Pertama, melalui pemungutan suara putaran kedua yang dilaksanakan pada 19 April 2017. Kedua, melalui gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) pasca penetapan hasil rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berbeda dengan DKI Jakarta, beberapa calon kepala daerah lainnya kini tengah berjuang di MK.
Tercatat sebanyak 53 permohonan sengketa Pilkada teregister di MK. Pekan lalu, MK telah menggelar sidang putusan dismissal terhadap separuh permohonan sengketa Pilkada. Alhasil, ada sekitar 40 permohonan dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat, sehingga tidak dapat dilanjutkan ke sidang pleno.Sisanya, masih berproses yang 7 permohonan diantaranya masuk ke tahap sidang pembuktian.
Dari puluhan calon pasangan kepala daerah yang mengajukan permohonan sengketa Pilkada ke MK, terdapat sejumlah calon yang bermasalah dengan hukum. Baik yang berstatus sebagai tersangka maupun terdakwa. Fenomena calon kepala daerah berstatus tersangka ini terkadang muncul mendekati atau selama proses Pilkada.
Mungkin salah satu peristiwa yang sangat menyita perhatian publik adalah ketika calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditetapkan Polisi sebagai tersangka kasus penodaan agama pada November 2016 lalu. Ahok yang kini berstatus terdakwa tengah menunggu Pilkada putaran kedua.
Lantas, apakah status tersangka atau terdakwa tersebut menjadi ganjalan bagi para calon kepala daerah untuk mengajukan sengketa Pilkada di MK? Jawabannya, tentu tidak. Sebab, menurut Juru Bicara MK Fajar Laksono, tidak ada larangan bagi calon kepala daerah berstatus tersangka maupun terdakwa untuk mengajukan sengketa Pilkada ke MK.
“Ya, tidak dilarang. Itu kan ranahnya KPU sebetulnya. Kalau mereka (calon kepala daerah) memenuhi syarat, memang aturannya menurut KPU sudah memenuhi syarat. Kalau dia sebagai pemohon kan (MK melihatnya) dia bukan sebagai tersangka, tapi sebagai pihak yang kalah (Pilkada),” katanya kepada hukumonlinedi Gedung MK.Baca Juga: Status Tersangka Tak Otomatis Gugurkan Calon Kepala Daerah, Benarkah?
Ia menerangkan, status hukum calon kepala daerah sebagai tersangka ataupun terdakwa tidak menjadi pertimbangan MK. Yang menjadi pertimbangan MK adalah apakah pemohon sengketa Pilkada itu memiliki legal standing atau tidak. Sepanjang pemohon adalah pasangan calon kepala daerah, MK mempersilakan.
Lebih lanjut, dari 53 permohonan yang teregistrasi di situs MK, hukumonline mencoba menelusuri siapa saja pemohon sengketa Pilkada yang berstatus tersangka maupun terdakwa. Ternyata, ada sekitar 5pemohon berstatus sebagai tersangka atau terdakwa, mulai dari tindak pidana Pilkada, penipuan, hingga korupsi.
Ada juga pemohon yang berstatus terpidana dan mantan terpidana. Sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU (UU Pilkada), terpidana tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Sementara, bagi mantan narapidana, masih berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, sah-sah saja mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Asalkan memenuhi syarat telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.
Dahulu, sebelum perubahan kedua UU Pilkada, mantan terpidana untuk kasus-kasus dengan ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Aturan ini pun masih dipertahankan ketika Presiden mengesahkan UU No.8 Tahun 2015 yang merupakan perubahan pertama atas UU Pilkada.
Pasal 7 huruf g UU No.8 Tahun 2015berbunyi: “Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.”
Hingga akhirnya MK melalui putusan uji materi No.42/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 7 huruf g UU No.8 Tahun 2015 inkonstitusional bersyarat. MK membuat pengecualian bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.
Seakan mengukuhkan putusan MK, pengecualian mengenai pencalonan mantan terpidana itu ditambahkan dalam rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Pilkada. Namun, tak hanya menambahkan frasa pengecualian, Pasal 7 ayat (2) huruf g juga menghapus frasa “5 tahun atau lebih”.
Dengan demikian, rumusan pasal itu menjadi, “Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Berikut daftar 53 pemohon sengketa Pilkada yang teregister di situs MK tahun 2017, dimana beberapa diantaranya berstatus sebagai tersangka, terdakwa, bahkan terpidana, serta mantan terpidana:
Nomor Register | Pemohon | Status Hukum |
1/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Bengkulu Tengah | M Sabri dan Naspian | - |
2/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Jepara | Subroto dan H Nur Yahman | Subroto (tersangka kasus penipuan) |
3/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Tebo | Hamdi dan H Harman | - |
4/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Aceh Timur | Ridwan Abubakar dan Abdul Rani | - |
5/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Aceh Singkil | Safriadi dan Sariman | - |
6/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Buton Selatan | Muhammad Faizal dan Wa Ode Hasniwati | Muhammad Faizal (terdakwa UU Pilkada) |
7/PHP.KOT-XV/2017 Walikota Sorong | Amos Lukas Watori dan Noorjannah | - |
8/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Halmahera Tengah | Mutiara T Yasin dan Kabir Kahar | - |
9/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Mappi | Aminadab Jumame dan Stefanus Yermogoin | - |
10/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Maybrat | Karel Murafer dan Yance Way | - |
11/PHP.KOTXV/2017 Walikota Batu | Rudi dan Sujono | - |
12/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Maluku Tenggara Barat | Dharma Oratmangun dan Markus Faraknimella | - |
13/PHP.GUB-XV/2017 Gubernur Sulawesi Barat | H Suhardi Duka dan H Kalma Katta | - |
14/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Tolikara | (HC) John Tabo dan Barnabas Weya | - |
15/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Pidie | Sarjani Abdullah dan M Iriawan | - |
16/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Bireuen | Yusuf Abdul Wahab dan Purnama Setia Budi | - |
17/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Aceh Barat Daya | Said Syamsul Bahri dan HM Nafis Amanaf | - |
18/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Buol | Syamsudin Koloi dan Hj Nurseha | - |
19/PHP.KOT-XV/2017 Walikota Langsa | Fazlun Hasan dan Syahyuzar AKA | - |
20/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Buru | Bakir Lumbessy dan Amarullah Madani Hentihu | - |
21/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Sarmi | Albertus Suripno dan Adrian Roi Senis | - |
22/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Kep. Sangihe | Hironimus Rompas Makagansa dan Fransiscus Silangen | - |
23/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Nagan Raya | Teuku Raja Keumangan dan Said Junaidi | - |
24/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Aceh Utara | Fakhrurrazi H Cut dan Mukhtar Daud | - |
25/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Sarmi | Mesak Manibor dan Sholeh | Mesak Manibor (terpidana kasus korupsi APBD 2012-2013) |
26/PHP.KOT-XV/2017 Walikota Kendari | Abdul Rasak dan Haris Andi Surahman | Haris Andi Surahman (mantan terpidana kasus suap Wa Ode Nurhayati) |
27/PHP.KOT-XV/2017 Walikota Payakumbuh | Suwandel Muchtar dan Fitrial Bachri | - |
28/PHP.KOT-XV/2017 Walikota Yogyakarta | Imam Priyono D Putranto dan Achmad Fadli | - |
29/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Gayo Lues | Abd Rasad dan Rajab Marwan | Keduanya tersangka UU Pilkada |
30/PHP.KOT-XV/2017 Walikota Salatiga | Agus Rudianto dan Dance Ishak Palit | - |
31/PHP.GUB-XV/2017 Gubernur Aceh | Muzakir Manaf dan H TA Khalid | - |
32/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Sarolangun | Muhammad Madel dan Musharsyah | - |
33/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Banggai Kepulauan | Irianto Malingong dan Hesmon Fitratoni VL Pandili | - |
34/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Bombana | Karsa Jaru Munara dan Man Arfah | - |
35/PHP.KOT-XV/2017 Walikota Tasikmalaya | Dede Sudrajat dan Asep Hidayat Surdjo | - |
36/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Takalar | Burhanuddin Baharuddin dan Natsir Ibrahim | Burhanuddin Baharuddin (tersangka kasus korupsi penjualan aset daerah) |
37/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Buton Tengah | Kiesman M Talib | - |
38/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Dogiyai | Markus Waine dan Angkian Goo | - |
39/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Sorong | Zeth Kadakolo dan Ibrahim Pokko | - |
40/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Sarmi | Demianus Kyeuw Kyeuw dan Musriadi | - |
41/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Pati | Gerakan Masyarakat Pati | - |
42/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Puncak Jaya | Yustus Wonda dan Kirenius Telenggeng | - |
43/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Maluku Tengah | Alter Sopacua dan Aswar Rahim | - |
44/PHP.GUB-XV/2017 Gubernur Gorontalo | Hana Hasanah Fadel dan Tonny S Junus | - |
45/PHP.GUB-XV/2017 Gubernur Banten | Rano Karno dan Embay Mulya Syarief | - |
46/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Pulau Morotai | M Ali Sangaji dan Yulce Maka Sarat | M Ali Sangaji (tersangka Pasal 310, 311 KUHP) |
47/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Lanny Jaya | Briyur Wenda dan Paulus Kogoya | - |
48/PHP.KOT-XV/2017 Walikota Jayapura | Lembaga Demokrasi dan Riset Papua | - |
49/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Maluku Tenggara Barat | Petrus P Werembinan Taborat dan Jusuf Siletty | - |
50/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Intan Jaya | Bartolomius Mirip dan Deny Miagoni | - |
51/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Kep. Yapen | Melkianus Laviano Doom dan Saul Ayomi | - |
52/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Kep. Yapen | Tonny Tesar dan Frans Samadi | - |
53/PHP.BUP-XV/2017 Bupati Kep. Yapen | Simon Atururi dan Isat Semuel Worabai | - |
Meski MK telah “mengkandaskan” lebih dari separuh seluruh permohonanyang teregisterdalam sidang putusan dismissal, alasannya bukan karena menyangkut status hukum pemohon, melainkan tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan sengketa Pilkada. Seperti permohonan sengketa Pilkada Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kota Sorong.Baca Juga: Ini Agenda Proses Persidangan Sengketa Pilkada
Dua permohonan ini tidak memenuhi ketentuan Pasal 157 ayat (4) UU Pilkada karena pemohon bukan peserta Pilkada. Kemudian, permohonan sengketa Pilkada Kabupaten Bireun, Kabupaten Sarmi dengan pemohon Mesak Manibor-Sholeh, dan Kota Batu kandas karena melebihi tenggat waktu pengajuan sesuai Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada.
Sementara, permohonan sengketa Pilkada Kabupaten Jepara, Aceh Timur, Bengkulu Tengah, Tebo, Buton Selatan, Aceh Singkil, Sangihe, Mappi, Pidie, Halmahera Tengah, Buru, Maluku Tenggara Barat dengan pemohon Dharma Oratmangun-Markus Faraknimella dan Petrus Werembinan-Jusuf Siletty, serta Sarmi dengan pemohon Albertus Suripno-Adrian Roi Senis dan Demianus Kyeuw Kyeuw-Musriadi pun kandas karena tidak memenuhi ketentuan selisih perolehan suara seperti diatur Pasal 158 UU Pilkada.
Permohonan lainn yang juga kandas dalam sidang putusan dismissal, antara lain permohonan sengketa Pilkada Provinsi Banten yang diajukan pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief, Provinsi Gorontalo yang diajukan Hana Hasanah Fadel-Tonny S Junus, Provinsi Aceh yang diajukan Muzakir Manaf dan Khalid, dan Kota Kendari yang diajukan Abdul Rasak-Haris Andi Surahman.
Jadi, seperti kata Juru Bicara MK tadi, status hukum pemohon sengketa Pilkada tidak menjadi pertimbangan MK. Kalaupun kebetulan ada pemohon berstatus tersangka atau terdakwa yang permohonannya digugurkan MK, pertimbangannya tak lain karena tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan dalam UU Pilkada.Baca Juga: Mengawal Sengketa Pilkada yang Berintegritas
Tetap dilantiksekalipun dipenjara
Sebenarnya, tidak hanya sejumlah pemohon sengketa Pilkada di MK yang tercatat bermasalah dengan hukum. Ada pula beberapa pihak terkait dalam permohonan sengketa Pilkada atau pemenang Pilkada yang berstatus sebagai tersangka maupun terdakwa, bahkan terpidana.
Setidaknya, hukumonline mencatat 4 pemenang Pilkada 2017 yang bermasalah dengan hukum. Tentu, Ahok tidak termasuk. Sebab, meski Ahok unggul dalam putaran pertama, calon Gubernur DKI Jakarta petahana ini masih harus “bertarung” di Pilkadaputaran kedua19 April.
Pemenang Pilkada 2017 Tersangka/Terdakwa/Terpidana | Keterangan |
Rusli Habibie |
Calon Gubernur Gorontalo petahana Sebelum Pilkada 2017, Rusli memang sudah berstatus sebagai tersangka. Rusli ditetapkan sebagai tersangka pada 2015. Rusli dilaporkan oleh mantan Kabareskrim Mabes Polri yang kini menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen (Pol) Budi Waseso karena mengadukan fitnah dan mencemarkan nama baik. Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo Nomor 98/Pid.B/2015/PN.GTO tanggal 19 Oktober 2015 : Rusli divonis 8 bulan penjara karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana “mengadu secara fitnah kepada penguasa” (Pasal 317 KUHP). Putusan Pengadilan Tinggi Gorontalo Nomor 65/PID/2015/PT tanggal 24 November 2015 : Hukuman Rusli “dikorting” menjadi 5 bulan penjara. Putusan Mahkamah Agung Nomor 348K/PID/2016 tanggal 21 Juli 2016 : Memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Gorontalo menjadi hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun. |
Samsu Umar Abdul Samiun |
Calon Bupati Buton petahana Samsu berpasangan dengan La Bakry merupakan calon tunggal dalam Pilkada Buton. Pada Oktober 2016, KPK mengumumkan penetapan Samsu sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Buton tahun 2011 yang melibatkan mantan Ketua MK M Akil Mochtar. Perkara Akil sendiri sudah berkekuatan hukum tetap. Samsu diduga menyuap Akil. Saat ini, Samsu berstatus sebagai tahanan KPK. Samsu sempat mengajukan praperadilan, tetapi ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meski berstatus tersangka dan tahanan, pencalonan Samsu sebagai Bupati Buton tidak terganggu. Bahkan, Samsu bersama pasangannya La Bakry ditetapkan KPU sebagai pemenang Pilkada Buton. |
Ahmad Marzuqi |
Calon Bupati Jepara petahana Ahmad yang merupakan calon petahana bersama wakilnya, Subroto sama-sama mencalonkan diri sebagai Bupati Jepara dalam Pilkada 2017. Ahmad berpasangan dengan Dian Kristiandi, sedangkan Subroto berpasangan dengan Nur Yahman. Meski tak lagi bersama dalam Pilkada 2017, Ahmad dan Subroto rupanya "kompak" menyandang status tersangka. Ahmad menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana bantuan politik 2012-2013 dan Subroto tersangka dalam kasus penipuan. Tak disangka, walau berstatus tersangka kasus korupsi, Ahmad memenangkan Pilkada Jepara. Kemenangan Ahmad sempat digugat Subroto ke MK. Namun, gugatan adik Jaksa Agung M Prasetyo ini kandas dalam dalam proses dismissal. |
Khamami |
Calon Bupati Mesuji petahana Sebelum pencoblosan, Khamami yang merupakan calon Bupati Mesuji nomor urut 2 ditetapkan Polda Lampung sebagai tersangkapidana Pilkada.Tak hanya Khamami, calon Wakil Bupati Mesuji nomor urut 1, M Adam Ishak juga berstatus tersangka kasus pemukulan. Berdasarkan hasil perolehan suara, KPU menetapkan Khamami bersama pasangannya Saply Th sebagai Bupati dan Wakil Bupati Mesuji terpilih. Khamami menang telak dari pasangan Febrina Lesisie Tantina dan M Adam Ishak dengan perolehan suara 73,11 persen. |
Walau menyandang status tersangka, terdakwa, dan terpidana, para calon kepala daerah terpilih ini tetap harus dilantik. Berdasarkan Pasal 160 ayat (1) UU Pilkada, pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan berdasarkan penetapan KPU Provinsi yang disampaikan DPRD kepada Presiden melalui Menteri.
Sementara, pengesahan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, sesuai Pasal 160 ayat (3) UU Pilkada dilakukan berdasarkan penetapan KPU Kabupaten/Kota yang disampaikan DPRD Kabupaten/Kota kepada Menteri melalui Gubernur.
Pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden dalam waktu paling lama 20 hari terhitung sejak tanggal usul dan berkas diterima secara lengkap. Begitu jugadengan pengesahan pengangkatan calon Bupati, Wakil Bupati, Walikota,dan Wakil Walikota yang dilakukan oleh Menteri.
Apabila DPRD Provinsi tidak kunjung menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan dalam jangka waktu 5 hari kerja sejak KPU menyampaikan penetapan pasangan calon kepala daerah, sesuai Pasal 160A UU Pilkada, Presiden berdasarkan usulan Menteri mengesahkan pengangkatan calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Dalam hal terjadi di tingkat Kabupaten/Kota, Menteri berdasarkan usulan Gubernur mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Jika Gubernur tidak menyampaikan usulan, Menteri tetap dapat mengesahkan pengangkatan berdasarkan usulan KPU Kabupaten/Kota melalui KPU Provinsi.
Sebagaimana ketentuan UU Pilkada, pelantikan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota dilakukan secara serentak. Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik oleh Presiden di ibu kota negara, sedangkan Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota dilakukan oleh Gubernur di ibu kota Provinsi.
Secara khusus, tata cara pelantikan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Namun, Perpres ini tidak mengatur bagaimana jika kepala daerah berada di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan.
Praktik-praktik sebelumnya pun berbeda-beda. Ada yang dibon atau dikeluarkan sementara dari dalam tahanan untuk dilantik, ada juga yang dilantik di dalam tahanan. Sebut saja, Walikota Tomohon Jefferson Rumajar. Kala itu, Jefferson yang berstatus terdakwa korupsi dilantik di rumah tahanan (Rutan) Cipinang pada 2011.
Kemudian, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih. Pada 2014, Hambit yang mendekam dalam tahanan karena terjerat kasus suap Akil, dilantik di Rutan Pomdam Jaya, Guntur. Contoh lainnya adalah Wakil Bupati Mesuji Ismail Ishak. Pada 2011, Ismail yang tengah berada di dalam Rutan Bawang Latak, Menggala, Lampung lantaran kasus korupsi dilantik bersama Bupati Mesuji terpilih, Khamami.
Berbeda dengan Walikota Tomohon, Bupati Gunung Mas, dan Wakil Bupati Mesuji. Meski mendekam dalam tahanan, Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo tidak dilantik di Rutan, melainkan di kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Anggota DPRD Boven Digoel pun didatangkan ke kantor Kemendagri.
Ketika itu, 2011, Yusak yang perkaranya sedang berproses di tingkat kasasi akan dilantik bersama Wakilnya, Yesaya Merasi. Mahkamah Agung (MA) hanya memberi izin pelantikan di Jakarta. Yusak dibon, lalu bersama Yesaya dilantik dalam sidang paripurna DPRD Boven Digoel di Kemendagri. Setelah pelantikan, Yusak dikembalikan ke Rutan.
Pemberhentian sementara dan tetap
Berdasarkan UU Pilkada, calon kepala daerah terpilih yang bermasalah dengan hukum, memang tetap harus dilantik. Usai pelantikan, kepala daerah yang berstatus tersangka tidak diberhentikan sementara sebagaimana kepala daerah yang berstatus terdakwa atau diberhentikan tetap ketika kepala daerah berstatus terpidana.
UU Pilkada |
Pasal 163 (7) Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. (8) Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur |
Pasal 164 (7) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota. (8) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota. |
Namun, UU Pilkada tidak menyebut secara spesifik dakwaan perkara apa saja kepala daerah dapat diberhentikan sementara. Aturan itu justru dapat ditemukan dalam Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) yang hingga saat ini telah dua kali mengalami perubahan, terakhir dengan UU No. 9 Tahun 2015.
Mengacu Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI. Pasal 83 ayat (2) menentukan, pemberhentian sementara dilakukan berdasarkan register perkara di pengadilan.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Prof Djohermansyah Djohan mengatakan,kepala daerah yang berstatus terdakwa saat dilantik, harus diberhentikan sementara sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Menurutnya, selama pemberhentian sementara, wakil kepala daerah akan menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) kepala daerah. Jika kemudian kepala daerah dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan inkracht, maka akan kembali diaktifkan. Sebaliknya, jika terbukti bersalah dan dihukum, berapapun lama pidananya, kepala daerah tersebut harus diberhentikan tetap karena sudah menjadi terpidana.
“Wakilnya dikukuhkan lewatDPRDuntuk ditetapkan menjadi Gubernur (untuk tingkat Provinsi). Lalu,jabatan wakil yang kosong dipilih oleh DPRDdaripartai pengusung. DPRD saja, tidak pakai pemilihan rakyat lagi. Jadi, pemerintahantetapterisi, tidak vakum, pemerintahan tidak boleh vakum,” ujarnya kepada hukumonline.
Lantas, bagaimana jika kepala daerah itu hanya dihukum percobaan? Bila mengacu Pasal 14a KUHP, pada dasarnya hukuman percobaan tidak menempatkan fisik terpidana ke dalam penjara. Terpidana baru akan dipenjara ketika melakukan tindak pidana atau tidak memenuhi syarat khusus yang ditentukan selama masa percobaan.
Terkait hal ini, ahli hukum tata negara Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono menjelaskan, terpidana percobaan juga masuk dalam kategori pemberhentian tetap sebagaimana diatur dalam UU Pemda. “Desain UU Pemda soal pemberhentian adalah pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bukan pada jenis hukumannya,” tuturnya.
Dan, rumusan Pasal 83 ayat (4) UU Pemda sendiri berbunyi, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Jadi, yang menjadi patokan apakah kepala daerah tersebut terbukti berdasarkan putusan inkracht karena melakukan kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.
Mengangkat pengganti kepala daerah
Pengajar ilmu pemerintahan sekaligus Deputi Pusat Otonomi Daerah IPDN, HalillulKhairimengatakan, bila berstatus terpidana, kepala daerah memang tetap harus dilantik. Akan tetapi, ketika dilantik, saat itu juga kepala daerah harus diberhentikan secara tetap. “Wakilnya langsung naik. Langsung definitif,” imbuhnya.
Nah, untuk mengetahui mekanisme pengisian jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang kosong akibat pemberhentian tetap, UU Pemda mengembalikan kepada UU Pilkada. UU Pemda sendiri hanya mengatur, jika pejabat kepala daerah belum diangkat, maka wakil kepala daerah yang melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.
Aturan tentang mekanisme pengesahan pengangkatan wakil kepala daerah menjadi kepala daerah diatur dalam Pasal 173 UU Pilkada. DPRD Provinsi menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur menjadi Gubernur kepada Presiden melalui Menteri. Dalam hal pengesahan pengangkatan Wakil Bupati/Wakil Walikota menjadi Bupati/Walikota, maka usulannya diserahkan kepada Menteri melalui Gubernur.
Masih berdasarkan Pasal 173 UU Pilkada, jika dalam waktu 10 hari kerja terhitung sejak Gubernur berhenti, Presiden berdasarkan usulan Menteri, bisa tetap mengesahkan pengangkatan Wakil Gubernur sebagai Gubernur berdasarkan surat keputusan pemberhentian Gubernur. Demikian halnya dengan pengesahan pengangkatan Wakil Bupati/Wakil Walikota menjadi Bupati/Walikota.
Lalu, bila Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara bersama-sama tidak dapat menjalankan tugas karena pemberhentian, sesuai Pasal 174 ayat (1) UU Pilkada, pengisian jabatan dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten Kota.
Mekanismenya, partai politik (parpol) atau gabungan parpol pengusung yang masih memiliki kursi di DPRD mengusulkan dua pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih. Dalam hal parpol atau gabungan parpol pengusung tidak memiliki kursi di DPRD saat dilakukan pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka parpol atau gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD mengusulkan pasangan calon paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi.
Dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berasal dari perseorangan secara bersama-sama tidak dapat menjalankan tugas karena pemberhentian, dilakukan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, yang calonnya diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi.
Selanjutnya, sesuai Pasal 174 ayat (5) dan (6), DPRD melakukan proses pemilihan berdasarkan perolehan suara terbanyak. DPRD menyampaikan hasil pemilihan kepada Presiden melalui Menteri untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, dan kepada Menteri melalui Gubernur untuk Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Namun, dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 bulan, Presiden menetapkan penjabat Gubernur dan Menteri menetapkan penjabat Bupati/Walikota seperti ditegaskna Pasal 174 ayat (7).