Access to “Justice”
Tajuk

Access to “Justice”

​​​​​​​Kemajuan cara berpikir, teknologi dan kemampuan untuk hidup lebih normal harusnya mampu membawa kita semua keluar dari krisis ini.

RED
Bacaan 10 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Dalam sejarah dan praktik penegakan hak asasi manusia (HAM) di manapun di dunia, kita banyak bicara tentang access to justice, hak untuk mendapatkan keadilan dan jaminan adanya proses dan pelayanan hukum yang imparsial dari sistem peradilan, yang harus selalu dijamin oleh negara. Bukan saja ini menjadi suatu isu penting di dalam yurisdiksi hukum rezim otoritarian, negara terbelakang atau negara yang sedang berproses menjadi lebih demokratis, tetapi juga penting dan masih terlihat di negara-negara maju yang sudah mempraktikkan demokrasi ratusan tahun. Gerakan Black Lives Matter misalnya di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa masih ada diskriminasi proses hukum yang adil bagi warga negara dengan latar belakang tertentu.

Masalah utama yang kerap menghadang access to justice umumnya: (i) masalah dalam sistem operasional dari sistem peradilan (kurangnya kerja sama antar lembaga penegak hukum, kurang efektifnya lembaga bantuan hukum untuk pencari keadilan yang miskin, kurangnya proses konseling sebelum suatu masalah dibawa ke pengadilan, dan besarnya biaya proses litigasi), dan (ii) masalah struktural (elitisme dalam sistem peradilan, bahasa hukum yang terlalu kompleks untuk dimengerti oleh awam, masalah kemiskinan yang membuat segalanya menjadi sulit dan rapuh, dan kesadaran hukum yang rendah di kalangan masyarakat sendiri) yang tentunya saling kait mengait (Abregu, M., 2001 “Barricades or Obstacles: The Challenges of Access to Justice”).

Masalah access to justice merupakan satu sisi yang mungkin terlihat “mewah” untuk dijadikan suatu prioritas banyak negara miskin atau sedang berkembang. Sebelum sampai ke sana, banyak penguasa berpikir bahwa ada antrian panjang prioritas lainnya. Akses kepada pendanaan untuk aktivitas industri dan perdagangan mikro, akses kepada sistem pendidikan, akses kepada sistem kesehatan, akses kepada infrastuktur yang lebih menunjang mobilitas dan aktivitas ekonomi masyarakat, akses kepada pelayanan publik yang lebih baik, dan sejumlah akses lainnya, yang mereka pikir jauh lebih mendesak ditangani hari ini. Access to Justice mungkin menempati urutan terbuncit. Cara pikir ini tentu saja tidak benar, karena akses kepada semua yang dianggap prioritas tersebut merupakan bagian dari access to justice dalam pengertian yang lebih luas. Tanpa perlakuan yang sama di hadapan kebijakan dan proses hukum, semua prioritas itu juga tidak akan bisa dibangun.

Kita sudah cukup banyak belajar dari rezim yang lalu, bahwa pembangunan fisik dan ekonomi saja hanya berhasil membentuk bangunan besar yang rapuh, dan mudah runtuh.

Tajuk ini tidak ingin menyampaikan pikiran tentang access to justice dalam pengertian dimaksud di atas. Tajuk ini hanya ingin membawanya kepada konteks situasi kita saat ini, baik di Indonesia maupun di banyak negara lain di dunia. Menghadapi pandemi ini, kita dihadapi pada berbagai macam cara untuk menarik rem mobilitas dan kegiatan kerumunan, menanggulangi secara masif testing dan tracing, bergulat dengan treatment, sementara kita secara finansial juga tetap harus sintas, dan secara pasti roda-roda ekonomi juga harus mulai bergulir, seperti juga aspek kehidupan lainnya termasuk pendidikan, bisnis, pelayanan kesehatan non-covid19, dan lain sebagainya.

Pilihan-pilihannya memang sulit, membuat pemberi keputusan gagap, dan bisa berakibat putus jabatan, cemooh publik dan bahkan perkara hukum di ujungnya. Kalau ukurannya adalah popularitas, seperti masa sebelum pandemi, pastilah jualan ini tidak laku, karena bencana ini nyata, jutaan di Indonesia sudah terjangkit infeksi, rumah sakit penuh dan tenaga kesehatan sudah kewalahan, dan sedihnya, ribuan orang sudah mendahului kita lebih cepat. Dengan fakta ini, orang melihat bahwa suatu keputusan darurat untuk menghadapi masalah yang sangat riil ini harus segera dibuat. Bantuan bahan pokok sampai di depan pintu, bantuan tunai masuk rekening, testing untuk memberi rasa aman dilakukan efektif, dan yang terakhir ini, vaksin secara merata disuntikkan untuk mencapai imunitas kolektif.

Menarik bahwa dari sejumlah isu baru tersebut kemudian muncul, dan kita bicara, soal keadilan. Soal acces to justice. Dalam pandemi ini, access to justice harus diartikan sebagai (i) akses untuk mendapatkan kebijakan bantuan langsung secara adil kepada mereka yang tidak berdaya, (ii) akses kepada informasi yang transparan tentang kondisi dan dampak pandemi, sehingga setiap orang, kelompok orang dan organisasi bisa mengambil keputusan yang tepat untuk dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat lingkungannya, dan kegiatan usahanya, (iii) akses kepada perawatan kesehatan baik untuk penyakit karena virus covid-19 maupun bukan (yang terdampak besar karena semua fasilitas kesehatan seperti terampas untuk menangani penyakit ini), dan (iv) akses kepada vaksinasi itu sendiri dalam rangka ikut memutus rantai pandemi.

Masalah pertama muncul terkait dengan bantuan atau stimulus atau relaksasi atau apapun namanya untuk para pelaku bisnis besar, menengah dan kecil bahkan mikro termasuk pelaku usaha kaki lima. Kita tahu bahwa pengusaha besar mengalami dampak negatif yang besar dari pandemi ini, semata karena besaran investasi, industri dan perdagangan yang mereka lakukan. Terhentinya produksi, lemahnya perdagangan dan hambatan supply chain dalam sistem produksi dan perdagangan mereka menggerus pendapatan. Sementara kewajiban kepada kreditur, karyawan, pajak dan pemasok serta kewajiban finansial lainnya tidak bisa seluruhnya dihentikan atau ditunda.

Stimulus yang diberikan pemerintah tidak akan seluruhnya bisa menghentikan atau mengatasi biaya yang harus mereka bayar. Dalam keadaan seperti itu, rasio-rasio keuangan mereka menjadi babak belur, proyeksi keuangan melorot jauh dari target capaian, dan bayangan untuk bangkit dan memulai kegiatan usaha dibayangi oleh ketidakpastian tentang akhir dari pandemi. Banyak di antaranya sudah memasuki ranah payment atau setidaknya technical defaults. Dalam keadaan normal, dengan membaca rasio keuangan tersebut, kreditur sudah akan melakukan tindakan pengamanan, pajak akan memeriksa buku mereka untuk memastikan tidak ada tax frauds, pemasok mulai menghentikan pasokan, tagihan-tagihan yang sudah jatuh tempo berlomba untuk mendapatkan prioritas pembayaran, dan investor menghentikan aliran dana. Bukan tidak mungkin bayangan akan dilakukannya tindakan hukum temasuk tindakan memailitkan sudah mulai muncul.

Hanya saja perlu diingat bahwa dalam banyak krisis, kita mendengar kebangkrutan dari banyak perusahaan, sehingga mereka menjadi sasaran akuisisi, yang sering sekali hostile, atau dibiarkan mati untuk berbagai macam alasan, apakah itu merupakan bentuk suatu penghukuman, atau suatu tindakan mengurangi persaingan usaha. Akan tetapi jarang kita mendengar orangnya, pemegang saham pengendalinya, pengusahanya pribadi, atau kekayaan keluarganya juga ikut ludes atau bangkrut. Simpanan atau aset mereka masih lebih dari cukup untuk hidup baik di atas rata-rata kelas menengah, dan bahkan banyak yang masih mencukupi untuk bekal bangkit kembali setelah pandemi selesai.

Pengusaha yang baik dan punya integritas tinggi sedapat mungkin akan meneruskan usahanya dalam skala yang mereka mampu lakukan, membayar kewajiban pajak dan kepada kreditur serta karyawannya, tentu dengan berbagai variasi restrukturisasi yang dapat diterima oleh stakeholders mereka. Yang lainnya memilih menghentikan semua kewajibannya, bertahan dengan simpanannya, dan tidak terlalu pusing dengan reputasinya. Contoh paling nyata adalah pada waktu kita mengalami resesi ekonomi karena Asian Crisis tahun 1998 di mana banyak pengusaha mengesankan bangkrut, tapi kemudian beberapa tahun kemudian menjelma menjadi konglomerat baru dengan jaringan, nama dan wajah baru. Mereka yang punya integritas tinggi, membayar kewajibannya, dan mulai kembali usahanya dari titik awal lagi, bisa dihitung dengan jari jumlahnya.   

Sedangkan pengusaha menengah, kecil dan mikro tidak punya cukup ketahanan seperti pengusaha besar dalam situasi seperti ini. Harapan akan adanya stimulus, relaksasi, dan bantuan keuangan pemerintah dan otoritas keuangan sangat menentukan mati hidupnya usaha mereka. Simpanan perusahaan dan pemiliknyapun menipis dan habis untuk membayar biaya yang tidak seluruhnya bisa dihentikan. Merekalah yang paling menderita. Merekalah yang sebetulnya menjadi penopang utama ekonomi kita, dan mereka jugalah yang sekarang harus lebih ditolong. Pemerintah dan otoritas keuangan tentu telah memberlakukan sejumlah kebijakan yang dirasa mampu membantu kehidupan ekonomi menengah, kecil dan mikro. Apakah itu cukup? Apakah itu adil, dibanding dengan kebijakan yang juga diterapkan kepada pengusaha besar? Kita akan melihatnya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Disiplin prokes yang rendah di kalangan masyarakat menengah ke bawah selama pandemi ini menunjukkan adanya indikasi kuat kebutuhan untuk sekedar survive yang tinggi diantara mereka, jadi bukan karena kita adalah model masyarakat yang bandel dan tidak punya kepedulian dengan hidup matinya orang lain. Kita bukan negara kaya, dan kita punya keterbatasan untuk memberikan stimulus, bantuan langsung dan relaksasi tersebut. Kebijakan yang terlalu bebas akan menyebabkan daya bangkit kita nanti akan sangat lemah dan lambat. Governance-pun akan bisa kendor. Kebijakan yang pas juga tidak mudah karenanya. Di sini, sekali lagi, diperlukan keadilan terhadap kebijakan akses bantuan, stimulus dan relaksasi tersebut.  

Masalah kedua yang muncul adalah akses terhadap informasi publik yang transparan. Seseorang, kelompok orang, suatu organisasi dan perusahaan tidak akan mampu membuat keputusan yang tepat menghadapi pandemi yang dperkirakan oleh para ahli akan masih berlangsung 2-3 tahun lagi tanpa akses informasi yasng baik. Kita mendengar minggu ini bahwa Menteri Kesehatan tidak akan menggunakan data dari departemennya sendiri, tetapi akan menggunakan data dari KPU dari pemilu tahun 2019 yang lalu (hal yang sudah banyak diusulkan di awal pandemi). Bisa dibayangkan kalau departemen yang paling bertanggung jawab untuk menanggulangi pandemi tidak punya data yang bisa diandalkan untuk menyusun tindakan-tindakan kedaruratannya.

Kesalahan penggunaan data bisa menyebabkan kesalahan fatal yang mengambil banyak korban. Karenanya bisa dimengerti betapa frustasinya Menteri Kesehatan, sebagai sarjana teknik dan mantan bankir yang sangat percaya kepada kebijakan berbasis data yang akurat menghadapi kondisi ini. Rakyat membutuhkan data dan informasi dari pihak yang bertanggung jawab atas penanganan pandemi tentang misalnya: di mana testing bisa dilakukan, berapa biayanya, dan apa yang harus dilakukan setelah mereka mengetetahui hasilnya. Mereka  juga ingin tahu dimana area-area yang harus dihindari.

Mereka juga membutuhkan informasi di mana rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain yang bisa memberikan fasilitas karantina dan perawatan mereka yang terdeteksi positif infeksi virus ini, siapa yang harus membayar, berapa yang harus dibayar kalau tidak gratis, apa obat yang direkomendasikan, dimana bisa diperoleh, dan sebagainya. Kebijakan yang kita dengar pemerintah membebaskan para penderita virus ini dari biaya karantina dan perawatan di rumah sakit. Tetapi kita juga membaca berita bahwa banyak pasien harus mengeluarkan ratusan juta untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Bisa saja itu karena biaya perawatan atas masalah kesehatan mereka yang lain bersamaan dengan perawatan infeksi Covid-19.

Kejelasan itu yang rasanya belum terlalu publik. Mereka juga membutuhkan informasi tentang lapangan pekerjaan atau usaha apa yang masih terbuka kesempatannya di masa pandemi, produk apa saja yang dibutuhkan oleh pasar, insentif apa yang bisa mereka dapatkan untuk proses produksi dan pemasaran produk mereka, dan sebagainya. Mereka yang mempunyai alat untuk mendapatkan informasi daring, mereka yang biasa menggunakan itu, dan mereka yang mampu mengolah informasi tersebut tentu saat ini bisa mengakses informasi bermanfaat itu. Bagaimana dengan mayoritas yang tidak memiliki akses tersebut? Di sini ada ketimpangan besar. Dalam kondisi normal, di mana semua kekurangan itu bisa dianggap sebagai suatu proyek jangka menengah – panjang, di masa pandemi ini bisa berarti banyak dari kita kehilangan daya sintas dan bahkan ada pertaruhan jatuhnya banyak korban ribuan orang yang tidak punya akses tersebut. Sebagai orang Indonesia, kita punya perasaan kita punya daya tahan dan resiliensi menghadapi itu semua. Tetapi negara tidak bisa bersikap sama. Negara harus turun membantu.

Masalah ketiga yang sangat perlu ditangani segera adalah akses yang adil untuk mendapatkan perawatan kesehatan di rumah-rumah sakit dan tempat pelayanan kesehatan lainnya. Kita mengalami keterbatasan jumlah orang yang bisa ditampung di tempat-tempat tersebut, bukan hanya karena jumlah orang yang terinfeksi menjadi sangat tidak terkendali, tetapi juga karena infrastruktur pelayanan kesehatan kita yang tidak dibangun dengan baik sebelum pandemi. Jumlah tempat tidur untuk mereka yang sanggup membayar lebih besar dari jumlah tempat tidur dari mereka yang tidak mampu membayar. Pelayanan kesehatan menjadi bisnis besar yang menarik para konglomerat untuk terjun ke bidang usaha ini. Pelayanan kesehatan publik menjadi tidak menarik, dan kalau tidak karena pandemi ini, mata kita tidak akan terbuka melihat permasalahan mendasar dalam pelayanan kesehatan publik kita.  

Fakta bahwa ini juga terjadi di New York, Milan, Madrid, Kuala Lumpur dan kota-kota lain di dunia, bukan alasan bahwa kita bisa membiarkan kesenjangan itu berlangsung terus. Dengan lebih dari 10.000 Puskesmas yang ada di seluruh penjuru tanah air, kita perlu membangkitkan mereka menjadi tempat pelayanan dan perawatan kesehatan yang lebih mampu ikut menangani pandemi seperti yang terjadi sekarang ini. Bukan tidak mungkin pandemi lain akan muncul diwaktu mendatang, dan jangan sampai kita pada waktu itu masih belum selesai menyiapkan infrastruktur yang cukup untuk menghadapinya.   

Masalah keempat, dan mungkin bukan yang terakhir, adalah masalah akses kepada vaksin yang sudah mulai disuntikkan sejak pertengahan bulan ini kepada masyarakat tertentu, yaitu tenaga kesehatan dan tenaga esensial. Pemerintah sudah membuat jadwal yang terlihat meyakinkan bahwa setelahnya para lansia sudah bisa mulai divaksinasi pada kwartal kedua tahun ini (April), dan setelahnya masyarakat umum akan mendapatkan gilirannya secara bertahap sampai dengan kwartal pertama tahun 2022. Bahkan minggu ini Presiden mengatakan bahwa jadwal untuk masyarakat umum bisa dipercepat menjadi mulai Februari 2021.

Kita tidak tahu pasti apakah itu janji atau itu adalah fakta yang akan kita lihat dilaksanakan, karena tidak ada informasi yang jelas bahwa apa yang sudah diumumkan sebagai beberapa vaksin yang sudah masuk daftar Kemenkes, betul-betul kontraknya sudah ditandatangani, barangnya sudah diproduksi, akan siap dikirim sesuai jadwal dalam kontrak dan jadwal yang dijanjikan kepada masyaraka. Juga belum ada informasi bahwa jalur distribusi berpendingin sudah siap untuk melaksanakan distribusi ke seluruh pelosok nusantara, dan bahwa tenaga yang melakukan vaksinasi sudah siap melaksanakan vaksinasi terbesar yang pernah dilakukan di Indonesia. Satu contoh saja, Novavax, vaksin pabrikan Amerika Serikat sudah diikat kontrak oleh pemerintah untuk memasok 50 juta dosis vaksin pada kwartal 3 tahun ini.

Sampai dengan saat ini kita belum mendengar bahwa vaksin ini sudah melalui uji klinis tahap ketiga. Belum lagi proses persetujuan FDA, dan belum lagi proses Emergency Use Authorization dari BPOM. Kemudian kita juga mendengar bahwa semula ada dua sistem distribusi yang akan djalankan, pertama secara gratis untuk mereka yang tidak mampu membayar dan mereka yang menjadi anggota BPJS, dan jalur mandiri untuk mereka yang mampu membayar.

Setelah perdebatan panjang, akhirnya pemerintah menyatakan akan menggratiskan semua penduduk Indonesia karena dampak sosial yang mungkin timbul bila ada akses (dan kecepatan) yang berbeda untuk orang yang tidak mampu dan mampu. Belakangan muncul lagi wacana bahwa korporasi diperbolehkan impor untuk kepentingan karyawannya sendiri karena hal ini penting untuk kebangkitan segera ekonomi kita, asalkan waktunya dilakukan setelah tenaga kesehatan dan tenaga esensial selesai divaksin, sekali lagi untuk mengurangi dampak sosial bahwa yang kaya bisa divaksin lebih awal.

Ini menunjukkan bahwa ada kesan pemerintah tidak siap untuk menghadapi reaksi yang mungkin muncul, juga menunjukkan bahwa mereka menilai rakyat kita tidak dewasa. Yang perlu diingat dalam hal ini adalah bagaimana segala unsur bangsa melakukan proses vaksinasi ini dengan cara secepat mungkin, seaman mungkin, dan semurah mungkin. Biarkan pemerintah, swasta dan organisasi yang punya integritas ikut serta dalam program ini. Dampak politik apa yang dikuatirkan kalau penguasa dan oposisi sudah bersatu di satu kabinet? Dampak sosial apa yang akan menjadi risiko kalau semua orang sudah mendapat jadwal vaksinasi sesuai dengan usia, kondisi kesehatan, risiko pekerjaan, dan wilayahnya masing-masing? Teknologi dan manajemen yang baik akan bisa mengendalikan itu semua, dan rakyat kita mempunyai banyak persediaan sabar untuk menunggu gilirannya. Mereka bukan segelintir haters yang ada di media sosial. Mereka adalah rakyat baik yang memilih para pemimpin yang ada di kabinet sekarang ini.

Kita pernah mengalami banyak krisis. Demikian juga dunia. Kemajuan cara berpikir, teknologi dan kemampuan untuk hidup lebih normal harusnya mampu membawa kita semua keluar dari krisis ini, dengan memberikan akses yang adil kepada semua penduduk untuk mendapatkan perlakuan yang manusia tanpa perbedaan.

Ats, Januari 2021

Tags:

Berita Terkait