Pemenuhan Hak Buruh dalam Kepailitan Masih Belum Jelas
Putusan MK:

Pemenuhan Hak Buruh dalam Kepailitan Masih Belum Jelas

Buruh kesulitan menghadirkan ahli meskipun hakim sudah memberikan waktu dua minggu. Permohonan akhirnya tidak dapat diterima.

Ali
Bacaan 2 Menit
Pemenuhan Hak Buruh dalam Kepailitan Masih Belum Jelas
Hukumonline

 

Dalam sidang yang berlangsung Selasa (06/5), Mahkamah Konstitusi akhirnya menjatuhkan putusan atas permohonan Muhammad Hafidz dan kawan-kawan. Putusan itu seolah menjadi kabar tak sedap bagi sebagian buruh yang beberapa hari lalu memperingati Mayday. Niet ontvankelijk verklaard, ucap Jimly Asshiddiqie, hakim konstitusi yang memimpin persidangan.

 

Putusan ini mau tidak mau membuat pertanyaan-pertanyaan tadi belum mendapatkan jawaban pasti. Maklum, hakim belum sampai pada perdebatan substansi. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai pemohon tak sungguh-sungguh dalam membuktikan kerugian hak-hak konstitusinal. Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar mengatakan Mahkamah telah memberikan kesempatan kepada pemohon agar menghadirkan saksi atau ahli untuk memperkuat dalil-dalilnya. Sayang, kesempatan itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemohon.

 

Ketika sidang mengagendakan pemeriksaan saksi atau minta keterangan ahli, pemohon tak bisa menenuhi. Sebab, pemohon terkendala masalah fulus alias biaya menghadirkan saksi dan ahli. Pemohon menyadari keterbatasan unsur serikat buruh yang tidak didukung secara finansial, ternyata menjadi salah satu faktor yang membuat pemohon mengalami kesulitan dalam menghadirkan saksi  atau ahli, jelas Ketua Umum FISBI Komarudin.

 

Sebenarnya, Mahkamah berusaha memberikan toleransi kepada pemohon. Bila tak mampu mendatangkan ahli secara langsung ke Mahkamah Konstitusi, tak ada salahnya menyampaikan keterangan tertulis saja. Hakim memberi waktu dua minggu kepada pemohon. Mahkamah telah memberi toleransi dengan memberi kesempatan para pemohon mengajukan keterengan tertulis dari ahli yang diinginkan, namun hal itu tidak dilakukannya sesuai dengan tenggat waktu dua minggu yang diminta oleh Mahkamah, ujar Mukhtie.

 

Dalam perjalanan waktu dua minggu tersebut, pemohon hanya mengirimkan bukti tertulis berupa kliping wawancara di media pers dari beberapa orang pakar yang diakses lewat internet. Bukti-bukti tersebut baru diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 17 April 2008, melampaui tenggat yang diberikan oleh Mahkamah. Mungkin, karena alasan inilah, Mahkamah tak mengutip pandangan yang tertera dalam bukti pemohon.

 

Bukti-bukti berupa fotokopi yang diserahkan pemohon antara lain wawancara Prof Erman Radjagukguk, pendapat J.Satrio dan Aria Suyudi dalam menanggapi permohonan pailit oleh PT Great River Internasional, serta makalah peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Imam Nasima dan Eryantyo Nugroho. Uniknya, tak semua bukti-bukti tersebut mendukung permohonan FISBI seratus persen. Artikel Imam Nasima dan Eryanto Nugroho malah menyarankan agar ada perombakan sistem jaminan sosial nasional untuk melindungi buruh bila terjadi kepailitan.

 

Sebagai catatan, substansi permohonan FISBI ini adalah terkait posisi buruh yang berada di bawah kreditor separatis. Kreditor jenis ini adalah pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau agunan atas kebendaan lainnya. Umumnya, yang menjadi kreditor separatis adalah bank-bank yang meminjamkan dana ke perusahaan.

 

Bila perusahaan pailit, maka yang didahulukan adalah kreditor separatis itu. Sehingga, dalam praktek, buruh seringkali gigit jari karena tak mendapat pesangon karena harta pailit sudah diberikan kepada kreditor separatis. Buruh PT Great River dan PT Sindoll Pratama merupakan contoh yang mengalami pahitnya ketentuan itu.

 

Usai persidangan, Sekretaris Umum FISBI Muhammad Hafidz justru menyambut baik putusan ini. Ia menyatakan putusan ‘tidak dapat diterima' memungkinkan FISBI untuk mengajukan permohonan yang sama kembali. MK memberi kesempatan untuk kita, dengan putusan ini, agar lebih siap lagi dalam membuat permohonan, ujarnya.

 

Hafidz bahkan mengaku bila permohonan ini dipaksakan untuk dilanjutkan, maka amar putusan kemungkinan berubah. Permohonan kemungkinan besar ‘ditolak' MK. Hal itu justru lebih berbahaya, karena langkah buruh akan tertutup sama sekali. Karena itu, Hafidz berjanji akan menyusun kembali permohonan dan menyiapkan bukti-bukti yang cukup. Tak kalah penting adalah kehadiran ahli yang dapat mendukung dalil-dalil FISBI. Kehadiran ahli di MK itu ternyata sangat penting, pungkasnya.

 

Pertanyaan tentang dimana posisi buruh dalam hal perusahaan tempatnya bekerja dinyatakan pailit belum juga terjawab. Apakah buruh mendapatkan prioritas seperti disebutkan dalam UU Ketenagakerjaan, atau harus antri setelah kreditur preferens atau kreditur istimewa lainnya mendapatkan hak-hak mereka, belum jelas benar.

 

Padahal, sejumlah buruh yang tergabung dalam Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) sudah mengajukan permohonan pengujian UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). FISBI merasa UU Kepailitan menjadi hambatan bagi pemenuhan hak-hak buruh dalam kondisi perusahaan pailit.

Tags: