MK Pertegas Kewenangan KPPU Bukan Sebagai Pro Justitia
Utama

MK Pertegas Kewenangan KPPU Bukan Sebagai Pro Justitia

Kewenangan tersebut dimiliki oleh kekuasaan kehakiman.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, Pasal 41 ayat (2) dan ayat (2), serta Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli). Di mana, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam kewenangannya melakukan penyelidikan dan pengawasan perlu dibatasi.

Ketua MK Arief Hidayat menyatakan frasa “penyelidikan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, dan huruf i, serta Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU Anti Monopoli bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. “Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan,” katanyasaat membacakan amar putusan Perkara No. 85/PUU-XIV/2016, di Gedung MK,diJakarta, Rabu (20/9).

Tidak hanya itu, Arief juga mengatakan, frasa “Pihak Lain” dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU Anti Monopoli bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain.”

Permohonan ini diajukan oleh PT. Bandung Raya Indah Lestari yang mengikuti tender pengadaan barang dan jasa pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Bandung. Pemohon merasa dirugikan dengan keputusan KPPU No. 12/KPUU-L/2015, yang membatalkan proses pelelangan badan usaha. Padahal tender tersebut, menurut pemohon, telah dimenangkan secara jujur, fair dan terbuka.

(Baca Juga: Mau Dibawa ke Mana Upaya Keberatan Atas Putusan KPPU)

Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal a quo tidak mengatur secara jelas dan tegas kedudukan KPPU. Apakah sebagai lembaga administratif yang memberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan secara administratif ataukah sebagai penegak hukum pidana yang berwenang melakukan penyelidikan.

Lebih lanjut, pemohon menganggap bahwa frasa “penyelidikan dan atau pemeriksaan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, hurufidan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU Anti Monopoli tidak memberikan kepastian hukum karena seolah-olah KPPU ataupun unit kerja di dalamnya mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan.

Pemohon menilai ketidakjelasan tersebut dapat memberikan celah hukum, karena KPPU dapat serta merta menjadikan hasil pemeriksaan administratif sebagai hasil penyelidikan. Ketidakjelasan tersebut juga berpotensi untuk memberikan ruang kepada KPPU untuk secara luas menjalankan fungsi penyelidikan, fungsi penuntutan dan fungsi ajudikasi (kehakiman) sekaligus.

Pemohon menilai, KPPU tidak mempunyai wewenang berdasarkan UU untuk menjalankan ketiga fungsi tersebut, kecuali melakukan pemeriksaan administratif terhadap pelaku usaha.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat bahwa KPPU merupakan lembaga negara bantu (state auxiliary organ) yang dibentuk di luar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok di ranah eksekutif. Wewenangnya diletakkan dalam bingkai penegakan hukum dalam hukum administrasi negara, yakni penyelidikan dan pemeriksaan. Untuk adanya pelanggaran terhadap UU Anti Monopoli.

(Baca Juga: MA Revisi Perma Terkait Tata Cara Pengajuan Keberatan Putusan KPPU)

Di mana KPPU dalam menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrasi kepada pelaku usaha dan konteks fungsi administrasi atau verifikasi laporan masyarakat atau pelaku usaha terhadap dugaan terjadinya praktik monopoli tidak sehat. Dengan cara mengumpulkan alat bukti yang cukup sebagai kelengkapan, kejelasan laporan, laporan hasil kajian, hasil penelitian dan hasil pengawasan dalam rangka penegakan hukum persaingan usaha.

“Dan bukan penyelidikan dalam pengertian pro justitia sebagaimana yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,” bunyi pertimbangan Mahkamah.

Selanjutnya, Mahkamah meniliai pengertian “penyelidikan” yang multitafsir, mengingat tidak jelasnya kewenangan KPPU sebagai penegak hukum dalam ranah pidana atau bukan. Sangat dimungkinkan adanya praktik penyimpangan kewenangan dalam pro justitia. “Sebab, sangat berhimpitan dengan potensi dilanggarnya hak asasi pihak yang sedang dilakukan penyelidikan. Sehingga, perlu diberikan kepastian tentang ruang lingkup batasan kewenangan KPPU guna memberikan kepastian hukum.”

Selanjutnya, dalam pertimbangan frasa “Pihak Lain”, Mahkamah berpendapat merujuk pada definisi pasal a quo yang secara tegas dan imperatif diperoleh pemaknaan bahwa persekongkolan terjadi apabila terdapat sedikitnya dua pelaku usaha yangsaling bekerja sama melakukan tindakan yang melanggar hukum demi tujuan tertentu.

Lalu, Mahkamah menjelaskan perlu adanya pembatasan pihak yang terlibat dalam persekongkolan. Yaitu hanya sebatas pada sesama pelaku usaha ternyata tidak dapat mengatasi modus berbagai praktik persekongkolan yang semakin beraneka ragam.

(Baca Juga: Menelaah Arah Penegakan Hukum Persaingan Usaha)

Mengingat, semakin pesat persaingan usaha dan berbagai kemajuan teknologi, seperti persekongkolan tender, di mana kerja sama untuk mengatur tender dapat terjadi sejak tahap perencanaan, penyusunan DIPA, pembentukan panitia dan dokumen persyaratan, prakualifikasi HPS, pada saat pembukaan tender bahkan pada tahap paling akhir.

Maka, Mahkamah menganggap perlu diperluas tidak saja hanya antar pelaku usaha dalam pengertian konvensional akan tetapi juga “pihak yang terkait dengan pelaku usaha”. Dengan demikian sepanjang KPPU tidak memiliki bukti yang cukup tentang keterkaitan pihak ketiga pelaku usaha dan lainnya, hal itu tidak dapat diartikan sebagai bentuk persekongkolan.
Tags:

Berita Terkait