3 Masalah Ketenagakerjaan yang Butuh Dukungan Polri
Berita

3 Masalah Ketenagakerjaan yang Butuh Dukungan Polri

Kementerian Ketenagakerjaan dan Polri bekerjasama untuk menyamakan persepsi seputar masalah ketenagakerjaan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Demo buruh dikawal polisi. Salah satu yang menjadi perhatian polisi di bidang ketenagakerjaan adalah demo buruh. Foto: RES
Demo buruh dikawal polisi. Salah satu yang menjadi perhatian polisi di bidang ketenagakerjaan adalah demo buruh. Foto: RES
Selama ini masyarakat menilai pihak yang berwenang melakukan pengawasan dan menegakan norma ketenagakerjaan yakni Kementerian dan Dinas Ketenagakerjaan. Tapi perlu diingat, aparat kepolisian juga berperan menegakan hukum ketenagakerjaan. Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan posisi Polri sangat penting untuk mendorong penegakan norma hukum ketenagakerjaan.

Hanif menyebut dalam rangka memperkuat penegakan hukum itu, Kementerian Ketenagakerjaan dan Polri saling berkoordinasi. Kedua lembaga itu juga bekerjasama dalam rangka menyamakan persepsi terkait soal ketenagakerjaan. “Peran Polri sangat penting untuk membantu menegakan norma hukum ketenagakerjaan,” katanya dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Selasa (14/3).

Menurut Hanif sedikitnya ada 3 poin penting masalah ketenagakerjaan yang membutuhkan dukungan Polri. Pertama, dinamika perburuhan di Indonesia yang harus menjadi perhatian bersama agar berjalan ke arah positif. Kedua, perlindungan buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, khususnya penanganan buruh migran yang tidak mengikuti prosedur. Ketiga, penggunaan tenaga kerja asing. Harus dipastikan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing telah menunaikan kewajibannya, terutama terkait perizinan. (Baca juga: Pengawas Ketenagakerjaan Perlu Ditambah, Simak Alasannya).

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menilai kerjasama antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Polri sudah sepatutnya dilakukan jauh-jauh hari. Hampir 90 persen perselisihan hubungan industrial yang terjadi di perusahaan terjadi akibat tidak patuh pada hukum ketenagakerjaan. Dia menekankan agar Polri tegas kepada pelaku hubungan industrial yang tidak patuh aturan.

Timboel mengingatkan dalam UU Ketenagakerjaan ada sanksi bagi pihak yang melakukan pelanggaran di bidang ketenagakerjaan mulai dari pidana penjara dan denda. Begitu pula dalam UU No. 21 Tahun 2000  tentang Serikat Pekerja/Buruh dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Sayangnya, pasal-pasal pidana dalam UU yang berkaitan dengan ketenagakerjaan itu seolah hanya ‘etalase’ karena sangat jarang diimplementasikan. “Kementerian Ketenagakerjaan dan Polri harus profesional untuk menegakan pasal-pasal terebut,” tegas Timboel di Jakarta, Jumat (17/3).

Timboel melihat penegakan norma hukum ketenagakerjaan selama ini sangat lemah dan banyak dikeluhkan kalangan serikat buruh. Banyak pelanggaran norma ketenagakerjaan yang terjadi di tempat kerja tapi tidak direspon oleh petugas PPNS dan Polri. Akibatnya pelanggaran itu terus berulang. Misalnya, pelanggaran pasal 90 UU Ketenagakerjaan mengenai upah minimum dan pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tentang izin menggunakan TKA. Kemudian, pasal 43 UU Serikat Buruh, terkait kebebasan berserikat dan pasal 43 UU BPJS yang mengenakan sanksi bagi pemberi kerja yang tidak membayarkan iuran BPJS para pekerjanya.

Koordinasi antara petugas PPNS bidang ketenagakerjaan dan aparat kepolisian di lapangan sangat rendah. Oleh karenanya Kementerian Ketenagakerjaan dan Polri harus melakukan kerjasama untuk hal yang strategis guna mendukung penegakan hukum ketenagakerjaan, bukan sekedar menyamakan persepsi.

Timboel berpendapat lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan selama ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memprioritaskan investasi. Selain itu anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pengawasan di bidang ketenagakerjaan dari tingkat pusat sampai daerah tergolong minim. Kerjasama antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Polri harus membuahkan hasil yang jelas, yakni menurunkan tingkat pelanggaran norma hukum ketenagakerjaan di lokasi kerja. (Baca juga: Langkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar Minimum).

Tak ketinggalan Timboel mengusulkan selain melakukan penegakan hukum, Kementerian Ketenagakerjaan dan Polri harus aktif melakukan upaya preventif dan promotif. Salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu melakukan penyuluhan secara langsung di perusahaan dengan melibatkan serikat buruh. Untuk masalah jaminan sosial, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan juga bisa turut andil dalam kegiatan pencegahan tersebut. (Baca juga: Jenis-Jenis Sanksi Administratif yang Mengancam Pengusaha).

Kemudian, Polri perlu membentuk desk khusus yang menangani pelanggaran norma hukum ketenagakerjaan mulai dari tingkat Mabes sampai Polres di seluruh Indonesia. Penyidik polri yang ditempatkan pada desk tersebut harus memiliki pengetahuan di bidang hukum ketenagakerjaan. Peningkatan kualitas juga perlu dilakukan terhadap petugas PPNS ketenagakerjaan yang ada di kementerian dan dinas ketenagakerjaan.

Terkahir, untuk menangani masalah buruh migran, Timboel mengusulkan agar Polri dan Kementerian Ketenagakerjaan menyasar PJTKI/PPTKIS karena mereka sebagai pihak yang mengirim calon buruh migran itu ke negara penempatan. PJTKI/PPTKIS wajib bertanggungjawab jika buruh migran yang dikirim itu mengalami masalah ketenagakerjaan seperti upah tidak dibayar dan mengalami kekerasan.
Tags:

Berita Terkait