KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Memiliki Penyakit yang Membahayakan Orang Lain, Bisakah Dipidana?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Memiliki Penyakit yang Membahayakan Orang Lain, Bisakah Dipidana?

Memiliki Penyakit yang Membahayakan Orang Lain, Bisakah Dipidana?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Memiliki Penyakit yang Membahayakan Orang Lain, Bisakah Dipidana?

PERTANYAAN

Saya mau tanya, bisakah seseorang dijerat hukuman KUHP tentang membahayakan orang lain dengan penyakitnya?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Sebelumnya, kami kurang jelas mengenai penyakit membahayakan orang lain seperti apa yang Anda maksud. Selain itu, kami kurang mendapat informasi apakah penyakit tersebut memiliki kaitan dengan penyakit kejiwaan atau tidak.

     

    Terkait hal ini, penderita gangguan jiwa yang berbahaya atau yang mengancam keselamatan diri si penderita dan/atau orang lain dikenal dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), khususnya pada Pasal 149 UU Kesehatan. Dalam pasal tersebut antara lain dikatakan bahwa penderita gangguan jiwa yang mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban, dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

    KLINIK TERKAIT

    Penahanan Pasien oleh Rumah Sakit termasuk Penyanderaan?

    Penahanan Pasien oleh Rumah Sakit termasuk Penyanderaan?
     

    Mengacu pada pasal di atas, bisa jadi yang dimaksud dengan penyakit yang membahayakan orang lain yaitu penyakit yang mengancam keselamatan orang lain, mengganggu ketertiban, dan/atau mengganggu keamanan umum. Apabila penyakit tersebut merupakan penyakit kejiwaan yang membahayakan, maka terhadap penderita wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan, bukan dipidanakan.

     

    Untuk lebih jelasnya, kita mengacu pada Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

     

    Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP bahwa jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

     

    Masih berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana seseorang yang memiliki penyakit gangguan jiwa, dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf:

    a.    Alasan pembenar adalah alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP).

    b.    Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).

     

    Dari sini, kita bisa lihat bahwa seseorang yang memiliki penyakit gangguan jiwa tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pidana. Artinya, ia tidak bisa dipidana atas dasar alasan pemaaf. Dalam pasal ini tidak ditentukan apakah penyakit gangguan jiwa tersebut berbahaya bagi keselamatan orang lain atau tidak. Penjelasan lebih lanjut mengenai alasan pemaaf dalam ilmu hukum pidana selengkapnya dapat Anda simak dalam artikel Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?

     

    Selanjutnya, bagaimana jika orang tersebut bukan menderita penyakit kejiwaan namun penyakit tersebut dapat membahayakan orang lain? Pada dasarnya setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Oleh karena itu, perlakuan bagi si penderita penyakit, baik itu penyakit yang berbahaya atau tidak bagi orang lain, adalah dengan cara menyembuhkannya melalui pelayanan kesehatan, bukan memidanakannya.

     

    Sekedar tambahan informasi untuk Anda, dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“UU Keimigrasian”) disebutkan bahwa pejabat imigrasi menolak warga negara asing ("WNA") yang masuk ke wilayah Indonesia yang menderita penyakit menular yang membahayakan kesehatan umum.

     

    Di samping itu, pejabat dinas luar negeri atau pejabat imigrasi dapat menolak permohonan pemberian visa kepada WNA yang menderita penyakit menular, gangguan jiwa, atau hal lain yang dapat membahayakan kesehatan atau ketertiban umum (Pasal 42 huruf f UU Keimigrasian). Hal ini mungkin belum tentu sesuai dengan maksud pertanyaan Anda, akan tetapi, dari sini kita bisa lihat WNA yang memiliki penyakit (baik itu penyakit kejiwaan ataupun penyakit lainnya yang menular dan membahayakan kesehatan umum), dapat dilakukan tindakan-tindakan terhadapnya oleh pejabat berwenang seperti yang kami sebut di atas.

     

    Yang bertanggungjawab terhadap penyakit menular dan akibat yang ditimbulkannya adalah pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Berdasarkan Pasal 152 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular. Jadi, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bersama-sama bertanggung jawab untuk mencegah agar penyakit menular itu tidak membahayakan masyarakat.

     

    Dari serangkaian penjelasan kami di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang menderita penyakit, baik itu penyakit menular atau tidak, maupun penyakit berbahaya atau tidak bagi orang lain, tidak bisa dipidana. Si penderita memiliki hak untuk hidup sehat dan mendapatkan fasilitas kesehatan. Selain itu, apabila penyakit tersebut merupakan penyakit yang berhubungan dengan kejiwaan, maka si penderita juga tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dengan dasar pemaaf yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP.

     

    Akan tetapi, hal ini menjadi berbeda jika orang tersebut dengan sengaja menularkan penyakitnya kepada orang lain. Orang tersebut dapat dipidana dengan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan:

     

    (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

    (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

    (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

    (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

    (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

     

    Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut ayat 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”.

     

    R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:

    1.    “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.

    2.    “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.

    3.    “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.

    4.    “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.

     

    Ini berarti tidak penting apa yang dilakukan oleh seseorang dalam penganiayaan tersebut. Yang terpenting adalah si korban merasakan perasaan-perasaan sebagaimana diuraikan di atas.

     

    Hal serupa juga dikatakan oleh S.R. Sianturi dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 504), yaitu bahwa unsur tindakan yang dilarang adalah menyakiti atau melukai seseorang. Bagaimana caranya tidak ditentukan. Karenanya semua cara yang membuat sakit/luka seseorang dicakup oleh pasal ini. Namun dalam praktek pengadilan tidak harus selalu terjadi sakit bagi objek tersebut. Demikianlah si B yang diangkat oleh A lalu dicampakkan ke kolam yang berair, telah diputuskan sebagai penganiayaan (Arrest H.R. tanggal 10 Juli 1924 W. 11229).

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Dasar 1945;

    2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    3.    Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

      

    Tags

    penyakit

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya

    7 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!