Ada 9 Perubahan UU Ketenagakerjaan Lewat UU Cipta Kerja
Terbaru

Ada 9 Perubahan UU Ketenagakerjaan Lewat UU Cipta Kerja

Meliputi pelatihan kerja; penempatan tenaga kerja; penggunaan TKA; PKWT; alih daya; waktu kerja, waktu istirahat, dan cuti; upah; PHK; sanksi pidana dan administratif.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

UU Ketenagakerjaan melarang masa percobaan dalam mekanisme PKWT. Hal tersebut juga diatur dalam UU Cipta Kerja dan ditegaskan selain masa percobaan itu batal demi hukum, masa kerja tersebut tetap dihitung. Hal baru yang diatur UU Cipta Kerja yakni adanya kompensasi bagi buruh pada saat berakhirnya PKWT atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Kelima, alih daya (outosurcing). Desy menyebut UU Cipta Kerja menghapus sejumlah pasal alih daya yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan yakni soal pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja. UU Cipta Kerja mengatur lebih tegas soal tanggung jawab perusahaan alih daya terhadap perlindungan pekerja baik upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul. Ketentuan alih daya dalam UU Cipta Kerja mengadopsi putusan MK yang intinya pengalihan perlindungan hak pekerja jika terjadi pergantian perusahaan alih daya dan selama objek pekerjaannya tetap ada.

Keenam, waktu kerja, waktu istirahat, dan cuti. Menurut Desy perubahan yang paling signifikan dalam UU Cipta Kerja yakni jam kerja lembur yang tadinya dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. UU Cipta Kerja tidak mengatur soal waktu istirahat panjang dan diserahkan pengaturannya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Ketujuh, upah. UU Cipta Kerja masih mengatur upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota, tapi menghapus upah minimum sektoral. UU Cipta Kerja juga mengatur upah minimum untuk usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja. Soal struktur dan skala upah, UU Cipta Kerja mengatur pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dan melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Sebelumnya UU Ketenagakerjaan mengatur pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dan melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Delapan, PHK. Desy mengatakan UU Ketenagakerjaan mengatur PHK dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial. Tapi dalam UU Cipta Kerja pemberi kerja harus memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada pekerja dan/atau serikat pekerja. Jika pekerja tidak menolak pemberitahuan itu, maka PHK itu bisa dilakukan. Tapi jika pekerja menolak maka dilakukan perindingan bipartit dan jika tidak mencapai kesepakatan, maka berlanjut sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

UU Cipta Kerja juga mengatur alasan baru yang dapat digunakan untuk melakukan PHK yaitu penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). “PHK dapat terjadi karena alasan perusahaan dalam keadaan PKPU. Besaran kompensasi pesangon yang diterima pekerja dalam UU Cipta Kerja juga mengalami perubahan.”

Sembilan, sanksi pidana dan administratif. Desy mencatat ada beberapa perubahan terkait sanksi pidana dan administratif UU Cipta Kerja yang sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan. Misalnya, UU Ketenagakerjaan mengatur sanksi pidana berupa penjara 1 sampai 4 tahun atau denda Rp10 juta sampai Rp400 juta dikenakan terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan terkait mogok kerja.

“Tadinya (dalam UU Ketenagakerjaan) tidak boleh perusahaan melarang pekerja mogok kerja, tapi sekarang ketentuan pidana itu dihapus UU Cipta Kerja,” katanya.

Tags:

Berita Terkait