangan pihak terkait.  

“Ini kan ada 2 kepentingan, mereka (advokat) ingin tahu (praktik beracara) dan MK ingin sidang sengketa pilkada lancar. Secara normatif mestinya mereka sudah paham,” kata Fajar. Baca Juga: MK Sidangkan Permohonan Sengketa Pilkada  

Kalaupun, ada pengacara/advokat yang tidak pakai toga saat bersidang sudah pasti diingatkan Majelis. “Kalau tidak pakai toga, mungkin dia bukan pengacara, bisa saja dia konsultan hukum atau pemohon/termohon principal. Termasuk pembuatan surat kuasa tidak ada masalah, justru mereka mengerti betul. Kadang-kadang advokat suka terang-terangan, belum tanda tangan dalam surat kuasa yang ditegur Majelis. Kalau surat kuasa saya rasa tidak ada persoalan juga.”

Hanya saja, ia menilai seringkali beberapa advokat atau pengacara menunjukkan sikap tidak konsisten ketika menangani perkara sengketa pilkada yang berbeda posisi baik mewakili pemohon maupun pihak terkait. Misalnya, sengketa pilkada kabupaten A dia sebagai kuasa hukum pemohon, tetapi di kabupaten C dia tampil sebagai kuasa hukum pihak terkait.

Apabila dalil argumentasinya di dua kubu yang berbeda tersebut digabung sudah pasti saling bertentangan. Ketika advokat tersebut menjadi kuasa hukum pemohon yang tidak memenuhi syarat selisih suara menggugat yakni 0,5-2 persen, MK diminta melepaskan diri dari syarat selisih suara dalam Pasal 158 UU Pilkada. Namun, ketika advokat yang sama menjadi kuasa hukum pihak terkait di daerah lain, argumentasi yang disampaikan mesti MK harus menjalankan Pasal 158 UU Pilkada.

“Satu sisi dibilang Pasal 158 ini dipertahankan, tapi di sisi lain Pasal 158 ini harus ‘ditabrak’ (diterobos). Di sengketa pilkada tahun kemarin sama juga seperti itu. Setiap kali sengketa pilkada sama yang dipersoalkan, hanya berdiri di posisi berbeda dengan argumentasi yang berbeda,” tuturnya.  

Namun, MK tidak mendata persis ada berapa jumlah kasus sengketa pilkada seperti ini karena ini merupakan hak penuh dari setiap pengacara/advokat. Hanya saja, dia menilai sikap seperti ini bentuk inkonsistensi seorang pengacara/advokat yang bisa mempengaruhi kredibilitas profesi pengacara.

“Ini seperti tidak punya ‘ideologi’, inkonsistensi, jadi terkesan memang membela yang bayar intinya. Menurut mereka sih tidak ada pelanggaran etiknya. kalau dulu (sengketa pilkada 2015) Refly Harun, menjadi menjadi perhatian hakim,” ungkapnya.  

Dia melihat di sengketa sidang pilkada 2017 ini ada beberapa pengacara/advokat yang masih bersikap seperti itu dengan membangun argumentasi yang kontradiktif dalam setiap pembelaannya. Dia menyebut Refly Harun di bawah bendera firma hukum Constitutional Law Office Refly Harun & Partners di pilkada Kabupaten Sorong menjadi kuasa hukum pemohon, tetapi di pilkada Kabupaten Dogiyai menjadi kuasa hukum pihak terkait.  

“Sama hal seperti, Yusril Ihza Mahendra (firma hukum Ihza & Ihza Law Firm), di pilkada Aceh sebagai pemohon dan daerah lain sebagai pihak terkait. Ada juga pengacara yang muda-muda, seperti Muhajir, menjadi kuasa hukum dari dua sisi berbeda juga. Saya hanya melihat sekilas, tidak terlalu hafal,” katanya.

Saat dikonfirmasi, Refly Harun tersirat mengakui bahwa dirinya menangani dua perkara dengan posisi yang berbeda terutama ketika memaknai Pasal 158 UU Pilkada. Meski dari sisi finansial menarik, sedari awal ketika membela posisi pemohon sengketa pilkada, dirinya telah menjelaskan konsekwensi berlakunya Pasal 158 UU Pilkada itu. Baca Juga: Ini Kisaran Honorarium Pengacara Sengketa Pilkada

“Ketika menjadi pemohon paling kita menjawab sampai tahap pemeriksaan pendahuluan. Saya katakan, tidak ada lagi ruang untuk pembelaan kalau selisih suara tidak mencapai 0,5 sampai 2 persen, setelah sidang pendahuluan selesai. Terbukti kan dari 50 pemohonan, hanya ada 7 permohonan yang mencapai syarat selisih suara, memang tidak menarik lagi sengketa pilkada ini,” kata Refly kepada hukumonline.

Menurutnya, kalau memang patokannya syarat selisih suara untuk menggugat hasil pilkada sebenarnya tidak ada gunanya lagi bersidang di MK, kecuali bagi pemohon yang memenuhi syarat selisih suara. Saat sengketa pilkada tahun 2015 kemarin, dirinya masih menangani belasan perkara sengketa pilkada. Sebab, kala itu orang masih bisa berharap MK mengabaikan Pasal 158 UU Pilkada demi keadilan substantif ketika membelenggu hak konstitusional warga negara.

“Tetapi, sekarang beda, MK berpandangan harus taat UU. Padahal, MK harusnya taat konstitusi secara jujur dan adil. Kalau patokan ambang batas selisih suara itu, seolah membolehkan securang-curangnya yang penting tidak melewati ambang batas.” Baca Juga: Advokat Ini Minta MK Tegakkan Keadilan Substansial

Berbeda dengan advokat Yance Salambauw yang menangani 2 perkara pilkada Kabupaten Maybrat dan Tolikara  dengan posisi sebagai pemohon dan 2 perkara pilkada Kabupaten dan Kota Sorong dengan posisi sebagai pihak terkait. Dia merasa konsisten dengan Pasal 158 UU Pilkada ketika membela kliennya dengan posisi berbeda. Baginya, dia tidak akan menerima pembelaan perkara pilkada sebagai pemohon apabila tidak memenuhi syarat selisih suara.

“Saya tidak keberatan dengan Pasal 158 karena saya selektif. Kalau permohonan itu lewat ambang batas selisih suara, saya menolak menangani perkara itu. Sebaliknya, saya mau menangani permohonan sengketa pilkada ketika tidak keluar ambang batas selisih suara,” kata Yance.  

Managing Partner Yance Salambauw and Partners yang berkantor di Manado ini menilai semestinya semua advokat/pengacara memahami makna Pasal 158 UU Pilkada ini. Hal ini untuk menghindari benturan atas perbedaan pendapat terkait penerapan Pasal 158 UU Pilkada ini ketika advokat yang bersangkutan saat bersamaan membela pemohon dan pihak terkait.     

“Ini agar tidak berbenturan, karena saya berpendapat Pasal 158 itu harus ditegakkan, sehingga tidak ada benturan kepentingan ketika posisi saya menjadi kuasa pemohon dan pihak terkait,” katanya.
Tags:

Berita Terkait