Terindikasi Mengancam HAM, Pemerintah Perlu Tinjau Ulang CEPA
Berita

Terindikasi Mengancam HAM, Pemerintah Perlu Tinjau Ulang CEPA

Kesepakatan berbasis ISDS harus ditinggalkan seluruhnya karena hal tersebut dinilai bertentangan dengan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
DPR akan dilibatkan dalam pembuatan perjanjian internasional. Foto: SGP
DPR akan dilibatkan dalam pembuatan perjanjian internasional. Foto: SGP
Negosiasi perjanjian perdagangan dan investasi yang sedang berlangsung antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa lewat Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) saat ini telah memasuki tahap ketiga. Negosiasi tahap ketiga tersebut berlangsung sejak 11-25 September 2017 di Brussel, Belgia.

Berdasarkan laporan terbaru dari Indonesia for Global Justice (IGJ), The Transnational Institute (TNI),dan Centre for Research on Multinational Corporations (SOMO), substansi perjanjian tersebut memiliki ancaman yang serius bagi situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Untuk itu, mereka mendesak Wakil Pemerintah yang berpartisipasi dalam perundingan dengan Uni Eropa tersebut untuk melakukan penilaian lebih lanjut atas dampak terhadap HAM dari CEPA sebelum memasuki tahap negosiasi.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmi Hertanti, adanya penyertaan bab investasi dalam proposal CEPA akan membatasi kemampuan Indonesia untuk mengatur kepentingan masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan tentang keberadaan klausula standar perlindungan investor dalam proposal CEPA yang menganut intrumen Investor-State Dispute Sattlement (ISDS).

Untuk diketahui, instrumen ISDS memperbolehkan investor asing untuk menuntut negara apabila kebijakan negara yang berkaitan dengan kepentingan masyarakatnya dirasa oleh investor memiliki dampak negative pada keuntungan yang diharapkan oleh mereka. (Baca Juga: Ada yang Perlu Diwaspadai dalam CEPA Indonesia-Uni Eropa)

Oleh karena itu, Rahmi menggarisbawahi bahwa kesepakatan berbasis ISDS harus ditinggalkan seluruhnya karena hal tersebut dinilai bertentangan dengan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia.

“Perlindungan investasi tidak boleh bertentangan dengan ruang kebijakan untuk memenuhi hak asasi manusia. Sebuah sistem yang memungkinkan perusahaan multinasional untuk mempengaruhi pilihan kebijakan dalam negeri dengan mengancam untuk membawa klaim jutaan dolar tidak dapat diterima,” ujarnya kepada hukumonline, Selasa (12/9).

Menurut Rahmi, saat ini Indonesia telah menerima beberapa klaim tuntutan investasi jutaan dolar dan telah dipaksa untuk mengurangi kebijakan pembangunan domestic dan mengabaikan peraturan perundang-undang tentang lingkungan yang lebih ketat mengatur investor.

Roeline Knottnerus, salah satu kontibutor pada laporan untuk SOMO dan TNI menyebutkan CEPA mesti tegas menetapkan prioritas terhadap hukum hak asasi manusia atas undang-undang sektor perdagangan dan investasi ketimbang kepentingan investor semata. (Baca juga: Konstitusionalitas Perjanjian Transpasific Partnership)

“Dampak hak asasi manusia dan lingkungan dari CEPA harus dinilai secara berkala yang mengarah kepada amandemen kesepakatan apabila ada dampak negative,” ujar Roeline.

Selanjutnya, Rahmi menegaskan kepada wakil Pemerintah untuk melakukan penilaian terhadap dampak HAM dari CEPA, dengan begitu hasi penilaian tersebut dapat menjadi petunjuk dalam melakukan negosiasi. Selain itu, ia mengingatkan tentang perlu adanya transparansi dan keterlibatan penuh dari DPR untuk mengatasi dampak negatif dari CEPA.

“Penilaian Dampak Hak Asasi Manusia yang berdedikasi harus segera dilakukan untuk memandu perundingan. Dampak potensial dari CEPA juga menuntut proses yang lebih transparan dan keterlibatan penuh parlemen nasional,” ujarnya.

Untuk itu, IGJ yang akan diwakili oleh Rachmi bersama anggota komisi VII DPR RI Mercy Barends, direncanakan menghadiri seminar public di Brussels, Rabu sampai Kamis (13-14/8), waktu Brussels.Seminarpublikini merupakan bagian dari proses rangkaian IGJ bersama-sama dengan CSOs di Uni Eropa untuk mengintervensi proses perundingan Indonesia-EU CEPA yang sedang berlangsung.

Beberapa isu yang akan diresponsdalam pertemuan ini yaitu,isu investasi dan gugatan investor terhadap Negara (ISDS), isu Resolusi Parlemen EU tentang Sawit Indonesia, isu CEPA dan hak asasi manusia, dan isu CEPA dan agenda pembangunan berkelanjutan.

Untuk diketahui, negosiasi Indonesia-Uni Eropa CEPA telah dimulai sejak tahun 2016 dan diharapkan untuk selesai pada tahun 2019. Uni Eropa dan Indonesia, sebagai kekuatan  ekonomi terbesar di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), merupakan partner perdagangan yang penting.

Dalam Negosiasi antara Indonesia dan Uni Eropa tersebut membahas berbagai hal, termasuk tarif, non-tariff barriers, perdagangan jasa dan investasi, perdagangan aspek pengadaan publik, peraturan kompetisi dan hak kekayaan intelektual dengan berbagai dampak yang berpotensi dalam perkembangan yang berkelanjutan dan hak asasi manusia.

Tags:

Berita Terkait