3 Catatan KPA Soal Pengadilan Khusus Pertanahan
Terbaru

3 Catatan KPA Soal Pengadilan Khusus Pertanahan

Diusulkan dibentuk Komisi Khusus terlebih dulu untuk menangani masalah konflik agraria struktural sebelum membentuk Pengadilan Khusus Pertanahan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Foto: Istimewa
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Foto: Istimewa

Pemerintah mengakui tidak mudah menyelesaikan masalah pertanahan dan agraria di Indonesia. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/1/2023) lalu. Dalam kesempatan itu, Mahfud menyebut ada potensi pembentukan pengadilan khusus pertanahan untuk menangani persoalan pertanahan.

Menanggapi pernyataan itu, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan pengadilan pertanahan itu bukan rencana dan gagasan baru. Wacana itu berulang kali diusung antara lain melalui RUU Pertanahan tahun 2019 dimana ada bab khusus tentang Pengadilan Pertanahan.

“Memang pengadilan pertanahan diperlukan, tapi yang perlu diperhatikan dan dikritisi adalah konflik atau masalah pertanahan tidak bisa digeneralisir, jadi sengketa pertanahan biasa yang penyelesaiannya bisa efektif dilakukan di pengadilan,” kata Dewi Kartika saat dikonfirmasi, Selasa (24/1/2023).

Baca Juga:

Dewi mencatat selama ini kasus pertanahan berproses sampai ke pengadilan, seperti pengadilan tata usaha negara (TUN), perdata, dan pidana. Menurutnya, mekanisme pengadilan, termasuk pengadilan khusus pertanahan dirasa tidak efektif untuk menangani konflik agraria yang bersifat struktural.

Dalam banyak kasus, Dewi menyebut pihak pemerintah sering mengarahkan masyarakat yang menjadi korban konflik agraria struktural untuk membawa perkaranya ke pengadilan. Padahal, faktanya banyak putusan pengadilan dalam perkara pertanahan dan agraria tidak efektif saat eksekusi. Misalnya, ada putusan berkekuatan hukum tetap, tapi tidak bisa dilakukan eksekusi.

Ironisnya, pengadilan kerap menjadi tempat berkembangnya mafia peradilan yang bekerja sama dengan mafia tanah. Dewi menghitung banyak kasus dimana mafia tanah sering menggunakan celah hukum di pengadilan. Misalnya, antar mafia tanah menggunakan modus saling menggugat, pemenanganya adalah mafia itu sendiri. Korbannya masyarakat yang pasti kalah ketika berhadapan dengan mafia karena memiliki akses dan jejaring termasuk di pengadilan.

Tags:

Berita Terkait