Ada Potensi Cacat Formil dalam Pembentukan RUU PPSK
Terbaru

Ada Potensi Cacat Formil dalam Pembentukan RUU PPSK

Karena tidak memenuhi tiga aspek.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Padahal, kata Defiyan, banyak pasal dan ayat yang bakal memasukkan Indonesia dalam lubang jebakan terkait pengaturan bank emas yakni bank yang melakukan transaksi pembelian dan penjualan logam mulia. Termasuk ekspor impor hingga proses penyimpanannya atau bullion bank di bawah pengawasan OJK, posisi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang banyak ditentang publik, serta penerimaan devisa hasil ekspor oleh LPEI. Ketiga, waktu pembahasan sebuah RUU.

“Sangat aneh dan janggal, RUU PPSK yang disepakati oleh pemerintah dan DPR itu pembahasannya hanya berlangsung kurang dari satu bulan saja, dan publik tidak tahu menahu sama sekali alias dibuat buta,” katanya.

Tak hanya itu, lanjut Defiyan, apabila terjadi kebuntuan, Menkeu dapat memutuskan sendiri. Karenanya, Menkeu berpotensi ‘merancang’ krisi ekonomi dan moneter dengan kewenangan besar dalam penentuan sebuah bank berdampak sistemik atau sebaliknya. Termasuk, adanya upaya penghapusan Pasal 47 huruf c dalam substansi UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI) yakni terkait adanya larangan anggota Dewan Gubernur alias Deputi BI untuk menjadi pengurus atau anggota partai politik.

“Jika materi akomodasi kepentingan kewenangan Menkeu dan penghapusan Pasal 47 huruf c disepakati, maka jelas telah terjadi kongkalikong antara kedua belah pihak.”

Defiyan melanjutkan dari aspek waktu, pembahasan RUU hanya berlangsung rentang waktu 22 September 2022 sampai 10 November 2022. Dengan kata lain, hanya terbilang 19 hari efektif pembahasan RUU PPSK yang menggunakan pendekatan omnibus law. Dia pun meminta presiden agar tidak melakukan tindakan inkonstitusional seharusnya menunda pengesahan RUU PPSK yang tidak memenuhi prinsip-prinsip proses penyusunan RUU sesuai UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahkan cacat konstitusional.

“Proses penyusunannya harus diulang kembali agar memenuhi proses formil dan materiil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang layak dan berkualitas,” katanya.

Sebelumnya, pemerintah dan Komisi XI menyetujui RUU PPSK agar diambil keputusan tingkat dua dalam rapat paripurna. Kendati seluruh fraksi memberikan persetujuan, tapi ada pula yang memberikan serangkaian catatan. Dalam RUU PPSK yang bakal disahkan ini mengatur 15 poin besar. Mulai kelembagaan dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka penguatan jaringan sistem keuangan, pengembangan dan penguatan industri sektor keuangan, hingga reformasi penegakan hukum sektor keuangan.

Sementara Menkeu Sri Mulyani menilai, RUU PPSK menjadi penting dalam menjawab berbagai tantangan masa depan yakni perubahan iklim dan potensi disrupsi dari perkembangan teknologi terhadap aktivitas perekonomian. Menurutnya, RUU PPSK menjadi bagian dalam mereformasi dan menopang pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan merata.

“Tanpa reformasi, sektor keuangan Indonesia akan terus tergantung pada modal dari luar negeri dalam memenuhi kebutuhan investasi dan aktivitas ekonominya. Oleh karena itu, RUU ini sangat bermakna dalam memperkokoh kemandirian ekonomi bangsa,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait