Abdul Gani Abdullah: Naskah Akademis Tidak Mengikat Namun Tetap Perlu
Utama

Abdul Gani Abdullah: Naskah Akademis Tidak Mengikat Namun Tetap Perlu

Selama ini sepak terjang Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) memang sayup-sayup terdengar. Tak banyak yang peduli terhadap kiprah lembaga yang sebenarnya memiliki fungsi strategis dalam penyusunan sebuah undang-undang.

Gie
Bacaan 2 Menit

Menurut pendapat saya partisipasi masyarakat perlu sekali. Itulah yang menjadi sebab mengapa perlu sekali dalam UU 10/2004 ada ketentuan yg menyatakan masyarakat mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat atau usul dalam pembentukan UU atau Perda baik lisan maupun tertulis. Baik pemerintah maupun DPR harus melibatkan masyarakat. DPR caranya dengan Rapat Dengar Pendapat Umum. Begitu juga dengan pemerintah. Misalnya saja seperti penyusunan Prolegnas 2006 kemarin waktu penyusunan Prolegnas yang dilakukan di Jogjakarta, itu LSM diundang semua untuk ikut serta dalam penyusunan UU. Itu semua melibatkan masyarakat. Tidak ada pilihan masyarakat tertentu, siapa saja boleh walaupun tidak diundang. Sampai ada yang bilang kami sudah ikut serta tetapi usul kami tidak terima. Persoalan ini adalah persoalan politik. Mereka menyampaikan usulan namun tidak menjadi hal yang mengikat bagi DPR. Kalau relevan dipakai kalau tidak bagaimana.

 

Bagi Abdul Gani, membahas UU di DPR adalah pengalaman yang mengasyikkan. Tugas membahas RUU di DPR  Saya bisa enjoy itu. Karena proses pembahasan di DPR yang menginginkan perlunya wawasan yang luas, teoritik, sosiologis. Ketika kita memikirkan sesuatu kita harus memikirkan apa implikasi sosial, finansial, politik. Dimana implikasi ini bisa terjadi tahun depan, tahun depannya lagi hingga 10 tahun kedepan.

 

Enaknya disitu. Berbagi ilmu dengan DPR dengan berbagai cara yang berbeda. Walaupun banyak anggota dewan yang berkata keras, namun saya harus tetap lunak. Kita tidak bisa melawan yang keras dengan yang keras juga. Saya anggap sesuatu sebagai fenomena yang saya pelajari. Namun yang saya pelajari berdasarkan metodologi. Jadi saya melihat sesuatu dari kacamata metodologi. Berarti hukum itu menyelesaikan interaksi konflik. Ketika bertemu dua stelsel hukum saya mencoba menjembatani.

 

Sebagai mantan Dirjen Perundang-undangan menurut anda apakah yang menjadi kendala dalam penyusunan sebuah UU? Apakah anggaran, waktu yang terbatas, atau sikap anggota dewan yang tidak kooperatif?

Kendala utama saya lihat bukan persoalan anggaran. Ada atau tidaknya anggaran pembahasan DPR harus tetap berjalan. Sesuai fungsi masing-masing, dalam konteks ini tidak ada persoalan anggaran. Namun mungkin yang jadi persoalan adalah masalah waktu. Apakah waktu itu cukup untuk menghasilkan suatu RUU yang baik dan berkualitas. Nah, melihat hal ini perlu ada pengaturan waktu untuk proses pembahasan. Umpamanya untuk satu hari berapa sesi pembahasan. Yang terjadi saat ini adalah sehari penuh kadang sampai jam 2 atau jam 4 pagi masih ada pembahasan. Kalau waktunya panjang, kan tidak harus sampai malam. Namun yang menjadi masalah adalah waktu di DPR juga diatur dengan tata tertib berapa waktu yang digunakan untuk membahas suatu RUU karena ada masa resesnya dan lainnya.

 

Masih sebagai mantan dirjen Per-UU an, Bagaimana pendapat anda tentang isu money politics dalam pembuatan UU?

Saya tidak melihat ada money politics, saya sendiri waktu menjabat tidak pernah membawa setumpuk atau sekoper uang untuk dibagikan kepada DPR. Malah saya pikir ini sidang tiap hari buat makan ada atau tidak. Akhirnya ya makan di kantin.

Halaman Selanjutnya:
Tags: