Advokat Ini Kritik Niat Pemerintah Susun Pedoman Interpretasi UU ITE
Berita

Advokat Ini Kritik Niat Pemerintah Susun Pedoman Interpretasi UU ITE

Pedoman Interpretasi UU ITE bukan merupakan norma hukum. Langkah paling tepat adalah Revisi UU ITE terhadap pasal-pasal yang bermasalah sesuai mekanisme perubahan UU demi kepastian hukum.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Advokat David ML Tobing. Foto: RES
Advokat David ML Tobing. Foto: RES

Praktisi Hukum David ML Tobing mempertanyakan niatan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) yang ingin membuat Pedoman Intepretasi Resmi UU No.19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa (16/2/2021), Kominfo mendukung Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian/Lembaga terkait membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas.

"Tidak ada (istlah, red) ‘pedoman interpretasi hukum’. Sebagai praktisi hukum saya menyayangkan niatan tersebut karena pedoman tersebut bukan merupakan norma hukum, sehingga apabila tetap dibuat sudah pasti tidak mengikat karena bukan peraturan perundang- perundangan,” ujar David Tobing dalam keterangannya, Kamis (18/2/2021). (Baca Juga: Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE)

David menilai seharusnya yang dilakukan meninjau kembali pengaturan UU ITE berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan mulai dari UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan seterusnya. Selain hierarki, interpretasi pada batang tubuh norma dalam UU ITE tercantum dalam Penjelasan.

Dia menerangkan Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentukan peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.

“Penjelasan sebagai sarana memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud,” kata David Tobing.

Untuk itu, David meminta pembentuk UU harus mempertegas Penjelasan dari pasal-pasal yang dinilai bermasalah bagi publik melalui revisi UU ITE, sehingga tidak terjadi multitafsir dalam implementasi oleh para penegak hukum.

Lebih jauh, David mengingatkan dalam teori hukum dikenal beberapa istilah "metode interpretasi hukum", seperti metode interpretasi hermaunetik, gramatikal, historis, ekstensif, dan lain-lain. Pertanyaannya, metode interpretasi (penafsiran) yang mana yang mau dipakai? Apakah semuanya mau dipakai dalam pedoman?

Tags:

Berita Terkait