Kelanjutan Proses Hukum Jika Tersangka Korupsi Meninggal Dunia
PERTANYAAN
Bagaimana apabila tersangka dalam masa penyidikan KPK meninggal dunia?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bagaimana apabila tersangka dalam masa penyidikan KPK meninggal dunia?
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelumnya, kami akan jelaskan sedikit tentang penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Perlu Anda ketahui, wewenang melakukan penyidikan pada dasarnya ada pada kepolisian. Hal ini didasarkan pada Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Polri”) yang mengatakan bahwa kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Akan tetapi, KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih perkara korupsi walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan [Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - “UU KPK”]. Namun, pengambilalihan perkara korupsi tersebut harus dengan alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK. Penjelasan lebih lanjut mengenai penyidikan yang dilakukan oleh KPK dapat Anda simak dalam artikel Kewenangan Penyidikan KPK dan Polri.
Selanjutnya, kami ingin menjelaskan tentang apa saja yang menjadi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) dalam menangani kasus korupsi. Kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi diatur dalam Pasal 6 huruf c UU KPK yang mengatakan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (Pasal 11 UU KPK):
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Menjawab pertanyaan Anda, kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia. Hal ini telah disebut dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Terkait dengan pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa dalam pasal ini terletak suatu prinsip bahwa penuntutan hukuman itu harus ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dituduh telah melakukan peristiwa pidana itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis begitu saja, artinya tidak dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya (hal. 91).
Memang yang diatur dalam Pasal 77 KUHP adalah tentang gugurnya penuntutan. Akan tetapi, melihat dari alur perkara pidana itu sendiri, penyidikan dan penuntutan merupakan bagian yang tidak terpisah satu sama lain, maka apabila tersangka korupsi meninggal dunia pada saat proses penyidikan, maka kelanjutan proses pidana selanjutnya juga akan hapus/gugur. Ini karena jika penyidikan dilakukan pun, penututan tidak dapat dilakukan karena adanya pengaturan dalam Pasal 77 KUHP.
Lalu apakah gugurnya penuntutan serta merta menghapus tanggung jawab tersangka secara perdata terhadap kerugian negara? Untuk menjawab ini, kita mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”). Menurut pasal ini, dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Dari serangkaian dasar hukum yang kami berikan jelas diketahui bahwa tuntutan pidana terhadap tersangka korupsi yang meninggal dunia memang hapus/gugur dan tuntutan pidana itu tidak bisa ditujukan kepada ahli warisnya. Akan tetapi, apabila secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, gugatan perdata dapat dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan terhadap ahli waris tersangka korupsi yang meninggal dunia.
Dengan kata lain, kerugian keuangan negara bisa dimintakan tanggung jawabnya kepada ahli waris tersangka korupsi yang meninggal dunia melalui gugatan perdata. Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk [Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor]. Penjelasan lebih lanjut mengenai kerugian keuangan negara dapat Anda simak dalam artikel Cara Menentukan Adanya Kerugian Keuangan Negara.
Contoh kasus dapat kita temukan dalam artikel Lagi, Tersangka KPK Meninggal Dunia. Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa KPK tak bisa meneruskan lagi penyidikan terhadap politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Jeffrey Tongas Lumban Batu. Tersangka penerima traveller cheque pemilihan Gubernur Bank Indonesia ini telah meninggal dunia karena serangan jantung. Dengan meninggalnya Jeffrey ini, maka perkara yang sedang dihadapinya di KPK batal demi hukum. Alasan KPK mengacu kepada Pasal 77 KUHP, yakni hak jaksa untuk menuntut akan gugur ketika tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Atas dasar itu, penuntutan kasus pun digugurkan. Selengkapnya mengenai kasus ini dapat Anda simak dalam artikel tersebut.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001;
4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?