Ahli: Bukti Elektronik Tidak Bisa Dibatasi UU
Berita

Ahli: Bukti Elektronik Tidak Bisa Dibatasi UU

Dampak frasa ‘permufakatan jahat’ dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tipikor positif dan tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi warga negara.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Pidana Mudzakkir. Foto: Humas MK
Pakar Hukum Pidana Mudzakkir. Foto: Humas MK
Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakkir menilai barang bukti atau alat bukti elektronik tidak bisa dibatasi atau dipersyaratkan peruntukkannya melalui peraturan perundang-undangan. Yang terpenting, barang bukti dan alat bukti tergantung orisinalitas dan otentisitasnya dalam rangka kepentingan pembuktian perkara pidana, perdata, tata usaha negara, atau bidang hukum lain.

“Penggunaan teknologi elektronik bersifat netral, bisa menjadi barang bukti dan berubah menjadi alat bukti tergantung perbuatan (pidana) yang menyertainya,” ujar Mudzakkir saat memberi keterangan sebagai ahli di sidang lanjutan pengujian UU ITE, KUHP, dan UU Pemberantasan Tipikor yang diajukan mantan Ketua DPR Setya Novanto di Mahkamah Konstitusi, Kamis (19/5).      

Mudzakkir menegaskan dewasa ini penggunaan teknologi elektronik tidak bisa dibendung karena perkembangan teknologi informasi sudah menjangkau semua aspek kehidupan. Namun, penggunaan dan sasarannya dibatasi etika pergaulan bermasyarakat yang bisa berakibat suatu perbuatan dicela masyarakat.

“Karena itu, tren kejahatan elektronik (cyber crime) tidak dapat dijangkau secara maksimal dengan alat bukti yang disebut Pasal 184 KUHAP yakni keterangan saksi, ahli, terdakwa, petunjuk, surat,” paparnya.               

Menurut ahli dari pihak pemerintah ini, pembatasan barang bukti atau alat bukti elektronik dalam undang-undang justru bertentangan dengan asas penyelenggaraan peradilan pidana yang dijamin konstitusi. Sebab, proses peradilan seringkali dibutuhkan alat bukti kuat dan lengkap guna menjamin kepastian hukum yang adil berdasarkan alat-alat bukti yang ditetapkan undang-undang.

Dengan begitu, dia berpandangan mensyaratkan barang bukti atau alat bukti elektronik yang sah dalam undang-undang seperti diharapkan Pemohon menjadi tidak relevan. Apalagi, faktanya modus operandi kejahatan menggunakan teknologi elektronik semakin canggih. Hal ini justru dapat memperlemah proses penegakan hukum.

Ahli Pemerintah lain, Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Jakarta, Suparji menilai frasa “pemufakatan jahat” upaya luar biasa untuk mencegah kerugian negara. Menurutnya, dampak frasa ‘permufakatan jahat’ dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tipikor positif dan sama sekali tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi warga negara.  

“Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor ini juga berlaku umum dan tidak diskriminatif, sehingga argumentasi Pemohon tidaklah konstitusional, objektif, rasional, proporsional,” kata Suparji.           
Lewat tim kuasa hukumnya, Setya Novanto (Setnov) mempersoalkan Pasal 5 ayat (1), (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Pemberantasan Tipikor terkait informasi, dokumen elektronik, rekaman sebagai alat bukti dalam proses hukum. Pemohon menganggap alat bukti berupa dokumen yang terekam secara elektronik tidak bisa dijadikan alat bukti apabila diperoleh secara tidak sah.

Menurutnya, perekaman tanpa izin/persetujuan orang yang berbicara dalam rekaman atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak-pihak yang terlibat jelas melanggar hak privasi orang yang pembicaraannya direkam. Seperti hasil rekaman yang dilakukan mantan Dirut PT Freeport Indonesia Ma’roef Sjamsudin kepada pemohon. Karena itu, seharusnya bukti rekaman itu tidak dapat dijadikan alat bukti karena diperoleh secara ilegal.

Setnov pun mempersoalkan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor khususnya menyangkut makna frasa ‘permufakatan jahat’. Sebab, frasa “permufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP yang dijadikan acuan UU Pemberantasan Tipikor tidak jelas dan menimbulkan beragam penafsiran yang potensial melanggar hak konstitusional dalam penegakan hukum.

Seperti dialami Pemohon yang populer dengan sebutan “Papa Minta Saham” PT Freeport Indonesia. Sejak Setnov mundur sebagai ketua DPR saat diadili Majelis Kehormatan Dewan (MKD), Jampidsus pada Kejagung menyelidiki dugaan tipikor terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Setnov dan beberapa pihak lain telah diselidik yang diduga melakukan permufakatan jahat atau mencoba melakukan korupsi yang dijerat Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor.

Bagi Pemohon, pengertian “pemufakatan jahat” pada Pasal 88 KUHP hanya berlaku dalam tindak pidana umum. Namun, ketika dihubungkan degan pemufakatan jahat dalam korupsi harus menyaratkan kualitas dan kapasitas tertentu. Sebab, dari sejumlah pemberitaan media disebutkan Direktur Penyelidikan pada Jampidsus memandang Setnov terlibat dalam pemufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT  Freeport Indonesia.

Menurutnya, Setnov tidak pada posisi berwenang dan berkapasitas memperpanjang kontrak PT Freeport. Jaksa Agung telah menyederhanakan unsur “dua orang atau lebih yang bersepakat” tanpa memahami lebih jauh apakah “dua orang atau lebih” itu memiliki kapasitas dan kualitas melakukan tindak pidana dan apakah kesepakatan itu ditujukan melakukan tindak pidana.

Karena itu, pemohon meminta frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP yang kemudian diadopsi oleh Pasal 15 UU Tipikor dimaknai “dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih mempunyai kualitas dan kapasitas bersepakat melakukan tindak pidana” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tags:

Berita Terkait