5 Catatan KontraS Soal Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Berat Paniai
Terbaru

5 Catatan KontraS Soal Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Berat Paniai

Sejak awal proses penyelidikan dan penyidikan masyarakat sipil tidak dilibatkan. Hanya ada 1 orang tersangka membuat pelanggaran HAM berat Paniai terkesan seperti kasus pidana biasa.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY

Proses penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat Paniai akan berlanjut ke persidangan. Mahkamah Agung (MA) masih menyiapkan Pengadilan HAM yang rencananya digelar di Makassar, Sulawesi Selatan. Penanganan kasus pelanggaran HAM Paniai menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil. Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, membeberkan sedikitnya 5 catatan terhadap proses penegakan hukum kasus pelanggaran HAM berat Paniai.

Pertama, kalangan masyarakat sipil tidak dilibatkan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Fatia menyebut Pasal 21 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan/atau masyarakat. Absennya masyarakat sipil dalam proses penyidikan membuat prosesnya menjadi tertutup sehingga yang ditetapkan hanya 1 tersangka.

Kedua, muncul ketidakpercayaan dari keluarga korban atas proses penegakan hukum yang berjalan. Menurut Fatia, tidak mungkin kasus pelanggaran HAM berat hanya dilakukan 1 orang. Proses penegakan hukum harusnya menyeluruh sampai meminta keterangan pimpinan tertinggi Polri dan TNI ketika peristiwa Paniai terjadi tahun 2014.

“Penegakan kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini formalitas karena yang jadi tersangka hanya 1 orang. Pelanggaran HAM berat ini terkesan seperti kasus pidana biasa karena tersangkanya cuma 1 orang,” kata Fatia dalam diskusi publik bertema “Pelindungan untuk Saksi di Pengadilan HAM Peristiwa Paniai”, Jum’at (19/8/2022) lalu.

Ketiga, Fatia menyoroti perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai. Pemerintah seharusnya mengevaluasi kegagalan penyelenggaraan pengadilan HAM berat yang sebelumnya pernah 3 kali digelar, salah satunya kasus Tanjung Priok.

KontraS menemukan banyak kejanggalan dalam persidangan kasus Tanjung Priok, antara lain hakim terintimidasi posisi TNI yang kala itu sangat kuat di era pemerintahan orde baru. Ruang sidang dipadati kalangan TNI, sehingga menimbulkan kondisi intimidatif terhadap korban dan keluarganya.

Dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Fatia menyebut persidangan akan digelar di Makassar, tapi sampai sekarang LPSK belum melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban dengan dalih belum ada permintaan/permohonan. Jaminan kepada keluarga korban dan korban untuk hadir dalam persidangan bakal sulit karena jarak Makassar ke Papua tergolong jauh. Harus dipastikan keluarga korban bisa masuk di ruang sidang.

“Jangan malah yang masuk ruang sidang nanti kelompok vigilante yang menghambat jalannya sidang,” paparnya.

Keempat, proses penegakan hukum kasus pelanggaran HAM berat Paniai terburu-buru, sehingga tersangka yang ditetapkan hanya 1 orang. Jika serius menangani kasus ini seharusnya proses penegakan hukum dilakukan secara komprehensif dan representatif. Menjunjung tinggi akuntabilitas dan transparansi mulai dari proses penyidikan di Kejaksaan Agung sampai perlindungan terhadap saksi dan korban.

Kelima, Fatia mengingatkan agar proses peradilan berjalan baik, maka prosesnya harus menjunjung tinggi akuntabilitas dan transparansi. Jangan hanya 1 orang yang dijadikan tersangka, tapi para petinggi Polri dan TNI harus diminta keterangan. Kemudian keluarga mendapat jaminan untuk hadir di ruang sidang. “Juga harus dipastikan tidak ada intimidasi baik dari lembaga atau organisasi tertentu sebagaimana yang terjadi dalam pengadilan HAM pada kasus pelanggaran HAM berat lainnya.”

Tags:

Berita Terkait