Advokat Rentan Dijerat Suap
Utama

Advokat Rentan Dijerat Suap

Kode Etik Advokat Indonesia harus diperbaiki dengan memasukan prinsip anti korupsi di dalamnya.

Oleh:
Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Advokat rentan dijerat suap. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Advokat rentan dijerat suap. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Profesi advokat masih menjadi profesi favorit bagi para lulusan fakultas hukum. Uang berlimpah yang dijanjikan dari profesi ini menjadi daya tariknya. Apalagi, bila anda menjadi advokat non-litigasi yang menjadi konsultan perusahaan-perusahaan besar, gelimangan dollar akan mengalir ke kocek anda. Namun, profesi ini bukan tanpa resiko. Salah bersikap, anda bisa masuk ke bui.

 

Lawyer asal Hongkong Richard Tollen menuturkan bahwa profesi advokat atau konsultan hukum sangat rentan terkena tindak pidana penyuapan. Alasannya, karena advokat –non litigasi- yang menghubungkan antara klien (investor) dengan pejabat pemerintah. “Pengacara sangat rentan bertindak sebagai penyuap,” tuturnya dalam Workshop ‘Risks and Threats of Corruption and The Legal Profession’ di Jakarta, Kamis (12/5).

 

Kerentanan ini tentu bukan hanya terhadap advokat non litigasi, melainkan juga advokat litigasi yang kerap berurusan dengan penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim. “Karenanya, advokat harus memahami aturan korupsi yang berlaku secara nasional maupun internasional,” jelas pria yang menjadi Partner pada Mayer Brown JSM ini.  

 

Richard mencontohkan undang-undang anti korupsi yang berlaku di Amerika Serikat, US Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) dan Inggris, UK Bribery Act. “Dua undang-undang ini bisa menjerat meski pun anda berasal dari luar negera ini sepanjang anda menjadi lawyer dari klien yang berasal dari AS dan Inggris,” jelasnya.

 

Karenanya, meski advokat Indonesia sudah terbiasa dengan kebiasaan suap ‘kecil-kecilan’ yang terjadi di sini, bukan berarti mereka tidak bisa terjerat hukum. “Mereka bisa tetap dinilai melakukan tindak pidana berdasarkan hukum di luar negeri atau hukum yang mengikat kliennya,” tuturnya. Artinya, risiko advokat terhadap suap sama dengan risiko kliennya itu.

 

Nicola Bonucci, Direktor of Legal Affairs Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) di Paris, menuturkan sudah banyak contoh kasus dimana kejahatan suap dikenakan kepada lawyer secara lintas negara. “Salah satunya adalah advokat Inggris yang pernah diekstradisi ke Amerika Serikat karena membantu penyuapan untuk kliennya yang merupakan perusahaan asal Amerika Serikat,” jelasnya.

 

Nicola juga menyarankan perlunya penguatan lawfirm agar para advokat bisa bertindak melawan suap atau korupsi. Setidaknya, ia mencatat ada empat elemen. Pertama, komitmen yang kuat dari para senior partner di lawfirm tersebut. Kedua, kebijakan yang jelas dan bisa dipahami oleh setiap stafnya. “Kebijakan internal ini harus dimengerti dengan mudah,” tuturnya.

 

Ketiga, menciptakan kode etik yang kokoh untuk para staf dan lawyer. Keempat, pelatihan yang efektif dan berkelanjutan mengenai anti-korupsi atau anti-suap. “Jangan hanya advokat yang diberikan pelatihan ini. Paralegal juga harus mendapat pelatihan yang sama. Seringkali paralegal terlewatkan,” ujar Richard.

 

Kode Etik   

Advokat Senior Melli Darsa mengakui bahwa masukan dari para advokat asing cukup berharga. Pasalnya, selama ini, banyak advokat di Indonesia kerap memandang biasa perilaku suap ‘kecil-kecilan’. “Ternyata advokat juga bisa dikenakan tanggung jawab secara hukum menurut hukum AS dan Inggris. Kita tak bisa berlindung di belakang klien,” tuturnya.

 

Melli mengusulkan agar kode etik advokat Indonesia yang ada selama ini berlaku diperbaiki lagi. Soalnya, ia menilai kode etik yang ada saat ini masih bersifat umum. “Seharusnya anti korupsi menjadi prinsip dasar dalam kode etik advokat,” ujar wanita yang pernah mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK ini.

 

Ketua Tekad Indonesia (Working Committee of Indonesian Advocates) Juniver Girsang menyadari dengan adanya hukum luar negeri yang bisa menjerat advokat, maka advokat Indonesia tidak bisa lagi berlindung di balik hak imunitas dalam UU Advokat.

 

“Bila menangani klien asing, kita tentu harus hati-hati. Karena kita bisa dijerat dengan hukum yang berlaku di negaranya. Kita bisa diekstradisi, tentunya bila negara itu memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia,” pungkasnya.

Tags: