Advokat Ini Sebut UU MK Tutup Kesempatan Jadi Hakim Konstitusi
Berita

Advokat Ini Sebut UU MK Tutup Kesempatan Jadi Hakim Konstitusi

Majelis Panel meminta permohonan dielaborasi lebih dalam agar kedudukan hukum, alasan, petitumnya lebih jelas.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit
Gedung MK. Foto. RES
Gedung MK. Foto. RES

Sidang perdana pengujian UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) digelar, Selasa (10/11/2020) kemarin. Permohonan ini diajukan oleh Priyanto yang berprofesi sebagai advokat. Adapun objek permohonan Priyanto yaitu pengujian materil Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945).

Pasal 87 huruf a UU MK terbaru ini menyebutkan, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”

Kemudian Pasal 87 huruf b UU MK menyatakan, “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.”

Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK itu. Pemohon bermaksud untuk menjadi Hakim Konstitusi mengingat Pemohon memenuhi seluruh kualifikasi yang ditentukan dalam Pasal 15 UU MK, antara lain telah berusia 55 tahun; memiliki ijazah doktor dengan sarjana strata satu di bidang hukum; telah berpengalaman kerja di bidang hukum lebih dari 15 tahun; serta memiliki NPWP.

Menurut Pemohon, Pasal 87 huruf b UU MK telah menimbulkan kerugian konstitusional yang nyata terhadap Pemohon karena Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi syarat mengenai batas usia menjadi “dianggap memenuhi syarat”, sehingga akan terus menjabat selama keseluruhan masa tugasnya 15 tahun. “Dengan adanya pasal itu tidak akan dilakukan pemilihan ulang terhadap Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi persyaratan usia minimal (55 tahun) yang ditentukan dalam Pasal 15 UU MK itu,” ujar Priyanto sebagaimana dikutip laman MK.   

Tak hanya bermaksud untuk menjadi Hakim Konstitusi, Pemohon juga berharap menjadi Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Tapi menurut Pemohon, Pasal 87 huruf a UU MK secara potensial menghalangi hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum. (Baca Juga: Dosen Uji Formil UU MK dan Persoalkan Syarat Usia Hakim Konstitusi)

Untuk itu, Pemohon meminta MK agar menyatakan Pasal 87 huruf b UU MK inkonstitusional bersyarat. Artinya, menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hakim Konstitusi yang sedang menjabat harus telah berusia 55 tahun”. Sebab, Pasal 15 UU UU MK menyebutkan syarat mengenai usia minimal menjadi Hakim Konstitusi yang semula 47 tahun dan maksimal 65 tahun diubah menjadi minimal 55 tahun tanpa usia maksimal dimana persyaratan itu berlaku sejak 29 September 2020 atau tanggal diundangkannya UU MK.

Menurut Pemohon, seharusnya Pasal 87 huruf b selengkapnya berbunyi, “Hakim Konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan meneruskan jabatannya apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 15 Undang-Undang ini dan mengakhiri tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.” 

Selain itu, Pasal 87 huruf b UU MK yang “menganggap Hakim Konstitusi yang sedang menjabat memenuhi syarat” telah mempermanenkan Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi syarat untuk menjalankan jabatannya sampai dengan 15 tahun. Hal ini telah menutup hak konstitusional Pemohon memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan. 

“Dengan mempermanenkan hal tersebut, tidak akan ada pemilihan ulang untuk mengganti Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 7 Tahun 2020. Tidak adanya pemilihan ulang itu menutup kesempatan bagi Pemohon untuk dapat mengikuti proses pemilihan Hakim Konstitusi. Karena itu, berlakunya Pasal 87 huruf b UU 7/2020 telah merugikan hak konstitusionalitas Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,” ujar salah seorang kuasa Pemohon, Sidik.  

Pemohon juga beranggapan, bunyi Pasal 87 huruf a UU MK bertentangan dengan hak konstitusionalitas Pemohon sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu hak atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum. Karena itu, materi muatan Pasal 87 huruf a UU MK haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Hakim Konstitusi yang sedang menjabat Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi mengakhiri jabatannya sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi apabila Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi telah diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang ini”.

Elaborasi lebih dalam 

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Manahan MP Sitompul dalam nasihatnya mencermati kedudukan dan alasan permohonan pemohon. “Dalam kedudukan hukum, saya melihat telah diuraikan Putusan MK No. 6 Tahun 2005, Putusan MK No. 11 Tahun 2007, dan sudah menguraikan poin a, b, c, d, e, judul-judul, kemudian kepentingan. Menurut kami, di sini adalah kerugian konstitusional, bukan kepentingan,” kata Manahan MP Sitompul.

Mengenai kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 87 huruf b UU No. 7 Tahun 2020 sudah cukup diuraikan oleh pemohon. “Kemudian dalam alasan permohonan, itu perlu nanti dielaborasi lebih mendalam mengenai soal bertentangan antara pasal-pasal yang dijadikan pengujian oleh pemohon,” saran Manahan. 

Anggota Majelis Panel lain, Daniel Yusmic P. Foekh menyoroti petitum pemohon. “Dalam petitum coba dicermati, kira-kira kalau permohonan petitum pertama itu dampaknya apa ya? Coba dipikirkan! Karena kalau harus memenuhi Pasal 15, apakah seluruh hakim yang ada sekarang ini sudah memenuhi Pasal 15 atau tidak? Sebab, kalau norma ini nanti hilang, bukankah berpotensi mengakibatkan kerugian konstitusional bagi hakim yang ada? Ini coba nanti dipertimbangkan,” saran dia.  

“Termasuk soal jabatan ketua dan wakil ketua, coba dielaborasi lebih jauh. Karena Pemohon kan belum menjadi hakim konstitusi. Pemohon ini juga belum ada bukti bahwa pernah mengajukan diri jadi hakim konstitusi, tentu ini coba dielaborasi supaya bisa meyakinkan Mahkamah terkait dengan petitum ini,” pinta Daniel.

Ketua Majelis Panel Wahiduddin Adams juga menanggapi kedudukan hukum pemohon. “Pemohon mendalilkan suatu hal yang cukup unik, ya, pada butir 30 sampai 35 mengenai pengandaian pemohon sebagai ketua dan wakil ketua. Ini menurut penalaran yang wajar, ya apakah otomatis begitu? Karena Saudara menganggap, kalau jadi hakim konstitusi, ya menginginkan semua menjadi ketua, wakil ketua? Mengandaikan atau penalaran yang wajar. Nah, coba dudukkan penalarannya, ya. Apakah perlu diberikan narasi yang begitu, seolah-olah ada logika itu?”

 

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait