Akademisi Ini Beberkan 3 Pendekatan Penanganan Sengketa Pilpres
Melek Pemilu 2024

Akademisi Ini Beberkan 3 Pendekatan Penanganan Sengketa Pilpres

Meliputi pendekatan preskriptif, determinatif, dan campuran. Dalam menangani PHPU sejak 2004 pendekatan yang digunakan MK yakni determinatif.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini. Foto: RES
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini. Foto: RES

Masyarakat menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Pilpres) Tahun 2024. Pengajar bidang studi hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan ada 3 pendekatan yang digunakan pengadilan dalam menangani perkara PHPU Pilpres 2024

Pertama, pendekatan preskriptif yakni fokus penanganan pada pelanggaran yang terjadi tanpa mempertimbangkan dampak dari hasil. Sekali terbukti ditemukan pelanggaran, pengadilan langsung membatalkan hasil pemilu. “Pendekatan ini terlihat ekstrim, dan Indonesia tidak pernah mempraktikkan,” kata Titi Anggraini saat dihubungi, Rabu (17/4/2024).

Baca Juga:

Kedua, pendekatan determinatif, menitikberatkan penanganan pada hasil pemilu. Lembaga pengadilan yang menangani sengketa akan melihat dampak pelanggaran yang terjadi terhadap hasil pemilu. Menurut Titi, pendekatan ini yang dipraktikan di Indonesia sejak MK menangani PHPU tahun 2004 silam. Fokusnya pada dampak pelanggaran terhadap hasil atau perolehan suara. Ketika pertama kali menangani PHPU Pilpres tahun 2004, MK menyatakan tak sekedar menangani pendekatan secara kuantitatif, tapi juga kualitatif yakni menegakan keadilan dan prinsip pemilu.

Ketiga, pendekatan campuran antara preskriptif dan determinatif. Titi menjelaskan pendekatan ini bisa menganulir hasil pemilu dengan dasar pengaruh terhadap hasil dan mempertimbangkan bobot pelanggaran berapapun hasil perolehan suara. Pendekatan ini mendorong setiap orang untuk tidak melakukan pelanggaran atau menganggap pelanggaran itu tidak akan berpengaruh pada hasil pemilu. “Signifikansi juga penting, maka bobot pelanggaran harus menjadi pertimbangan. Ini yang digunakan sejumlah negara untuk menjembatani pendekatan preskriptif dan determinatif,” ujarnya.

Mengingat pada praktiknya MK menggunakan pendekatan determinatif dalam PHPU Pilpres, Titi mencatat sebelum memutus MK mempertimbangkan signifikansi pelanggaran terhadap perolehan suara atau hasil pemilu. Dengan pendekatan itu dia memprediksi MK tidak akan memutus pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh TPS dalam perkara PHPU Pilpres 2024.

MK akan mempertimbangkan PSU hanya untuk wilayah yang terjadi pelanggaran dan berpengaruh terhadap perolehan suara. “Kemungkinan (MK memutus, red) PSU di daerah yang titiknya selama persidangan menunjukan fakta terjadi pelanggaran terhadap asas dan prinsip jujur dan adil,” ujar Dewan Pembina Perludem itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait