10 Alasan Komnas HAM RUU Cipta Kerja Layak Dihentikan
Utama

10 Alasan Komnas HAM RUU Cipta Kerja Layak Dihentikan

RUU Cipta Kerja seolah menjadi UU superior atas UU lainnya, sehingga dapat menimbulkan kekacauan tatanan dan ketidakpastian hukum. DPR mengklaim pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan secara cermat, hati-hati, dan transparan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Sejumlah organisasi serikat buruh berunjuk rasa menolak keberadaan RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR Jakarta beberapa waktu lalu. Foto: RES
Sejumlah organisasi serikat buruh berunjuk rasa menolak keberadaan RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR Jakarta beberapa waktu lalu. Foto: RES

Kritik terhadap RUU Cipta Kerja tak hanya disampaikan kalangan buruh dan organisasi masyarakat sipil, tapi juga lembaga negara. Salah satunya Komnas HAM. Secara resmi Komnas HAM merekomendasikan agar pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dilanjutkan dengan beragam alasan.  

Wakil Ketua Komnas HAM, Sandrayati Moniaga menilai RUU Cipta Kerja bersinggungan langsung dan berpotensi mengancam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Ada 10 alasan yang membuat Komnas HAM berkesimpulan pembahasan RUU Cipta Kerja layak dihentikan.

Pertama, prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja dinilai tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang telah diatur UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 5 huruf g UU No.12 Tahun 2011 menjamin hak untuk berpartisipasi dan asas keterbukaan yang menjadi elemen fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kedua, terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior dimana dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja, menyebut Peraturan Pemerintah (PP) dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja. Ketiga, RUU Cipta Kerja membutuhkan 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Hal ini bisa memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan tidak sesuai prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.

Keempat, Komnas HAM menilai tidak ada UU yang kedudukannya lebih tinggi atau superior atas UU lainnya, sehingga jika RUU Cipta Kerja disahkan seolah ada UU superior. “Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum,” kata Sandrayati Moniaga ketika dikonfirmasi, Jumat (14/8/2020). (Baca Juga: Bahas RUU Cipta Kerja di Masa Reses, DPR Dinilai Ingkar Janji)

Kelima, pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi. Misalnya, terkait dengan politik hubungan kerja yang membuka seluasnya praktik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak; kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK); penurunan standar kelayakan dan kondisi kerja yang tidak adil terkait upah, cuti, dan istirahat; serta pemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan berorganisasi.

Keenam, terjadi pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang mengubah izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan Amdal bagi kegiatan usaha, dan pendelegasian uji kelayakan lingkungan kepada pihak swasta.

Tags:

Berita Terkait