Harkristuti : Disparitas Pidana Harus Direduksi
Berita

Harkristuti : Disparitas Pidana Harus Direduksi

Hukuman terhadap buruh yang dituduh mencemarkan nama naik pengusaha jauh lebih tinggi daripada konglomerat yang tidak bayar pajak. Perbedaan masa hukuman yang dijatuhkan pengadilan kepada para pelaku tindak pidana memang sudah sangat mencemaskan. Oleh karena itu, disparitas pidana tersebut harus direduksi.

Mys
Bacaan 2 Menit
Harkristuti : Disparitas Pidana Harus Direduksi
Hukumonline

Pandangan di atas dikemukakan Harkristuti Harkrisnowo dalam orasi ilmiahnya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di bidang ilmu hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sabtu (08/08).

 

Acara yang berlangsung di Balai Sidang UI Depok itu dihadiri kalangan hukum, LSM, dan akademisi. Antara lain, tampak Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra, hakim agung Valerin JL Kriekhoff, anggota Komisi Hukum Nasional Boy Mardjono, J. Sahetapy, Fajrul Falaakh dan Frans Hendra Winarta. Sementara dari kalangan advokat tampak Luhut Pangaribuan dan Gayus T. Lumbuun.

 

Dalam orasi yang berjudul Rekonstruksi Konsep Pemidaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidaan di Indonesia, wanita kelahiran Bogor 25 Januari 1956 itu  mengungkapkan kembali keprihatinan masyarakat atas penegakan hukum.

 

Proses penegakan hukum sering dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, tidak memakai parameter yang objektif, dan lebih mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. "Hakim gamang kalau berhadapan dengan penguasa," Harkristuti mencontohkan.

 

Titik berat pandangan masyarakat itu lebih banyak menyangkut disparitas pidana atau perbedaan dalam pidana yang dijatuhkan untuk berbagai kejahatan. Harkristuti mengakui bahwa secara yuridis disparitas itu sah-sah saja alias tidak melanggar hukum. Penyebabnya tidak lain karena undang-undang hanya mengatur pidana maksium, independensi hakim, dan karakter dari masing-masing kasus tidak sama.

 

Tetapi secara sosiologis, disparitas pidana dipersepsikan sebagai ketiadaan keadilan. Disparitas pidana akan semakin besar jika tindak pidana yang sama dilakukan oleh wong cilik dan 'orang besar'.

 

Nah, dalam konteks ini, Tuti--begitu biasa ia dipanggil--mengemukakan bahwa perlu dicermati proses legislasi suatu undang-undang di DPR. Apakah dalam proses legislasi sudah ada proporsionalitas antara kejahatan yang dilakukan dan pidana yang diancamkan?

Tags: