Pengacara yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma di LBH dapat gaji dari mana? Apakah dari negara atau dari sumbangan orang lain? Kalau gaji mereka sedikit, berarti bolehkah mereka menerima duit terima kasih dari klien atau hadiah bingkisan sebagai terima kasih? Kalau menerima, apakah dihukum?
Pada dasarnya Pemberi Bantuan Hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mendapatkan gaji/upah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hibah atau sumbangan, dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
Tetapi dalam praktik LBH juga mendapatkan dana dari donasi publik serta dari program-program yang dilaksanakan oleh LBH. Dana-dana yang diperoleh tersebut masuk ke kas LBH, kemudian baru disalurkan pada program-program bantuan hukum LBH, maupun gaji/upah pemberi bantuan hukum serta biaya operasional lainya. Terkait hal tersebut sudah diatur sendiri dalam Standard Operating Procedure (SOP) keuangan LBH.
Pemberi Bantuan Hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum. Jika terbukti menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum dapat dipidana.
Memang, mengenai hadiah cuma-cuma yang diberikan dalam bentuk terima kasih secara eksplisit memang tidak diatur dalam UU 16/2011. Akan tetapi, sesuai tujuannya, bantuan hukum yang diberikan LBH itu dilakukan secara cuma-cuma untuk masyarakat miskin.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa pengacara yang memberi bantuan hukum cuma-cuma yang Anda maksud adalah advokat yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (“LBH”) sebagai Pemberi Bantuan Hukum.
Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.[2]
Bantuan Hukum diberikan kepada orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang menghadapi masalah hukum.[3] Hak dasar yang dimaksud meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.[4]
Bantuan Hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.[5] Bantuan Hukum meliputi menjalankan kuasa, mendampingi,mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.[6]
Pelaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat, yakni:[7]
a.berbadan hukum;
b.terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;
c.memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d.memiliki pengurus; dan
e.memiliki program Bantuan Hukum.
Pendanaan Bantuan Hukum
Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan UU 16/2011 ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”).[8] Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam APBN.[9]
Pendanaan penyelenggaraan Bantuan Hukum dialokasikan pada anggaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.[10]
Selain pendanaan yang dibebankan kepada APBN, sumber pendanaan Bantuan Hukum dapat berasal dari:[11]
a.hibah atau sumbangan; dan/atau
b.sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
Penyaluran Dana Bantuan Hukum
Penyaluran dana Bantuan Hukum Litigasi dilakukan setelah Pemberi Bantuan Hukum menyelesaikan Perkara pada setiap tahapan proses beracara dan Pemberi Bantuan Hukum menyampaikan laporan yang disertai dengan bukti pendukung.[12]
Penyaluran dana Bantuan Hukum dihitung berdasarkan prosentase tertentu dari tarif per Perkara sesuai standar biaya pelaksanaan Bantuan Hukum Litigasi.[13] Penyaluran dana Bantuan Hukum pada setiap tahapan proses beracara tidak menghapuskan kewajiban Pemberi Bantuan Hukum untuk memberikan Bantuan Hukum sampai dengan Perkara yang ditangani selesai atau mempunyai kekuatan hukum tetap.[14]
Sedangkan Penyaluran dana Bantuan Hukum Nonlitigasi dilakukan setelah Pemberi Bantuan Hukum menyelesaikan paling sedikit 1 (satu) kegiatan dalam paket kegiatan Nonlitigasi (lihat Pasal 23 ayat (3) jo. Pasal 16 ayat (2) PP 42/2013”) dan menyampaikan laporan yang disertai dengan bukti pendukung.[15]
Penyaluran dana Bantuan Hukum Nonlitigasi dihitung berdasarkan tarif per kegiatan sesuai standar biaya pelaksanaan Bantuan Hukum Nonlitigasi.[16]
Berdasarkan wawancara kami dengan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, S.H., selain mengandalkan dana dari pemerintah, LBH juga mendapatkan dana dari donor, donasi publik, serta dari program-program yang dilaksanakan oleh LBH. Dana-dana yang diperoleh tersebut masuk ke kas LBH, kemudian baru disalurkan pada program-program bantuan hukum LBH, maupun gaji/upah pemberi bantuan hukum, serta biaya operasional lainya. Terkait hal tersebut sudah diatur sendiri dalam Standard Operating Procedure (SOP) keuangan LBH.
Jika Menerima Imbalan Saat Memberikan Bantuan Hukum
Pada dasarnya pemberi bantuan hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum.[17]
UU 16/2011 tidak menyatakan secara eksplisit bahwa Pemberi Bantuan Hukum tidak boleh menerima hadiah dari Penerima Bantuan Hukum. Akan tetapi, Asfinawatimenambahkan bahwa Pemberi Bantuan Hukum tidak boleh menerima uang atau hadiah dari pihak manapun. Hal tersebut juga tercantum dalam kode etik tersendiri.
Pemberi Bantuan Hukum yang terbukti menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50 juta.[18]
Jadi, mengenai hadiah cuma-cuma yang diberikan dalam bentuk terima kasih secara eksplisit memang tidak diatur dalam UU 16/2011. Yang dilarang adalah menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum. Akan tetapi, sesuai tujuannya, bantuan hukum yang diberikan LBH itu dilakukan secara cuma-cuma untuk masyarakat miskin.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan editor:
Kami telah melakukan wawancara dengan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, S.H. via telepon pada 31 Maret 2017 pukul 20.35 WIB.