Menakar Densus Tipikor dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan
Kolom

Menakar Densus Tipikor dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan

Penempatan Jaksa/Penuntut Umum di bawah Densus Tipikor yang secara struktural dibawah Polri merupakan suatu tindakan yang melanggar undang-undang.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Baru baru ini terdengar hiruk pikuk rencana pembentukan Densus Tipikor oleh Polri, banyak ragam pendapat yang sudah terlontar di berbagai media baik media cetak media online media TV bahkan di media sosial. Rencana tersebut pertama kali muncul dalam kesimpulan rapat antara Komisi III dengan Kapolri (23/5/2017).

Konsep Densus Tipikor yang diusulkan oleh Kapolri (Tito Karnavian) dalam rapat gabungan di Komisi III DPR, Senin (16/10/2017): Pertama, lembaga tersebut dibentuk satu atap dengan Kejaksaan dan dipimpin secara kolektif kolegial. Kedua, Densus Tipikor dibentuk dengan membentuk satu kelompok kerja dengan Kejaksaan Agung. Sebagaimana Densus 88 Antiteror yang memiliki partner kerja Satgas Penanganan Tindak Pidana Terorisme di Kejaksaan Agung.

Melihat rencana pembentukan Densus tipikor dengan kedua konsep di atas, menimbulkan pertanyaan, Apakah memungkinkan Densus Tipikor dibentuk dalam satu atap dan penuntutan berada di bawahnya?

Berkaitan dengan usulan tersebut, Jaksa Agung M Prasetyo di sela-sela rapat gabungan Komisi III dengan Polri, KPK dan Kejaksaan (16/10/17) menegaskan bahwa Kejaksaan Agung telah memiliki Satuan Tugas Khusus Penangganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK) sejak tahun 2015. Sehingga tidak perlu personel Jaksa berada satu atap dalam Densus Tipikor.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Adapun badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI. (lihat Pasal 41 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman)

Selanjutnya dalam Pasal 2 UU No.16/ 2004 tentang Kejaksaan RI ditegaskan bahwa Kejaksaan adalah adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang yang dilaksanakan secara merdeka dan Kejaksaan adalah satu tidak terpisahkan.

Selain itu dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU No.16/2004 dijelaskan bahwa mengingat Jaksa Agung adalah adalah pimpinan dan penanggungjawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan, maka Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggungjawab tertinggi dalam bidang penuntutan.

Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan di atas maka dapat dikatakan bahwa penempatan Jaksa/Penuntut Umum dibawah Densus Tipikor yang secara struktural di bawah Polri merupakan suatu tindakan yang melanggar undang-undang.

Lalu mengapa Jaksa/Penuntut Umum dapat ditempatkan di bawah pimpinan KPK? Hal tersebut dapat dilakukan oleh karena KPK dibentuk berdasarkan UU No.30/2002 tentang KPK yang merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan Pasal 43 UU No.31/1999 yang telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Selain itu, KPK lahir dilatarbelakangi pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Alasan lain penyatuan penuntut umum di bawah Densus Tipikor agar penanganan perkara korupsi tidak bolak balik sehingga menjadi lebih efisien. Solusi agar penanganan perkara korupsi atau perkara pidana lainnya menjadi lebih efisien adalah dengan merevisi UU No.8/1981 tentang KUHAP.

Efisiensi dalam proses penanganan perkara terjadi ketika interaksi antara penyidik dan penuntut umum tidak birokratis dan formal namun dalam KUHAP penuntut umum hanya memeriksa secara formal berkas perkara yang diajukan oleh penyidik, tanpa perlu mengetahui proses penyusunan berkas dan tata cara perolehan alat bukti.

Proses tersebut akan menjadi problematika apabila di persidangan terdakwa mencabut keterangannya di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan penuntut umum harus tetap mempertahankan pembuktian atas surat dakwaan yang telah dibuat berdasarkan BAP penyidik.

Proses yang terkotak-kotak tersebut menyebabkan bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum. Selain itu tiadanya pengawasan horizontal atas tindakan yang telah dilakukan oleh penyidik oleh penuntut umum menyebabkan seringkali suatu penyidikan tidak ditindaklanjuti ke tahap berikutnya oleh penyidik.

Dalam situasi ini, penuntut umum tidak dapat berbuat apa-apa, sehingga menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi para pencari keadilan karena tidak adanya kepastian hukum. Sehingga diperlukan perubahan sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini dari sistem yang terkotak-kotak menjadi sistem yang terintegrasi di antara sub sistem yang ada.

RUU KUHAP yang telah disusun oleh tim yang dibentuk Kementerian Hukum dan HAM di bawah pimpinan Prof Andi Hamzah sebenarnya telah menjawab permasalan tersebut. Oleh karena dalam RUU tersebut banyak perubahan mendasar terkait hubungan antara sub sistem penegak hukum yang saling mengisi dan mengawasi satu sama lain.

Kebijakan taktis pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi sebenarnya sudah on the track, yaitu dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015 yang antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di instansi pemerintah.

Menindaklanjuti Inpres No.7/2015, H.M. Prasetyo, selaku Jaksa Agung RI telah membentuk TP4 (Tim Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan) berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-152/A/JA/10/2015 tanggal 01 Oktober 2015, yang selanjutnya dikeluarkan Instruksi Jaksa Agung RI Nomor: INS-001/A/JA/10/2015 tentang Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Kejaksaan Republik Indonesia.

Dalam TP4, Kejaksaan RI sebagai Lembaga penegak hukum diberi peran untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional di pusat maupun di daerah melalui pengawalan dan pengamanan baik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan maupun pemanfaatan hasil pembangunan termasuk dalam upaya mencegah timbulnya penyimpangan dan kerugian negara.

Selain itu untuk memperkuat Inpres No.7/2015 di atas, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No.87/2016 tentang Satgas Sapu Bersih Pungli. Satgas Saber Pungli mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Pembentukan Satgas Saber Pungliini lebih ke arah perbaikan sistem dan pencegahan korupsi, hal tersebut dalam dilihat dalam wewenang yang diberikan yaitu:
  1. membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar;
  2. melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi informasi;
  3. mengoordinasikan,merencanakan, dan melaksanakan operasi pemberantasan pungutan liar;
  4. melakukan operasi tangkap tangan;
  5. memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga serta kepala pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  6. memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik kepada pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah; dan
  7. melaksanakan evaluasi kegiatan pemberantasan pungutan liar.

Apabila DPR RI saat ini menganggap KPK tidak berhasil menjadi Trigger Mechanism dalam pemberantasan tipikor maka solusinya bukan  membentuk Densus Tipikor namun cukup memperkuat Direktorat Tipikor Polri dan Satgasus P3TPK Kejaksaan RI serta Tim Saber Pungli dengan memberikan kewenangan dan anggaran yang cukup.

Pembentukan Densus Tipikor yang melibatkan penuntut umum di bawah struktur Polri cenderung melanggar Pasal 18 ayat (1) UU No.16/2004 yang menjelaskan bahwa Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan.

Selain itu pembentukan Densus Tipikor yang membutuhkan anggaran Rp2,6 triliun sangat bertolak belakang dengan turunnya anggaran penangaran perkara korupsi di Kejaksaan Negeri yaitu dari rata-rata lima perkara korupsi per tahun menjadi hanya satu perkara korupsi per tahun pada APBN 2016 dan 2017.

Padahal Kejaksaan Negeri adalah ujung tombak penanganan perkara tipikor hasil penyidikan di pengadilan. Seharusnya penguatan anggaran penyidikan tipikor juga termasuk penguatan anggaran penuntutannya.

Apabila anggaran penuntutan tidak diperkuat maka akan terjadi the weakness link dalam pemberantasan tipikor, di mana Majelis Hakim sudah terlebih dahulu mendapat anggaran dan gaji yang cukup besar.

Untuk mendorong KPK menjadi Trigger Mechanism atau Supervisor dan bukan menjadi Competitor bagi Kepolisian dan Kejaksaan maka perbaikan mekanisme kerja  KPK harus difokuskan dalam memperkuat fungsi supervisi.

Kasus-kasus OTT atau kerugian negaranya kecil yang ditangani KPK idealnya diserahkan terlebih dahulu kepada penyidik Kepolisian atau Kejaksaan. Penyerahan kasus-kasus tersebut sebagai bentuk ujicoba pelaksanaan fungsi Trigger Mechanism.

Apabila kasus yang diserahkan KPK kepada penyidik Kepolisian/Kejaksaan tidak berjalan atau bahkan stop maka KPK berhak langsung mengambil alih penanganan kasus-kasus tersebut.

*)Dr. Reda Manthovani, SH, LLM, Dosen Hukum Pidana pada FH Universitas Pancasila
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags:

Berita Terkait