6 Laskar FPI Tersangka, Pakar: Tindakan Sangat Berlebihan dan Tidak Berdasar Hukum
Berita

6 Laskar FPI Tersangka, Pakar: Tindakan Sangat Berlebihan dan Tidak Berdasar Hukum

Seharusnya Pasal 77 KUHP, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.21/PUU-XII/2014, dan Pasal 109 KUHAP menjadi pedoman bagi aparat untuk menyikapi kasus penembakan 6 laskar FPI ini. YLBHI meminta kepolisian tidak meneruskan proses hukum tersebut agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan tidak membuat masyarakat semakin tidak percaya hukum.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam (kiri) menunjukan barang bukti berupa bagian CCTV disaksikan Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin (kanan) terkait kasus peristiwa penembakan 6 laskar FPI. Foto: RES
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam (kiri) menunjukan barang bukti berupa bagian CCTV disaksikan Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin (kanan) terkait kasus peristiwa penembakan 6 laskar FPI. Foto: RES

Penyelidikan kasus penembakan yang menelan korban meninggal 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta Cikampek, Senin (7/12/2020) dini hari memasuki babak baru. Alhasil, Mabes Polri menetapkan 6 laskar FPI yang meninggal dunia sebagai tersangka. Keenam laskar FPI tersebut sebelumnya disebut-sebut diduga menyerang anggota kepolisian dan memiliki senjata api rakitan.

Dilansir sejumlah media, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskirm Polri Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi mengatakan mereka menjadi tersangka lantaran menyerang petugas. "Sudah, sudah ditetapkan sebagai tersangka," ucap Andi. (Baca Juga: Ragam Fakta Temuan Komnas HAM dalam Kasus Penembagkan 6 Laskar FPI)

Meski demikian, penetapan tersangka terhadap keenam anggota FPI itu masih perlu dikaji oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebab, polisi menetapkan mereka sebagai tersangka setelah meninggal. "Makanya kami ada kirim ke jaksa biar diteliti, biar nanti hasilnya apa di teman-teman jaksa," kata Andi.

Penetapan tersangka terhadap 6 laskar FPI yang sudah meninggal mengundang reaksi kritikan beberapa kalangan. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai mentersangkakan orang yang telah meninggal oleh aparat kepolisian merupakan tindakan yang sangat berlebihan dan tidaklah berdasar hukum. Sebab, dalam Pasal 77 KUHP telah menentukan gugurnya hak menuntut pidana saat terduga pelaku telah meninggal dunia.    

Selengkapnya Pasal 77 KUHP menyebutkan, “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meningggal dunia”. Menurutnya, rumusan norma Pasal 77 KUHP telah jelas dan gamblang bagi aparat penegak hukum dalam menangani perkara orang yang dianggap petugas kepolisian menjadi tersangka. “Tidak ada alasan yuridis untuk menentukan orang yang sudah meninggal sebagai tersangka,” ujar Abdul Fickar Hadjar kepada Hukumonline, Kamis (4/3/2021).

Dia menilai tindakan kepolisian seharusnya melaksanakan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memproses dan menetapkan tersangka pelaku penembakan tewasnya 6 orang laskar FPI hingga ke pengadilan. “Ini lucu malah seolah-olah polisi yang menjadi korban penyerangan. Kepolisian itu alat negara yang digaji dari uang rakyat dan jangan menyakiti rakyat,” kritiknya.

Senada, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar, Supardji Achmad berpendapat bila terduga sudah meninggal harusnya aparat melihat Pasal 77 KUHP. Selain Pasal 77 KUHAP, penyidik semestinya memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 April 2015, menyebutkan sebelum menetapkan tersangka, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka (saksi/terlapor).

Selain, Pasal 109 ayat (2) KUHAP harus menjadi perhatian penyidik terkai ketentuan penghentian penyidikan bila tersangka meninggal dunia. Dia mengingatkan penetapan tersangka harus didahului proses hukum sebelumnya. Dia menyarankan agar penyidik mencabut status tersangka terhadap 6 orang laskar FPI yang telah meninggal.

Sebaiknya, Kepolisian fokus melanjutkan rekomendasi Komnas HAM yang beberapa waktu lalu telah disampaikan ke presiden. “Kenapa meninggal jadi tersangka? Bagaimana prosesnya? Lalu kasus ini mau bagaimana prosesnya? Pertanyaan itulah yang kemudian muncul di tengah masyarakat,” katanya.

Sangat aneh

Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pun angkat bicara terkait tindakan polisi menetapkan tersangka terhadap orang yang telah meninggal. Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai tindakan aparat kepolisian sangat aneh. Bahkan bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. “Ini tentu berbahaya jika dianggap sebagai sebuah standar penegakan hukum,” kata Isnur.

Menurutnya, Pasal 77 KUHP sudah terang benderang sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menyikapi kasus ini secara proporsional. Diirnya tak habis pikir dengan aparat kepolisian yang menetapkan tersangka terhadap orang yang telah meninggal, sehingga menjadi sangat aneh. Dampaknya, kasus tersebut diperkirakan tak ditindaklanjuti oleh penuntut umum.

Dalam ketentuan hukum acara pidana, kata Isnur, dijelaskan tersangka memiliki serangkaian hak untuk membela diri dan membantah tuduhan, mengajukan saksi yang meringankan, hak atas bantuan hukum, dan lainnya. “Nah, bagaimana bila tersangka bisa melakukan hak-haknya itu kalau sudah meninggal?”

Untuk itu, YLBHI meminta kepolisian tidak meneruskan proses hukum tersebut agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan tidak membuat masyarakat semakin tidak percaya hukum. “Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang kasus 6 orang anggota FPI, tetapi tentang bagaimana Indonesia sebagai negara hukum yang tegas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 bisa tegak lurus,” katanya.

Tags:

Berita Terkait