Berangkat dari Pembatalan Perda Privatisasi Rumah Sakit
Problem Hukum Pengujian Perda (1):

Berangkat dari Pembatalan Perda Privatisasi Rumah Sakit

Ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya Perda, di era otonomi daerah ternyata tidak konsisten antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain.

M-1
Bacaan 2 Menit
Berangkat dari Pembatalan Perda Privatisasi Rumah Sakit
Hukumonline

 

Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otoda ini mengingat Perda adalah produk kepala daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.

 

Menurut Maria Farida, pengujian terhadap Perda tidak dilakukan oleh MA. Menurut pakar ilmu perundang-undangan tersebut, hal itu terkait ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 di mana kewenangan pembatalan (berarti termasuk juga pengujiannya) Perda hanya ada pada Presiden apabila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.  Kalau sekarang, yang berwenang membatalkan Perda berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 itu Presiden/Pemerintah. Pemerintah dengan Peraturan Presiden, tapi kalau Pemerintah Daerah itu tidak puas, ia bisa mengajukan ke MA, ujar Maria.

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, tindak lanjut dari pembatalan Perda tersebut menurut UU No 32 Tahun 2004, harus dibuat Peraturan Presiden yang menyatakan pembatalan Perda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda oleh Pemerintah dari Daerah. Kemudian, paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.

 

Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan,maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung

 

Dengan demikian, wewenang MA terkait pembatalan Perda berdasarkan Pasal 145 ayat (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 terbatas hanya menerima keberatan terhadap daerah yang tidak terima pembatalan Perda oleh Pemerintah, dan tidak berwenang menguji, apalagi membatalkannya. Jadi dia (MA) tidak membatalkan. Tapi kalau Perda bertentangan dengan yang lebih tinggi, maka asasnya ia tidak bisa diberlakukan, (karena) tidak punya kekuatan hukum (lagi), urai Maria.

 

Secara tersirat, Maria Farida menyatakan bahwa kondisi demikian berarti sebagai pengecualian dari ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 2004 dimana seharusnya MA berwenang melakukan uji materiil terhadap segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sebetulnya menurut Pasal 24A (UUD 1945), semua peraturan di bawah UU diujinya oleh MA, tapi UU Nomor 32 (Tahun 2004) menyatakan kalau Perda bertentangan dengan yang lebih tinggi, dibatalkan oleh Presiden, jelas Maria lebih lanjut.

 

Dengan demikian, menurut staf pengajar Fakultas Hukum UI ini, MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya, tapi tidak termasuk Perda.

 

Namun demikian, menurut Kepala Pusat Kajian Otonomi Daerah Universitas Brawijaya Malang, Ibnu Tri Cahyo, pengaturan mengenai kebolehan Pemerintah menguji Perda tidak berarti sebagai pengecualian dari wewenang MA dalam menguji peraturan peraundang-undangan. Menurut Ibnu, MA tetap berwenang menguji Perda.

 

Pengujian Perda oleh Pemerintah justru karena Pemda merupakan bagian dari pemerintah (eksekutif). Karena Pemda ada di bawah Pemerintah, dan dia ada di struktur Pemerintah. Jadi Pemerintah pun harus mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat oleh daerah, jelasnya lebih lanjut.

 

Meskipun Pemerintah mempunyai kewenangan menguji Perda, kewenangan tersebut menurut Ibnu harus dilakukan dalam konteks supremasi hukum. Jadi supaya sentaralistik tidak dominan. Meskipun itu bisa dibatalkan oleh pemerintah, Daerah yang keberatan masih diberikan kesempatan mengajukan keberatan ke MA, ujarnya.

Era otonomi daerah memberikan kebebasan kepada daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda). Namun, dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 05/HUM/2005 timbul permasalahan hukum mengenai lembaga mana sebenarnya yang berwenang menguji.

 

Majelis hakim agung yang diketuai Prof. Muchsan pada 21 Februari 2006 memutuskan pembatalan tiga Perda DKI Jakarta (No. 13, 14 dan 14 Tahun 2004). Dalam amarnya, majelis juga memerintahkan kepada Gubernur dan DPRD DKI untuk mencabut ketiga Perda tersebut. Jika dalam waktu 90 hari tidak dilaksanakan, maka ketiga Perda tentang privatisasi rumah sakit daerah itu demi hukum dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

 

Putusan itu sendiri berawal dari permohonan judicial review yang sejumlah elemen pemerhati hak-hak konsumen, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung  memberi wewenang kepada MA untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Dengan merujuk pasal 7 UU No 10 Tahun 2004 berarti peraturan perundang-undangan yang dapat diuji oleh MA adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.

 

Pembatalan

Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya.

Tags: