Dalam Kasus Setnov, Permufakatan Jahat Perlu Dibuktikan dengan Jelas
Berita

Dalam Kasus Setnov, Permufakatan Jahat Perlu Dibuktikan dengan Jelas

Mesti terdapat kesepakatan dari dua orang atau lebih.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: Setya Novanto. Foto: RES
Foto: Setya Novanto. Foto: RES
Kejaksaan Agung (Kejagung) khususnya di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana (Jampidsus) dapat melakukan pemanggilan terhadap anggota dewan Setya Novanto tanpa meminta izin dari presiden. Sepanjang masih di level penyelidikan, pemeriksaan dapat dilakukan untuk dimintakan keterangan dalam rangka mencari dua alat bukti yang cukup terhadap perkara.

“Tidak perlu izin presiden,” ujar Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon di Gedung DPR, Kamis (7/1).

Ia menilai penyelidikan masih mengumpulkan dua alat bukti dalam rangka membuat terang benderang perkara. Setya Novanto diselidik dalam kasus dugaan ‘papa minta saham’ PT Freeport Indonesia. Pihak Kejagung menengarai adanya dugaan permufakatan jahat. Makanya, Jampidsus bakal menjerat Setnov dengan Pasal 15 UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Fadli yang notabene menjabat Wakil Ketua DPR itu mengatakan, permufakatan jahat perlu dibuktikan secara jelas. Namun, bila tidak dapat dibuktikan permufakatan jahat, Kejagung diminta tidak memaksakan diri. Yang pasti, sepanjang Kejagung memiliki dua alat bukti yang cukup, Fadli mempersilakan memproses Setnov yang kini menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.

“Permufakatan jahat jangan dipaksakan diri. Sebaiknya penyidikan silakan izin presiden, kami pro penegakan hukum,” kata politisi Partai Gerindra itu.

Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan, pubik mesti mendorong Sekretariat Negara (Setneg) atas nama presiden memberikan izin atau sebaliknya. Menurutnya, Pasal 245 UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menyatakan  permintah meminta persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sepanjang ditingkat penyidikan. Namun, bila diduga melakukan tindak pidana khusus seperti korupsi, maka tidak diperlukan permintaan izin untuk melakukan pemeriksaan.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu melanjutkan, sebelum Setnov mundur dari jabatan Ketua DPR, Kejagung melakukan tekanan. Namun, setelah Setnov mundur dari kursi Ketua DPR, Kejagung terkesan melempem. Mestinya, Kejagung memproses dengan cepat untuk kemudian melakukan pemeriksaan terhadap pengusaha Muhammad Riza Chalid. “Ini terkesan adem ayem, tapi publik ingin speed,” katanya.  

Pasal 245 ayat (1) UU MD3 menyatakan, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”. 

Sedangkan ayat (3) menyatakan,“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Dosen Fakultas Hukum Universitas AL-Azhar Indonesia (UAI), Rahmat Bagja,  berpandangan Kejagung diharapkan tidak meningkatkan perkara yang sulit pembuktiannya tanpa diimbangi dengan alat bukti yang cukup. Boleh jadi, Kejagung bakal dipraperadilkan seperti kasus-kasu lainnya. Ironisnya Kejagung tumbang.

“Kejagung jangan dipaksa menangani kasus tanpa bukti yang cukup,” katanya.

Menurutnya, dalam kasus Setnov, Kejagung dapat memproses perkara papa minta saham sepanjang memiliki alat bukti yang cukup. Termasuk, dapat membuktikan adanya permufakatan jahat terhadap Setnov. “Kasus Setnov kalau tidak cukup bukti jangan dipaksakan, nanti malah membuat malu kejaksaan sendiri. Iktui KPK kalau sudah ada tiga alat bukti dinaikan ke penyidikan,” ujarnya.

Mesti ada kesepakatan
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Prof Andi Hamzah, berpandangan permufakatan jahat mesti terdapat kesepakatan dari dua orang atau lebih untuk melakukan kejahatan. Sedangkan dalam KUHP membatasi permufakatan jahat terhadap tiga bentuk  kejahatan. Pertama, upaya pembunuhan terhadap presiden. Kedua, upaya melakukan pemberontakan.

Ketiga, upaya menggulingkan pemerintahan yang sah. Sedangkan di luar KUHP terhadap dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mengatur permufakatan jahat untuk melakukan korupsi. “Misalnya, untuk melakukan suap mesti terdapat dua pihak. Pihak penyuap dan yang disupa. Kemudian bermufakat korupsi, dan bermufakat untuk memeras,” ujarnya.

Menurutnya, terhadap beberapa tindak kejahatan mesti adanya unsur tindak pidana permufakatan jahat. Namun Andi menegaskan hal itu tidak hanya pada kasus Setnov semata. Namun juga semua kasus. Bila tidak ada unsur permufakatan jahat terhadap kasus korupsi, maka tidak ada tindak pidananya. Kendati demikian, Andi enggan mengomentasi perkara yang menjerat Setnon.

“Saya tidak bisa bilang ada atau tidak (unsur permufakatan jahat, red). Silakan tafsirkan sendiri,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait