3 Poin Perdebatan dalam Penyusunan RPP Pelaksanaan Jaminan Produk Halal
Berita

3 Poin Perdebatan dalam Penyusunan RPP Pelaksanaan Jaminan Produk Halal

Kementerian Agama akan menampung semua masukan dari para stakeholder saat harmonisasi RPP.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Acara Temu Wicara Halal 2016 di Jakarta. Foto: NNP
Acara Temu Wicara Halal 2016 di Jakarta. Foto: NNP
Hingga saat ini, peraturan pelaksanaan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) belum kunjung ditetapkan. Padahal, undang-undang tersebut mengamanatkan aturan tersebut harus disahkan paling lama dua tahun sejak undang-undang terbentuk pada Oktober 2014 lalu. Artinya, kurang lebih lima bulan ke depan sejumlah aturan mesti dirampungkan.

Kasubdit Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI Siti Aminah mengatakan, bahwa perkembangan terakhir Kementerian Agama telah selesai menyusun draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan Jaminan Produk Halal. “Kami lamanya di dalam merumuskan hal-hal yang memang beda dari yang ada,” kata Siti saat ditemui usai acara “Temu Wicara Halal” yang digelar Kementerian Agama di Jakarta, Kamis (2/6).

Lambatnya penyusunan sejumlah aturan turunan terutama mengenai RPP tentang Pelaksanaan Jaminan Produk Halal disebabkan karena adanya masukan dari sejumlah kementerian terkait bahkan sebelum pembahasan ini dimulai oleh Kementerian Agama. Salah satu masukan itu adalah permintaan tertulis dari Kementerian Kesehatan agar industri farmasi dalam hal ini obat-obatan hingga vaksin bisa dikecualikan dari produk yang mesti disertifikasi halal.

Dalam suratnya, Kementerian Kesehatan berpendapat bahwa sangat sulit bagi industri farmasi jika mesti tunduk dalam rezim UU JPH sebagai salah satu jenis yang wajib dilakukan sertifikasi. Terhadap masukan itu, Kementerian Agama sebetulnya telah berusaha mengakomodir permintaan tersebut. Namun, permintaan dikecualikan dari jenis yang wajib bersertifikat halal agaknya sulit sekali untuk dipenuhi. Sebagai jalan keluar, akhirnya tim perumus menyepakati untuk beberapa jenis barang atau jasa akan diberlakukan kewajiban sertifikasi halal secara bertahap.

Siti menjelaskan, serfikasi secara bertahap itu dimulai 1 November 2016. Untuk tahap pertama, kewajiban sertifikasi dilakukan terhadap jenis produk berupa makanan dan minuman. Lalu tahap kedua, kewajiban sertifikasi untuk jenis produk kosmetik, kimiawi, rekayasa genetika, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Dan tahap terakhir, kewajiban sertifikasi dilakukan terhadap jenis produk barang terkait obat dan produk biologi.

“Kami sudah berupaya memberikan itu (obat-obatan) pada tahapan terakhir. Tapi ternyata itu masih diperdebatkan. Tim berusaha akomodir itu, tapi nanti ujungnya wajib dan tidak ada pengecualian,” katanya

Di tengah waktu yang kian mepet, Siti berharap saat tahap harmonisasi dengan kementerian terkait bisa semakin intens terutama terkait dengan beberapa perdebatan yang sebelum dan saat penyusunan muncul. Sebab, ia tidak menginginkan apabila RPP ini ditetapkan nantinya ada pihak-pihak terutama pemerintah yang masih memperdebatkannya. “Kira-kira beri masukan ke kami apa yang bisa kami lakukan. Sekali lagi, Kementerian Agama nyatakan itu wajib karena itu disebut undang-undang. Tapi kita harus harmonisasi keinginan dari berbagai pihak,” jelasnya.

Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam memastikan dalam waktu dekat akan segera melakukan harmonisasi dengan mengundang para stakeholder mulai dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, Badan POM, Komite Akreditasi Nasional dan Badan Standarisasi Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian. “Oktober tahun ini harus sudah selesai, kita masih ada lima bulanan untuk selesaikan ini,” sebutnya.

Lebih lanjut, ia memastikan akan mengakomodir semua masukan yang diberikan pada tahapan harmonisasi nantinya. Pasalnya, ia tak menampik banyak munculnya perdebatan sepanjang proses penyusunan draf RPP tentang Pelaksanaan Jaminan Produk Halal. Pertama, terkait peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinilai sejumlah kalangan sangat powerfull dalam proses sertifikasi terhadap produk. Dikatakan Nursyam, pada awalnya memang MUI punya kewenangan penuh mulai dari pendafataran sampai dengan sertifikasi.

Namun, dengan UU JPH ini peran MUI hanya sebagai pemberi fatwa tercatat. Sedangkan pihak yang mengeluarkan sertifikat adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Selain itu, penentuan suatu produk halal juga tidak serta merta MUI saja. Namun, dalam sidang komisi fatwa MUI, selain ulama juga diikutsertakan pakar independen dan juga perwakilan dari kementerian terkait. “BPJPH tidak berikan fatwa tetapi MUI yang berikat fatwa,” ujarnya.

Kedua, mengenai jenis-jenis produk halal. Pada awalnya memang hanya Kementerian Kesehatan yang cukup keras meminta agar obat-obatan serta vaksin dikecualikan dari jenis produk yang wajib bersertifikat halal. Belakangan ini, nada serupa muncul dari industri kosmetika yang juga meminta ditinjau ulang agar produk kosmetika dikecualikan dari produk yang wajib disertifikasi. “Itu jadi bahan pertimbangan kita apa itu ada pengecualian dalam RPP kita. Sejauh ini hanya pada obat-obatan. Mungkin kosmetika juga, saya rasa yang dominan keberatan soal obat-obatan,” katanya.

Ketiga, biaya sertifikasi. Pasal 44 UU Nomor 33 Tahun 2014 bahwa biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha yang memohonkan sertifikat halal. Namun, dalam hal pelaku usaha adalah pelaku usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi dapat difasilitasi oleh pihak lain. Terkait dengan pembiayaan, nantinya akan diatur lebih rinci melalui RPP tentang Jenis Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Agama. Namun RPP tersebut hanya akan mengatur mengenai jenis-jenis layanan saja. Sedangkan terkait dengan besaran tarifnya akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas usul Menteri Agama.

Dikatakan Nur Syam, pengaturan terkait pembiayaan ini tidaklah mudah. Terlebih lagi kemampuan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama juga terbatas. Sedangkan pelaku usaha yang masuk kategori usaha mikro dan kecil tidaklah sedikit. “Pemerintah ada tapi tidak besar, pengusaha besar lewat CSR dan pihak lain yang tidak mengikat,” katanya.

Sebagai informasi, pengaturan lebih lanjut atas UU Nomor 33 Tahun 2014 tak hanya PP tentang Peraturan Pelaksanaan Jaminan Produk Halal dan Pembiayaaan Sertifikasi Halal dan PP tentang Jenis dan Tarif atas PNBP yang Berlaku pada Kementerian Agama. Melainkan juga terkait dengan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Organisasi dan Tata Kerja BPJPH. Melalui Perpres Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama ditentukan bahwa BPJPH dipimpin oleh Kepala Badan dan berada di bawah serta bertanggungjawab kepada Menteri Agama.

Selain Perpres tersebut, aturan lainnya adalah tentang Peraturan Menteri Agama (Permenag) terkait hal-hal teknis penyelenggaraan Jaminan Produk Halal. Paling tidak ada 11 Permenag yang diperlukan, seperti sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan Proses Produk Halal (PPH), sanksi administratif atas pelanggaran pengusaha pemilik sertifikat halal, penyelia halal, tata cara pengajuan sertifikat halal, tata cara penetapan LPH, ketentuan label halal, sanksi administratif atas pelanggaran pencantuman label halal, ketentuan pembaruan sertifikat halal, ketentuan pembaruan sertifikat halal, pengelolaan keuangan BPJPH, sanksi administratif atas pelanggaran registrasi sertifikat halal, dan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan.

Perlu Perspektif Seragam
Salah satu kesulitan yang dihadapi Kementerian Agama adalah soal pemahaman masyarakat akan pentingnya barang dan jasa yang halal. Kurang pahamnya masyarakat akan produk halal dikhawatirkan berdampak pada keadaan dijadikannya Indonesia sebagai pangsa besar bagi negara-negara lain yang telah lebih dulu stabil melakukan sertifikasi halal pada setiap produknya. “Mindset masyarakat juga harus diubah, sehingga masyarakat bisa memilih yang halal,” kata Siti.

Belum seragamnya perspektif pada kalangan pelaku usaha terutama yang bergerak di industri farmasi dan kosmetika menjadi kekhawatiran bagi Kementerian Agama. Sebagai contoh, di negara-negara seperti Jepang dan Korea misalnya sudah mulai melakukan riset tentang bahan-bahan yang halal untuk bahan baku pembuatan obat. Namun, kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia dimana pelaku usaha di bidang obat-obatan dan kosmetika malah minta dikecualikan dari produk yang wajib bersertifikat halal.

“Nanti Indonesia jadi pangsa pasar jual aja dong, mau ngga kita tertinggal? Kita mau jadi produsen atau pembeli?  Lihatlah secara aspek bisnis, kalau tetap seperti ini bisa saja obat yang diproduksi di Indonesa tidak laku dijual karena tidak halal dan akhirnya memilih produk jepang yang sudah halal,” pungkasnya. 
Tags:

Berita Terkait