Actio Pauliana vs Dalih Iktikad Baik Debitur dalam Putusan Pengadilan
Terbaru

Actio Pauliana vs Dalih Iktikad Baik Debitur dalam Putusan Pengadilan

Salah satu unsur terpenting yang menjadi patokan dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu gugatan actio pauliana yaitu unsur iktikad baik.

Hamalatul Qurani
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi: RES
Ilustrasi: RES

Sejak jatuh pailit pada 2013 silam (Putusan No. 77/Pailit/2012/PN Niaga jkt. Pst), Tim Kurator (Turman Panggabean dkk) yang ditujuk untuk membereskan aset Batavia (PT Metro Batavia) tak menyerah untuk mendapatkan kembali harta-harta boedel yang diduga kuat telah dialihkan. Kendati sempat ditolak hingga kasasi (lihat Putusan MA No. 389 K/Pdt.Sus-Pailit/2014), gugatan actio pauliana yang diajukan tim kurator berhasil diterima di tingkat Peninjauan Kembali (PK).

Pasca terbukti mengalihkan kepemilikan tanah dan bangunan (yang dulunya) kantor PT Metro Batavia yang terletak di Jalan Ir H. Juanda No. 15, Presiden Direktur Batavia Air, YT ataupun pihak lain yang tengah menguasai objek bidikan kurator itu diperintahkan majelis untuk mengembalikan objek ke dalam boedel pailit. Artinya, perbuatan hukum berupa pengalihan tanah dan bangunan bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tersebut akhirnya batal pasca jatuhnya putusan PK. 

Dalam amarnya, majelis PK tak menafikan hak pihak ketiga (HS) yang telah membeli objek tanah dan bangunan tersebut. Untuk itu majelis memerintahkan agar YT menyerahkan kembali pembayaran hasil penjualan tanah dan bangunan tersebut kepada HS (lihat Putusan No. 61PK/Pdt.Sus-pailit/2015). Gugatan actio pauliana dalam kasus Batavia Air merupakan salah satu contoh gugatan yang berhasil dimenangkan kurator. 

Jangankan objek yang sudah jelas milik perusahaan pailit, bahkan dalam putusan No. 461K/Pdt.Sus-Pailit/2019, tim kurator yang diketuai oleh S.O. Manullang berhasil menyeret harta bersama hasil pernikahan mantan debitor pailit (DH) untuk dimasukkan ke dalam boedel pailit. Menariknya lagi, harta bersama tersebut merupakan hasil pernikahan DH dan istrinya yang diselenggarakan pada tahun 2014, sementara putusan pailit yang menyeretnya telah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2011.

Walaupun gugatan actio pauliana yang diajukan itu sempat ditolak pengadilan tingkat pertama, namun keadaan berbalik ketika Majelis Kasasi mengabulkan permohonan kasasi kurator. Salah satu pertimbangannya, perjanjian pranikah antara DH dan istrinya tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah, sehingga perjanjian tersebut tidak berlaku mengikat kepada pihak ketiga (kreditor pailit). Alhasil, harta yang diperoleh selama perkawinan tersebut menjadi harta bersama. Dampak hukumnya, sebidang tanah seluas 3266m2 dibelinya pada November 2017 melalui perjanjian kredit terpaksa harus diserahkan ke dalam boedel pailit.

Mengingat begitu besarnya dampak keberlakuan gugatan action pauliana dalam menyeret hingga harta pribadi debitor, sehingga sangat menarik untuk dibahas dalam edisi Premium Stories kali ini. Dimulai dari hal yang prinsip, mengkaji actio pauliana dalam kerangka tekstual sistem hukum perdata hingga keberlakuannya dalam tataran praktik, seperti sejauh apa batas-batas suatu objek perkara bisa ditarik masuk ke dalam boedel pailit ataupun dalam kasus-kasus gugatan perdata umum, termasuk bagaimana benturannya dengan dalih pembelaan debitur terkait prinsip iktikad baik (good faith).

Actio Pauliana dalam Sistem Hukum Perdata
Kata actio pauliana (claw-back atau annulment of prefential transfer) dikenal berasal dari hukum Romawi yang berarti suatu upaya untuk membatalkan perbuatan hukum debitur yang dilakukan untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Misalnya, membatalkan perbuatan hukum debitur yang mengalihkan kepemilikan atas objek sengketa sehingga barang tersebut tak dapat disita ataupun dijaminkan oleh kreditur (Hadi Subhan: 2009). 

Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori dan Praktek)” juga menjabarkan actio pauliana sebagai suatu perbuatan hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. Pakar kepailitan, Sutan Remy Sjahdeini juga menjelaskan Actio Pauliana sebagai hak yang diberikan Undang-Undang kepada seorang kreditur dalam mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitur terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh debitur perbuatan tersebut merugikan kreditur (Sutan Remy Sjahdeini: 2016).

Terdapat 3 jenis upaya hukum actio pauliana yang dikenal dalam sistem hukum perdata

Kendati penerapannya sering terdengar dalam kasus-kasus kepailitan, perlu diketahui terdapat 3 jenis upaya hukum actio pauliana yang dikenal dalam sistem hukum perdata. Pertama, actio pauliana (umum) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata, Kedua, actio pauliana (dalam konteks waris) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1061 KUHPerdata, dan Ketiga, actio pauliana dalam kepailitan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24, Pasal 41 sampai Pasal 47 UU KPKPU. (Hadi Subhan: 2009). 

Hukumonline.com

Dalam konteks waris, actio pauliana dijabarkan Alvin Sulaiman sebagai suatu hak yang dimiliki para kreditur yang dirugikan oleh debitur yang menolak warisannya. Kreditur dalam mengajukan permohonan kepada hakim agar diberi kuasa untuk menerima warisan itu atas nama dan sebagai pengganti debitur. Terkait hal ini, penolakan warisan itu hanya boleh dibatalkan demi kepentingan para kreditur dan sampai sebesar piutang mereka, penolakan itu sekali-kali tidak batal untuk keuntungan ahli waris yang telah menolak warisan itu. 

Untuk case kepailitan, Hadi Shubhan dalam tulisannya menyebut bahwa ‘gugatan actio pauliana disyaratkan bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur’. Selain itu, perbuatan hukum tersebut merupakan perbuatan yang tidak wajib dilakukan debitur dan harus telah melakukan rechtshandeling atau perbuatan hukum itu sebelum pernyataan pailit diucapkan (Hadi Subhan: 2009).

Sedangkan dalam pandangan Sutan Remi Sjahdeini, beberapa kriteria yang setidaknya harus dipenuhi kurator bila hendak mengajukan gugatan actio pauliana (Sutan Remy Sjahdeini: 2004) dijabarkan sebagai berikut:

Hukumonline.com

Mantan Hakim Agung, Susanti Adi Nugroho juga pernah memaparkan, setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi kurator ketika akan mengajukan gugatan action pauliana. Ketiga syarat itu dijabarkan sebagai berikut, Pertama, ada perbuatan hukum yang dilakukan debitor merugikan kreditor, Kedua, perbuatan itu tidak wajib untuk dilakukan, dan Ketiga, dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pailit diucapkan.

Good Faith: Penentu Posisi Hukum Debitur & Pembeli Objek Perkara
Salah satu unsur terpenting yang menjadi patokan dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu gugatan actio pauliana yaitu unsur iktikad baik (good faith). Beban pembuktian atas unsur iktikad baik ini harus berhasil dibuktikan oleh debitur agar pengalihan objek sengketa yang dilakukannya tidak dibatalkan pengadilan. 

Setidaknya, perbuatan hukum tersebut betul terbukti merupakan perbuatan yang wajib dan harus dilakukan oleh debitur dengan iktikad baik (good faith) dan tidak dalam rangka untuk merugikan kreditur dengan melakukan perbuatan-perbuatan curang untuk memperdayai para krediturnya.

Salah satu unsur terpenting yang menjadi patokan dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu gugatan actio pauliana yaitu unsur iktikad baik

Tidak hanya melalui satu kali tahapan pengalihan saja, dalam kasus actio pauliana Pailit Batavia Air (Putusan No. 77/Pailit/2012/PN Niaga jkt. Pst) misalnya, YT (mantan Presdir Batavia Air) diketahui terlebih dahulu mengalihkan bangunan dan tanah kantor Batavia sejak 28 Desember 2012 lalu kepada RS, ponakan kandung YT, yang juga menjabat sebagai Direksi pada PT Putra Bandara Mas.

Dalam catatan Hukumonline, pengalihan ini dilakukan kembali oleh RS kepada HS tepat dua hari menjelang Batavia dinyatakan pailit, yaitu 30 Januari 2013 melalui Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tertanggal 28 Januari 2013. Kantor Batavia tersebut diperjanjikan akan dijual senilai Rp67,5 miliar. Namun, pelunasan baru dilakukan sebanyak Rp27,5 miliar dan sisanya akan dilakukan pada 18 Februari 2013.

Pembelaan tangkisan yang ketika itu sempat disampaikan kuasa hukum PT Putra Bandara Mas, Imran Nating adalah terkait fakta aset yang dibeli kliennya (PT Putra Bandara Mas) dari YT adalah murni aset pribadi YT, bukan aset milik PT Metro Batavia. Untuk itu, pembuktian adanya iktikad tidak baik dari para Tergugat dipandangnya menjadi kunci utama yang harus dibuktikan terlebih dahulu, utamanya terkait kapan dan darimana Batavia mendapatkan aset tersebut.

Alhasil, Putusan Majelis Pengadilan tingkat pertama (Putusan No. 2/PDT.Sus.Actio Pauliana /2014/PN.NIaga.Jkt.Pst) memang menolak gugatan actio pauliana yang dilayangkan kurator Turman panggabean dkk. Majelis berpendapat, bahwa objek perkara terbukti merupakan milik pribadi YT dan bukan merupakan aset PT. Metro Batavia (Batavia Air), sehingga penggugat tidak bisa memasukkan objek tersebut ke dalam Daftar Asset Batavia Air sebagai boedel pailit.

Kendati di tingkat PK (lihat Putusan No. 61PK/Pdt.Sus-pailit/2015) objek perkara berupa tanah dan bangunan di JL. Ir H. Juanda No. 15 itu berhasil ditarik ke dalam boedel, keterangan mantan Hakim Agung, Susanti Adi Nugroho yang ketika itu sempat menjadi ahli untuk kasus ini menarik untuk disimak. 

Sesuai catatan Hukumonline, ketika ditanya bagaimana jika aset yang diagunkan tersebut bukanlah aset perusahaan, melainkan aset pribadi direksi, tetap adakah hak direktur tersebut untuk melakukan penjualan demi melunasi utang perusahaan? Susanti menjawab, aset tersebut tetaplah menjadi aset pribadi direktur. Meskipun telah diagunkan kepada kreditor, pribadi direktur tersebut dapat menjual asetnya secara pribadi. Sebab, berdasarkan hukum perusahaan, perseroan terbatas memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dengan harta kekayaan pribadi direksinya.

Dan apabila terjadi pailit, untuk harta benda yang diagunkan ini, kurator tidak bisa langsung merampas harta-harta yang diagunkan. Kurator harus bijak untuk melihat terlebih dahulu kepemilikan harta yang diagunkan tersebut. Meskipun direktur telah mengagunkan harta pribadinya untuk kepentingan perusahaan, kurator tidak bisa menarik harta tersebut dan memasukkannya sebagai boedel pailit.

Intinya, Susanti berpandangan bahwa harta yang bisa masuk ke dalam boedel pailit perusahaan adalah harta kekayaan perusahaan pailit itu sendiri. Adapun penentuan yang bisa membedakan mana yang merupakan harta kekayaan perusahaan dengan harta kekayaan pribadi direksi adalah terlihat dari sertifikat kepemilikan dari harta kekayaan masing-masing pihak.

Tags:

Berita Terkait