KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kritik Pemerintah di Medsos, Bisakah Dipidana?

Share
copy-paste Share Icon
Teknologi

Kritik Pemerintah di Medsos, Bisakah Dipidana?

Kritik Pemerintah di Medsos, Bisakah Dipidana?
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Kritik Pemerintah di Medsos, Bisakah Dipidana?

PERTANYAAN

Beberapa waktu yang lalu viral di Tiktok dan Twitter, video pemuda Lampung yang mengkritik pemerintah Lampung di sebuah video. Poin kritiknya adalah terkait dengan infrastruktur terbatas, sistem pendidikan lemah, dan ketergantungan pada sektor pertanian. Kemudian, warga Lampung lain yang merasa keberatan dengan konten tersebut melaporkan kepada Polisi dengan dalil hoax Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dan ujaran kebencian (Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016) karena dianggap berpotensi menyesatkan karena tidak didukung dengan data yang kuat.

Sebenarnya, bagaimana hukumnya mengkritik pemerintah? Apakah memang bisa dipidana jika mengkritik pemerintah? Mohon penjelasannya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Anda menyampaikan bahwa pemuda Lampung yang kritik kebijakan pemerintah dilaporkan dengan pasal ujaran kebencian yaitu Pasal 28 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016 dan pasal hoax yaitu Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU 1/1946. Lantas, apakah kritik pemerintah yang disampaikan oleh pemuda Lampung itu memenuhi unsur-unsur pasal ujaran kebencian dan pasal hoax sehingga bisa dipidana?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran artikel dengan judul sama, yang pertama kali dipublikasikan pada 14 April 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Pasal untuk Menjerat Penyebar Hoax

    Pasal untuk Menjerat Penyebar <i>Hoax</i>

    Kritik sebagai Bentuk Kebebasan Berpendapat

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan kritik. Menurut KBBI, kritik adalah kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai dengan uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya.

    Kritik yang disampaikan oleh warga kepada pemerintah atas kondisi daerahnya melalui platform media sosial, dapat dikategorikan sebagai penyampaian pendapat. Setiap warga negara pada dasarnya mempunyai hak atas kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Meski demikian, kebebasan berpendapat melalui lisan, tulisan ataupun media elektronik tersebut perlu memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.[1]

    Apakah Kritik Termasuk Delik Ujaran Kebencian?

    Sebagaimana Anda sampaikan bahwa pemuda yang mengkritik pemerintah daerah Lampung tersebut dilaporkan dengan dasar Pasal 28 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yang melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Perbuatan tersebut diancam dengan pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

    Ujaran kebencian atau hate speech dapat berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindakan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.[2]

    Ujaran kebencian yang bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dibedakan dari aspek suku, agama, aliran kepercayaan, etnis, gender, orientasi seksual, dan sebagainya.[3]

    Berdasarkan uraian di atas, maka pasal ujaran kebencian dalam UU ITE dan perubahannya tersebut ditujukan untuk untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan berbasis SARA, yang bisa berdampak pada konflik seperti diskriminasi, kekerasan, hingga konflik sosial.

    Sementara, kritik yang dilakukan oleh pemuda Lampung sebagaimana Anda sampaikan adalah berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan seperti tata kelola daerah, infrastruktur, pendidikan, dan lain-lain. Apabila benar demikian, kami berpendapat Pasal 28 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (2) UU 19/2016 tidak dapat diterapkan karena tidak memenuhi unsur SARA.

    Selain itu, menurut hemat kami penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dikategorikan sebagai SARA karena berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan, bukan berkaitan dengan suku, agama, ras, atau antar golongan tertentu. Namun demikian, jika memang dalam video tersebut memuat unsur hasutan atau pernyataan yang menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap SARA, maka pasal tersebut dapat diberlakukan.

    Pasal Ujaran Kebencian Berbasis SARA dalam RUU ITE

    Sebagai informasi, menurut artikel DPR Beberkan 20 Perubahan dan Sisipan UU ITE Terbaru, Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (“RUU”) tentang perubahan kedua UU ITE dalam rapat paripurna. 

    Dalam RUU Perubahan Kedua UU ITE (“RUU ITE”) yang telah disahkan oleh DPR, perbuatan yang dilarang yang berkaitan dengan ujaran kebencian berbasis SARA diatur dalam Pasal 28 ayat (2), yaitu:

    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.

    Lalu, orang yang melanggar ketentuan di atas dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun, dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) RUU ITE.

    Apakah Kritik Bisa Dipidana karena Hoax?

    Adapun terkait hoax atau berita bohong benar dapat dipidana sebagaimana diuraikan dalam artikel Pasal untuk Menjerat Penyebar Hoax.

    Terkait dengan pasal kritik pemerintah, Anda menyampaikan bahwa pemuda Lampung tersebut dilaporkan dengan dasar Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU 1/1946 yang berbunyi:

    Pasal 14 ayat (2) UU 1/1946

    Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan dia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

    Pasal 15 UU 1/1946

    Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.

    Terkait pasal tersebut di atas, dalam Putusan PN Subang No. 310/Pid.Sus/2019/PN Sng, majelis hakim dalam pertimbangannya menerangkan 3 unsur dalam Pasal 14 ayat (2) UU 1/1946 yaitu (hal. 18 – 22):

    1. Barang siapa

    Siapa saja secara perorangan atau suatu badan subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang melakukan atau telah didakwa melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku (hal. 18).

    1. Menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat
    1. menyiarkan dalam arti menyebarkan atau mempropagandakan kepada masyarakat;
    2. menerbitkan atau menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat berarti akan terjadi suatu keonaran, di mana keonaran tersebut tidak serta merta tetapi mengalami suatu proses (hal. 20).

     

    1. Dapat menyangka berita atau pemberitahuan itu adalah bohong

    “Dapat menyangka” berarti telah memperkirakan atau mencurigai bahwa akan terjadi suatu hal yang dilihat atau diperkirakan dari suatu keadaan (hal. 22) bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong.

    Sementara, terkait dengan Pasal 15 UU 1/1946 menurut Putusan PN Sukabumi No. 15/Pid.B/2019/PN Skb terdapat 2 unsur yaitu (hal. 27):

    1. Barang siapa

    Subjek hukum yang dapat berupa orang perorangan maupun badan hukum yang diwakili oleh person yang menampakkan daya berpikir sebagai persyaratan mendasar kemampuan bertanggungjawab (hal. 28).

    1. Menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat

    Dalam penjelasan Pasal 15 UU 1/1946 diterangkan bahwa pasal ini mengenai kabar angin atau kabar yang tidak pasti dan kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurangi (hal. 28).

    Kemudian, unsur “patut dapat menduga” mengacu pada sifat kesengajaan yang menurut doktrin pidana terdapat 3 gradasi kesengajaan (opzetelijk) yaitu kesengajaan sebagai maksud, sadar akan kepastian, dan sadar akan kemungkinan (hal. 29).

    Unsur “dapat” menimbulkan keonaran merupakan delik formil yang berarti keonaran di kalangan rakyat tidaklah dipersyaratkan ada terlebih dahulu atau tidak perlu nyata-nyata keonaran itu ada (hal. 30).

    Apabila dalam kritik yang disampaikan oleh pemuda Lampung melalui media sosialnya memenuhi unsur-unsur pasal di atas, yaitu menyebarkan berita/informasi bohong atau menyiarkan informasi yang tidak pasti atau ditambah/dikurangi, hingga berpotensi menimbulkan keonaran, maka dapat dipidana karena menyebarkan hoax.

    Namun, apabila kritik tersebut berisi kebenaran, maka tidak dapat dihukum dengan menggunakan dasar Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU 1/1946.

    Baca juga: Arti Berita Bohong dan Menyesatkan dalam UU ITE

    Contoh Kasus

    Contoh kasus kritik pemerintah ditangkap dapat Anda baca dalam Putusan PT Makassar No. 748/Pid.Sus/2021/PT Mks di mana terdakwa membuat cuitan di Twitter yang menuntut untuk mencabut UU Cipta Kerja karena dianggap menyengsarakan dan membunuh rakyat seperti uang pesangon dihilangkan, upah buruh dihitung per jam, dan sebagainya (hal. 2 – 3).

    Postingan tersebut bersifat publik sehingga bisa diakses semua pengguna Twitter. Terdakwa tidak mencari tahu kebenaran isi RUU Cipta Kerja terlebih dahulu sehingga mengakibatkan keonaran di berbagai tempat sehingga pemerintah harus memberi klarifikasi bahwa hal tersebut tidak benar (hal. 3).

    Terdakwa dalam Putusan PN Makassar No. 305/Pid.Sus/2021/PN Mks divonis terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat” dan dipidana penjara 8 bulan (hal. 8).

    Putusan tersebut dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi Makassar. Majelis hakim banding menilai bahwa terdakwa memposting suatu berita atau kabar tanpa meneliti terlebih dahulu kebenaran berita tersebut, yang ternyata kabar/berita yang dimuat terdakwa tidak lengkap. Hal ini membuktikan bahwa terdakwa tidak membaca secara utuh omnibus law (RUU Cipta Kerja) dan tidak bertanya kepada ahlinya (hal. 11 – 12).

    Cara Menyikapi Kritik

    Jadi berdasarkan uraian di atas, apabila kritik yang disampaikan melalui media sosial memang terbukti mengandung unsur hoax atau ujaran kebencian dan memenuhi unsur-unsur pasalnya, maka dapat dipidana.

    Namun demikian, menurut SE Ujaran Kebencian, apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah tindak pidana ujaran kebencian, maka anggota Polri wajib melakukan tindakan salah satunya mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban, kemudian mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai.[4]

    Adapun berkaitan dengan kritik yang disampaikan oleh warga negara terhadap pemerintah, di Indonesia sebagai negara demokrasi[5] menempatkan masyarakat sebagai instrumen dasar dari segala tindakan pemerintah. Hal penting bagi negara yang menerapkan asas kedaulatan rakyat (yang juga dikenal dengan asas demokrasi) adalah melibatkan masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara.[6]

    Dalam gagasan Jurgen Habermas tentang demokrasi deliberatif, masyarakat ditempatkan pada posisi yang emansipatoris untuk melakukan kegiatan legislasi di ruang-ruang publik. Ruang publik ini harus memenuhi dua syarat yaitu bebas dan kritis. Bebas artinya setiap pihak dapat berbicara di mana pun, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politis. Sementara kritis artinya siap dan mampu secara adil dan bertanggung jawab menyoroti proses pengambilan keputusan yang bersifat publik.[7]

    Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan atau hukum yang akan dibentuk dipengaruhi oleh diskursus yang terus menerus di masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka harus ada jaminan, salah satunya adalah kebebasan mengungkapkan pendapat.[8]

    Lebih lanjut, dalam demokrasi deliberatif mensyaratkan adanya komunikasi antara negara dan masyarakat melalui ruang publik yang bisa berbentuk kebebasan pers, kebebasan berunjuk rasa, dan lain-lain.[9]

    Berdasarkan hal tersebut, kritik yang disampaikan masyarakat kepada negara sebaiknya memang ditempatkan sebagai diskursus dalam pengambilan kebijakan publik dengan tujuan mewujudkan asas demokrasi/kedaulatan rakyat yang dianut Indonesia. Memidanakan pihak-pihak yang memberikan kritik kepada pemerintah, sebaiknya dihindari atau diminimalisir karena hukum pidana merupakan ultimum remedium.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;
    3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
    4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan RUU Perubahan Kedua UU ITE yang telah disahkan oleh DPR;
    5. Surat Edaran Kepala Kepolisian Nomor SE/6/X/2015 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).

    Putusan:

    1. Putusan Pengadilan Negeri Subang Nomor 310/Pid.Sus/2019/PN Sng;
    2. Putusan Pengadilan Negeri Sukabumi Nomor 15/Pid.B/2019/PN Skb;
    3. Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 748/Pid.Sus/2021/ PT Mks.

    Referensi:

    1. Cora Elly Noviati. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 2, Juni 2013;
    2. Mohammad Asy’ari Muthhar. Membaca Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas dalam Dinamika Politik Indonesia. Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 2 No. 2, Desember 2016;
    3. Wimmy Haliim. Demokrasi Deliberatif Indonesia: Konsep Partisipasi Masyarakat dalam Membentuk Demokrasi dan Hukum yang Responsif. Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016;
    4. Kritik, yang diakses pada Kamis, 21 Desember 2023 pukul 12.32 WIB.

    [1] Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

    [2] Butir 2 huruf f Surat Edaran Kepala Kepolisian Nomor SE/6/X/2015 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) (“SE Ujaran Kebencian”)

    [3] Butir 2 huruf g SE Ujaran Kebencian

    [4] Butir 3 huruf a angka 5 SE Ujaran Kebencian

    [5] Cora Elly Noviati. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 2, Juni 2013, hal. 336

    [6] Wimmy Haliim. Demokrasi Deliberatif Indonesia: Konsep Partisipasi Masyarakat dalam Membentuk Demokrasi dan Hukum yang Responsif. Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016, hal. 20 dan lihat juga Cora Elly Noviati. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 2, Juni 2013, hal. 335

    [7] Wimmy Haliim. Demokrasi Deliberatif Indonesia: Konsep Partisipasi Masyarakat dalam Membentuk Demokrasi dan Hukum yang Responsif. Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016, hal. 21

    [8] Mohammad Asy’ari Muthhar. Membaca Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas dalam Dinamika Politik Indonesia. Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 2 No. 2 Desember 2016, hal. 62

    [9] Mohammad Asy’ari Muthhar. Membaca Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas dalam Dinamika Politik Indonesia. Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 2 No. 2 Desember 2016, hal. 51

    Tags

    hoax
    kebencian

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!