Tragis, Hanya Tujuh Sarjana Syariah yang Lolos
Calon Advokat

Tragis, Hanya Tujuh Sarjana Syariah yang Lolos

Bukan kurikulum penyebabnya, namun biaya PKPA dan ujian yang mahal serta tingginya passing grade. Lulusan Fakultas Syariah lebih berminat menjadi hakim atau pegawai Departemen Agama.

Her
Bacaan 2 Menit
Tragis, Hanya Tujuh Sarjana Syariah yang Lolos
Hukumonline

 

                   Calon advokat yang lolos verifikasi

 

Daerah

Sarjana Hukum

Sarjana Syariah

Bandung

72

-

Batam

9

-

Denpasar

31

-

Jakarta

763

2

Lampung

12

-

Makassar

10

-

Manado

7

-

Medan

33

-

Padang

9

-

Palembang

23

-

Palu

1

-

Pekanbaru

27

-

Pontianak

6

1

Samarinda

7

-

Semarang

49

3

Surabaya

19

-

Yogyakarta

52

1

Total

1130

7

Sumber: PERADI, diolah.

 

Ketujuh sarjana syariah tersebut sebelumnya mengikuti Ujian Profesi Advokat yang digelar PERADI pada 4 Februari 2006 dan 9 September 2006. Dan karena sudah dinyatakan lolos verifikasi, dalam waktu dekat mereka bakal dilantik.

 

Wakil Sekjen PERADI, Hasanuddin Nasution, mengatakan, minimnya calon advokat dari Fakultas Syariah yang lolos verifikasi bisa dimaklumi. Karena prosentase mereka yang ikut PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat—red) dan ujian advokat sangat kecil dibanding sarjana hukum, ujarnya. Barangkali karena minat mereka kurang.

 

Selain itu, menurut Hasanuddin, kemampuan sarjana syariah tentang hukum acara masih di bawah sarjana hukum. Tak lain, karena materi perkuliahan tentang hukum acara di Fakultas Syariah sangat terbatas. Kalau saya amati, sarjana hukum bisa menguasai hukum acara di Peradilan Agama, tapi sarjana syariah belum tentu menguasai hukum acara di peradilan umum, paparnya.

 

Namun hal itu dibantah Sekjen Assosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), Nurkhoirin. Menurutnya, lulusan Fakultas Syariah punya minat yang tinggi untuk jadi advokat, meskipun prosentasenya memang kecil dibanding lulusan Fakultas Hukum. Belakangan, sejumlah perguruan tinggi Islam juga menambah materi tentang hukum acara.

 

Kendala utamanya adalah mahalnya biaya PKPA yang mencapai Rp5 juta atau Rp3 juta di daerah dan biaya ujian advokat sebesar Rp700.000. Selain itu adalah tingginya passing grade yang dipatok PERADI, yakni mencapai 6,5 sampai 7, kata Nurkhoirin.

 

PERADI memang menerapkan standar yang tinggi dalam penilaian. Tak mengherankan, dari 6500 peserta ujian advokat yang digelar pada 4 Februari 2006, hanya sekitar 33% yang lulus. Bahkan pada ujian yang digelar 9 September 2006, prosentase itu menurun drastis. Dari 3.500 peserta, yang lulus ujian hanya sekitar 17 %.

 

Menurut Hasanuddin, passing grade yang tinggi sebenarnya tak hanya menjadi momok bagi lulusan fakultas syariah. Sarjana Hukum juga banyak yang nggak lulus, ujarnya. Melalui PKPA, kesenjangan penguasaan hukum acara antara sarjana syariah dengan sarjana hukum sejatinya bisa diatasi. Toh ketika menggelar PKPA, PERADI selalu menerapkan kurikulum yang seragam untuk seluruh Indonesia. Lebih dari itu, materi yang diujikan adalah materi yang diajarkan di PKPA.

 

Sia-siakan peluang

Jika menilik UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sarjana syariah sebenarnya punya peluang yang sama dengan sarjana hukum untuk menjadi advokat. Pasal 2 (1) UU Advokat menyatakan, yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan telah mengikuti PKPA. Sedangkan yang dimaksud dengan berlatar belakang pendidikan tinggi hukum adalah lulusan fakultas hukum, fakultas Syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.

 

Peluang itu tampaknya kurang dimanfaatkan. Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Abdussalam Nawawi, sangat menyangkan hal itu. Profesi advokat ini 'kan sesuatu yang masih baru bagi lulusan Fakultas Syariah. Sepertinya mereka lebih suka mendaftar jadi hakim atau pegawai di Departemen Agama, ujarnya.

 

Hampir seluruh dekan Fakultas Syariah, kata Abdussalam, berusaha mengarahkan mahasiswanya untuk melirik profesi advokat. Kurikulum sudah kami benahi. Kami juga sudah bekerja sama dengan PERADI dan beberapa kantor law firm, tuturnya.

 

Bagaimanapun juga, sarjana syariah tak boleh menyia-siakan peluang yang disediakan UU Advokat. Sebab, kalau mau menengok sejarah, UU ini lahir juga atas desakan kalangan fakultas syariah.

 

Bendera setengah tiang agaknya pantas dikibarkan di Perguruan Tinggi yang memiliki Fakultas Syariah. Pengibaran bendera itu sebagai tanda duka cita atas minimnya lulusan fakultas syariah yang bakal jadi advokat.

 

Pekan lalu, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) telah mengumumkan, dari 1.137 calon advokat yang lolos verifikasi, hanya ada tujuh yang berasal dari lulusan fakultas syariah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: