Ada Empat Pedoman Perilaku, Mana Yang Diikuti Hakim?
Utama

Ada Empat Pedoman Perilaku, Mana Yang Diikuti Hakim?

Sebenarnya pernah digagas pertemuan segitiga antara MA-MK-KY. Tapi pertemuan hanya dihadiri MK-KY. Salah satu hasil pertemuan saat itu adalah digunakannya Bangalore Principles sebagai pedoman penyusunan kode etik hakim konstitusi

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Ada Empat Pedoman Perilaku, Mana Yang Diikuti Hakim?
Hukumonline

 

Wajar Tapi Bakal Menyulitkan

Melihat dari aspek kewenangan, adanya empat KEP hakim tersebut dinilai Koordinator Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin sebagai hal yang wajar. Cuma karena yang dipersoalkan itu hakim yang jenisnya banyak mulai hakim agung, hakim konstitusi, dan sebagainya, maka itu harus distandarkan secara bersama. Sehingga untuk pemberlakuan dan pengawasannya tidak akan mengalami kesulitan, tukas Firmansyah.

 

Adanya kesulitan seperti disampaikan Firmansyah diamini Rifqi Sjarief Assegaf. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) ini memandang, beberapa PPH itu akan membingungkan kalangan hakim. Yang mana dari ke-empat PPH yang harus diikuti.

 

Menurut pandangan Firmansyah, ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh hakim maka yang menjadi acuan adalah standar umum sesuai dengan perkembangan di masyarakat. Kalau itu dirasakan kurang kita masih bisa mengadopsi prinsip universal bangalore principles dsb. Jadi saya kira itu bisa digunakan kalau ada kesenjangan diantara satu pengaturan PPH di MA, MK, KY dsb. Itu yang bisa dilakukan, ujar Firmansyah.

 

Alternatif berikutnya menurut Firmansyah tergantung dari siapa yang melakukan kesalahan. Misalnya, kalau hakim agung yang bersalah maka yang dijadikan acuan PPH MA, tapi kalau hakim konstitusi ikut PPH MK.

 

Sementara, Rifqi tidak sependapat dengan pandangan Firmansyah yang menggunakan Bangalore Principles sebagai jembatan jika ada kesenjangan antara PPH satu dengan yang lainnya. Hampir bisa dipastikan, ujar Rifqi, semua PPH yang dibuat tersebut mengacu pada Bangalore Principles.

 

Soal mana dari empat PPH yang bakal dianut kalangan hakim di Indonesia, Rifqi memprediksikan jika PPH yang dikeluarkan MA adalah PPH yang bakal dianut oleh sebagian besar hakim di Indonesia. Alasannya adalah soal kelembagaan. Memang, dengan adanya sistem satu atap MA, maka secara kelembagaan, hakim di seluruh Indonesia, kecuali hakim konstitusi berada dibawah MA. Baik secara administratif atau fungsional.

 

Hanya saja, PPH yang dikeluarkan oleh MA ini menurut Firmansyah mempunyai beberapa kelemahan. Salah satunya adalah kelonggaran-kelonggaran yang diberikan bagi kalangan hakim untuk menerima imbalan, misalnya saja dari advokat maupun pemerintah daerah (Pemda).

 

Firmansyah khawatir, PPH MA ini akan menjadi resistensi pemberantasan korupsi di Indonesia dengan alasan banyak pejabat Pemda yang diduga keras melakukan tindakan korupsi. Untuk itu saya menghimbau agar kalangan hakim menolak PPH memalukan yang dikeluarkan MA tersebut, tukas Firmansyah.   

 

Perihal adanya kesulitan jika ada beberapa PPH ini diakui juga oleh Busyro. Mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini melihat empat PPH ini akan menimbulkan masalah kelak dikemudian hari. Jalan keluar yang terbaik menurut Busyro adalah dibuat standar bersama PPH. Hambatan itu tidak ada kalau ketiga lembaga ini punya agenda duduk bersama untuk memahamkan mengenai kode etik itu. Yang ideal itu terbuka dialog, termasuk tentang mekanisme soal penegakan peraturannya, tutur Busyro.

 

MA Juga Menyadari

Segendang sepenarian, apa yang dirasakan kalangan masyarakat dan juga KY ini dirasakan juga oleh MA. Ditemui di ruang kerjanya, Djoko Sarwoko menyatakan, Ya seyogyanya ketiga lembaga ini bertemu untuk membahas soal PPH. Soal kapan hal tersebut terjadi, Djoko mengaku tidak tahu.

 

Meski demikian, Djoko optimis PPH yang ada saat ini tidak mempunyai perbedaan yang mencolok. Soal PPH mana yang akan berlaku dan diikuti, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Tengah ini menyatakan jika hal tersebut kembali ke lembaga masing-masing.

 

Saat ditanya tentang keberlakuan PPH yang dimiliki Ikahi dengan PPH MA, Djoko yang juga Ketua I Ikahi ini menyatakan, Ikahi tidak punya kewenangan untuk memecat anggotanya. Soal sanksi, Ikahi menunggu MA.

 

Soal pertemuan segitiga MA-MK-KY, dari catatan hukumonline, sebenarnya upaya untuk duduk bersama antara MA, MK dan KY ini sempat diupayakan pada Agustus 2005. Sayang dalam rencana pertemuan segitiga antara lembaga pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia itu, MA tidak datang. Salah satu hasil dari pertemuan yang dihadiri MK dan KY adalah penyusunan kode etik hakim MK yang berpedoman pada Bangalore Principles of Judicial Conduct.

 

Bangalore Principles of Judicial Conduct adalah prinsip-prinsip yang disusun oleh para hakim dari beberapa negara dunia sebagai standar kode etik hakim. Prinsip-prinsip ini didisain untuk memberikan panduan untuk menyusun kode etik para hakim di seluruh dunia. Nama Bangalore merujuk pada sebuah kota di India tempat prinsip-prinsip ini dirumuskan.

 

Sejatinya, Kode Etik Profesi (KEP) merupakan inti yang melekat pada suatu profesi, yaitu perilaku yang memuat nilai etika dan moral. KEP merupakan sistem etika bagi profesional yang dirumuskan secara konkret yang secara harfiah berarti etika yang ditulis. Setiap profesi termasuk hakim menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman.

 

Etika merupakan norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan atau masyarakat profesi tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk. Misalnya  profesi dokter mempunyai KEP kedokteran yang dirumuskan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Memang, tidak semua profesi dinaungi oleh satu wadah tunggal. Sehingga, tidak semua profesi mempunyai satu KEP. Namun, pertanyaan yang timbul adalah, bagaimana jika ada lebih dari satu KEP untuk profesi penegak hukum yang notabene pejabat negara, yakni hakim?

 

Seperti diketahui, Kamis (22/6), Mahkamah Agung (MA) meluncurkan Pedoman Perilaku Hakim (PPH) yang diakui oleh Ketua MA, Bagir Manan sebagai kode etik perilaku hakim. Dengan diluncurkannya PPH oleh MA ini, maka saat ini terdapat tiga pedoman perilaku untuk hakim (PPH). Tiga PPH tersebut dikeluarkan oleh Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), Mahkamah Konstitusi (MK) dan MA.

 

Menariknya, Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas eksternal kekuasaan kehakiman yang notabene punya kewenangan untuk memberikan sanksi kepada hakim yang melanggar perilaku juga tengah menyusun PPH. Informasi yang diterima hukumonline dari Ketua KY, Busyro Muqoddas, PPH tersebut sudah hampir rampung dan siap diluncurkan. Jika benar apa yang disampaikan Busyro, maka akan ada empat PPH di Indonesia.

 

UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial

Pasal 13

Komisi Yudisial mempunyai wewenang:

a.             mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan

b.             menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

 

Tags: