Ada yang bisa menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan 'Surat Menteri"? Sebagai contoh, sebuah perusahaan persero, diawasi dan dibina oleh seorang menteri teknis (catatan: menteri tersbeut bukanlah Menneg BUMN dalam kedudukannya sebagai pemegang saham). Menteri tersebut, dalam beberapa kasus mengeluarkan surat kepada Direksi Persero tersebut berisi instruksi untuk melakukan investasi di berbagai tempat. Pertanyaan, sampai di manakah instruksi dalam bentuk surat (bukan keputusan) tersebut dapat mengikat direksi PT Persero tersebut? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Persero adalah Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 persen sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan (lihat Pasal 1 ayat [3] UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara – UU BUMN). Berdasarkan Pasal 11 UU BUMN, terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagiperseroan terbatas.
Organ Persero adalah Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), Direksi, dan Komisaris (lihat Pasal 13 UU BUMN). Berdasarkan Pasal 5 UU BUMN, pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi, di mana Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sementara itu, pengawasan kegiatan pengurusan Persero oleh direksi adalah dilakukan oleh Komisaris. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisarisdalam batas yang ditentukan dalam undang-undang dan/atau anggaran dasar. Berdasarkan Pasal 14 UU BUMN menyebutkan salah satu kewenangan dalam RUPS adalah kewenangan dalam menentukan investasi dan pembiayaan jangka panjang yang dilakukan oleh Persero.
Berdasarkan Pasal 91 UU BUMN, dijelaskan bahwa selain organ BUMN, pihak lain manapun dilarang campur tangan dalam pengurusanBUMN. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan larangan campur tangan tersebut dimaksudkan supaya Direksi dapat melaksanakan tugasnya secara mandiri, pihak-pihak luarmanapun, selain organ BUMN tidak diperbolehkan ikut campur tangan terhadap pengurusan BUMN.
Pengertian campur tangan termasuk adalah tindakan atauarahan yang secara langsung memberi pengaruh terhadap tindakan pengurusan BUMNatau terhadap pengambilan keputusan oleh Direksi.Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempertegas kemandirian BUMN sebagai badan usahaagar dapat dikelola secara profesional sehingga dapat berkembang dengan baik sesuai dengan tujuan usahanya. Hal ini berlaku pula bagi Departemen dan instansi Pemerintah lainnya.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Di dalam UU BUMN tidak diatur mengenai kewenangan menteri dalam menentukan kebijakan investasi Persero. Namun demikian, terkait daya mengikat Surat Menteri tersebut sebagai suatu peraturan perundang-undangan, maka perlu dicermati mengenai pemenuhan unsur-unsur dari pembentukan suatu peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(“UU 10/04”). Sesuai dengan Pasal 7 ayat (4) UU 10/04, maka jenis peraturan perundang-undangan selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden Peraturan Daerah diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, untuk mengetahui daya mengikat suatu peraturan menteri ataupun surat menteri perlu diperhatikan beberapa hal.
Di dalam UUD 1945 pun tidak diatur mengenai surat menteri, namun berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 disebutkan fungsi dari peraturan menteri adalah menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya. Sifat wewenang pembentukan peraturan menteri adalah bersifat kewenangan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun demikian, pendelegasian kewenangan tersebut dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
Sebagai contoh, bahwa menteri teknis dalam memberikan kebijakan investasi dalam sektornya, dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat memberikan peraturan mengenai besarnya modal minimum Persero dalam melakukan investasi di sektor tersebut. Sehingga, penerbitan peraturan menteri tersebut merupakan pelaksanaan dari suatu peraturan di atasnya.
Dengan demikian, kami menyimpulkan menteri teknis tidak dapat mengintervensi pengurusan Persero dalam menentukan kebijakan arah investasi Persero. Di samping itu, bidang usaha investasi Persero telah diatur sesuai dengan anggaran dasar dan keputusan yang diambil oleh organ Persero tersebut secara mandiri.
Hal tersebut karena Persero merupakan badan hukum mandiri yang memiliki organ di dalamnya berupa RUPS, Direksi, dan Komisaris yang memiliki kewenangan secara mandiri untuk menjalankan kegiatan Persero. Lebih lanjut, UU BUMN melarang pihak manapun kecuali organ Persero, untuk terlibat dalam pengurusan BUMN. Oleh karena itu surat menteri teknis tersebut tidak mengikat Persero dalam kebijakan investasinya.
Menteri teknis memiliki kewenangan dalam rangka pengaturan secara umum sehubungan dengan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dalam bidangnya dengan menerbitkan peraturan mengenai investasi di bidang tertentu, sepanjang memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal demikian, surat menteri teknis yang sifatnya kebijakan mengatur tersebut adalah mengikat bagi Persero yang hendak melakukan investasi dalam bidang tertentu tersebut.
Demikian pendapat kami, semoga dapat menjawab apa yang ditanyakan.