Jaksa Agung Persoalkan Kewenangan KPK Eksekusi Putusan Inkracht
Berita

Jaksa Agung Persoalkan Kewenangan KPK Eksekusi Putusan Inkracht

Karena tidak ada satu pasal pun secara tegas KPK dapat melakukan eksekusi putusan pengadilan dalam UU KPK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung HM Prasetyo. Foto: RES
Jaksa Agung HM Prasetyo. Foto: RES
Kewenangan eksekusi putusan pengadilan pidana merupakan kewenangan jaksa jika merujuk hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP). Namun, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga berwenang sebagai eksekutor terhadap putusan pengadilan pidana (korupsi) menjadi persoalan. Hal ini menjadi salah satu bahasan rapat kerja dengar pendapat antara Jaksa Agung dan Komisi III DPR di Gedung DPR, Senin (11/9) kemarin.

Saat itu, Jaksa Agung HM Prasetyo berpendapat UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan KPK berwenang melakukan eksekusi terhadap putusan telah berkekuatan hukum tetap. Sebab, praktiknya meski lembaga lain (KPK) memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan, seharusnya kewenangan eksekusi putusan inkracht tetap dilakukan jaksa pada Kejaksaan.

Dia mencontohkan kasus-kasus yang ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN), eksekusinya tetap dilakukan oleh jaksa sebagai eksekutor. Menurutnya, jaksa KPK bisa saja melakukan eksekusi sepanjang kewenangan itu diatur UU KPK yang bersifat khusus (lex spesialis). Namun, bagaimana apabila kewenangan eksekusi putusan tidak diatur dalam UU KPK?

“Itu pemahaman kita. Tidak ada lembaga lain selain Kejaksaan yang dapat mengeksekusi putusan inkracht, ini fakta. Apalagi, tidak ada satu pasal pun dalam UU KPK mengatur wewenang eksekusi KPK,” tegasnya. Baca Juga: Densus Tipikor Tetap Memisahkan Penyidikan dan Penuntutan

Merujuk Pasal 7 hingga Pasal 14 UU KPK memang tidak ditemukan kewenangan KPK yang tegas berkaitan dengan eksekusi putusan pengadilan oleh jaksa KPK. Aturan itu hanya mengatur penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh KPK.

Prasetyo pun merujuk kasus tindak pidana ringan (Tipiring) yang ditangani Polri. Meski Polri dengan kewenangannya dapat mengajukan langsung mengajukan perkara ke pengadilan. Toh, eksekusinya tetap kembali ke Kejaksaan. Karena itu, dia menilai pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan pidana termasuk korupsi di luar institusi Kejaksaan illegal. “Jadi rasanya kalau masyarakat kritis, eksekusi di luar Kejaksaan, itu illegal,” katanya.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengamini pandangan Jaksa Agung. Sebab, Pasal 270 KUHAP mengatur kewenangan eksekusi terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap berada di tangan jaksa. Namun pasal tersebut tidaklah berdiri sendiri apabila kewenangan eksekusi ternyata dikaitkan dengan lembaganya. “Apakah UU kelembagaanya itu dalam rumusan tugasnya melaksanakan eksekusi atau tidak?”

Menurut Arsul, seorang jaksa yang ditempatkan di suatu lembaga tidak berarti dapat melakukan eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Karena itu, semestinya eksekusi terhadap putusan Pengadilan Tipikor dilakukan oleh Kejaksaan, bukan KPK. Makanya, kewenangan eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum seharusnya tetap kembali ke Kejaksaan.

“Kalau kita lihat UU KPK, tugas kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Tidak ada yang menyebutkan kewenangan eksekusi. Problemnya di Peraturan KPK, di mana kewenangan KPK melaksanakan penetapan/putusan hakim Pengadilan Tipikor diatur?” ujar politisi PPP itu.

Perlu ada kewenangan tambahan
Bagi Arsul, persoalan ini perlu kejelasan agar KPK dapat melakukan eksekusi putusan Pengadilan Tipikor, misalnya kewenangan tersebut masuk dalam revisi UU KPK apabila kewenangan eksekusi ini dikaitkan dengan kelembagaan. Soalnya, kewenangan eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ini tidak diatur oleh UU KPK. “Maka harus adanya penambahan (kewenangan),” lanjutnya.

Untuk itu, dia mengusulkan hal kewenangan eksekusi ini perlu masuk dalam revisi UU KPK agar praktik penegakan hukum yang dilakukan KPK tidak disebut “menabrak” hukum acara pidana dan UU KPK sendiri. “Kalau mereka (KPK) mau mengeksekusi, maka harus ada kewenangan tambahan dengan merevisi aturan. Kami menafsirkan berdasarkan UU KPK saja,” ujarnya.

Meski begitu, Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman mengakui ketentuan jaksa dapat melakukan eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sesuai hukum acara pidana (KUHAP). Namun, Benny merujuk Pasal 38 ayat (1) UU KPK yang tak boleh diabaikan.

Pasal 38 ayat (1) UU KPK menyebutkan, “Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.”

Menurutnya, Pasal 270 KUHAP berkaitan dengan eksekusi yang dilakukan oleh Kejaksaan. Yang dimaksud dengan jaksa adalah penuntut umum untuk yang menangani kasus yang bersangkutan. “Jadi pelaksana eksekusi adalah jaksa penuntut umum yang menangani perkara bersangkutan. Yang di KPK kan jaksa,” katanya.

“Jadi, jaksa dalam Pasal 270 KUHAP itu adalah jaksa penuntut umum. Yang dimaksud jaksa di KPK adalah jaksa yang menangani kasus itu. Jadi sudah jelas itu, jangan dibuat tidak jelas lagi,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait