22 Juli dan Transformasi Jaksa
Kolom

22 Juli dan Transformasi Jaksa

​​​​​​​Alih-alih memperlakukan para jaksa sebagai profesional sipil yang bertanggung jawab sesuai UN Guidelines on the Role of Prosecutors, Kejaksaan nampaknya masih merasa nyaman untuk memperlakukan para jaksa mereka seperti tentara.

Bacaan 2 Menit

 

22 Juli dan Titik balik transformasi Kejaksaan

Belajar dari langkah Kejaksaan yang dianggap terlalu sering mengganggu stabilitas politik di masa sebelumnya, pada tanggal 18 Februari 1960 pemerintah menempatkan posisi Jaksa Agung sebagai Menteri di bawah koordinasi Menteri Keamanan Nasional/Kepada Staf Angkatan Darat. Untuk mempermudah kontrol Presiden terhadap Kejaksaan, selang beberapa bulan, tepatnya pada tanggal 22 Juli 1960 pemerintah  melalui rapat kabinet menetapkan Kejaksaan sebagai Departemen tersendiri yang lepas dari Departemen Kehakiman. Tanggal 22 Juli inilah yang kemudian oleh Kejaksaan ditetapkan sebagai tonggak sejarah yang memiliki nilai penting dan diperingati sebagai perayaan Hari Bhakti Adhyasa setiap tahunnya.

 

Jika dicermati, dampak rapat kabinet tanggal 22 Juli ini memang cukup signifikan tidak hanya kepada Kejaksaan secara kelembagaan namun juga pada pola pikir para jaksanya. Posisi Kejaksaan yang semula berada dalam kekuasaan kehakiman, bergeser secara dramatis berada di ruang eksekutif sebagai alat revolusi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dalam UU15/1961.

 

Para jaksa yang awalnya mewarisi konsep Magistraat dengan segala independensinya secara bertahap diarahkan untuk berperilaku sebagai prajurit yang harus tunduk pada para pimpinan dalam bingkai Korps Kejaksaan. Untuk mengukuhkan perubahan ini, pemerintah Orde Baru bahkan menempatkan para Jenderal Militer mereka untuk menjabat sebagai Jaksa Agung. Oleh karenanya dapat dilihat sejak saat itu Kejaksaan mengalami transformasi dari institusi sipil menjadi institusi yang menerapkan budaya dan birokrasi ala militer.

 

Hal ini tidak berubah bahkan setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998. Meski dalam pembahasan Pasal 24 amandemen UUD 1945 dapat ditemukan keinginan kuat dari para anggota MPR untuk menempatkan kembali Kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang mandiri namun UU 16/2004 tentang Kejaksaan yang diusulkan pemerintah tetap mempertahankan banyak konsep pelembagaan kejaksaan sebagaimana yang telah diterapkan di masa Orde Baru.

 

Akibatnya, meskipun Kejaksaan telah berulang kali mengalami pergantian Jaksa Agung dan berusaha melakukan reformasi birokrasi, namun tidak banyak perubahan fundamental yang dapat dirasakan pencari keadilan. Ini nampak misalnya dari ketergantungan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet kepada keputusan politik Presiden.

 

Belajar dari pemberhentian Jaksa Agung Soedjono C Atmonegoro selang satu hari dari pertemuannya dengan Presiden Habibie yang membahas niat Kejaksaan untuk serius menangani perkara Soeharto, nampak beberapa Jaksa Agung penggantinya hingga saat ini lebih memilih bermain aman dengan mengikuti kemauan politik pemerintah.

 

Saat Presiden menginstruksikan Kejaksaan untuk mendukung program pembangunan pemerintah, Jaksa Agung Prasetyo, dalam PERJA PER-013/A/JA/11/2017 misalnya, meminta para pimpinan kejaksaan di daerah untuk meningkatkan koordinasi dengan pemerintah setempat melalui Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA dh. MUSPIDA), hal ini dilakukan agar tercipta kesamaan persepsi terkait proses penegakan hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait