Ahli: Larangan Privatisasi Tidak Berlaku Pasca Amandemen UUD 1945
Terbaru

Ahli: Larangan Privatisasi Tidak Berlaku Pasca Amandemen UUD 1945

Yang terpenting dalam penguasaan sumber daya alam dapat memberikan kemanfaatan bagi rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat baik dilakukan pemerintah maupun privat. PT Pertamina adalah pelaku usaha yang berkedudukan sama dengan kontraktor migas lain. Hanya saja, kepemillikan modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN.

Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sejak amandemen UUD 1945, larangan privatisasi sudah tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi, hak menguasai negara tetap berlaku sesuai Pasal 33 UUD 1945, sehingga makna hak menguasai negara bagi pemerintah lebih tertuju hanya sebagai regulator. Sedangkan fungsi sebagai operator dapat diprivatisasikan.

Demikian keterangan yang disampaikam Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UUI) Tri Hayati selaku Ahli yang dihadirkan PT Pertamina sebagai Pihak Terkait dalam sidang ke-10 pengujian UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN).  

“Sebelum amandemen adanya larangan privatisasi untuk sektor yang menyangkut kepentingan umum dan hajat hidup orang banyak, berarti peran Pemerintah selaku regulator dan operator, pelaku usaha melalui BUMN Pertamina. Sesudah amandemen, larangan privatisasi sudah tidak diberlakukan lagi,” kata Tri Hayati dalam sidang perkara No. 61/PUU-XVIII/2020 di Ruang Sidang MK, Senin (7/6/2021) seperti dikutip laman MK.

Ahli Hukum Pertambangan UI ini melanjutkan pasca amandemen Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, negara adalah pihak yang berperan sebagai pemegang hak penguasaan dan pemerintah sebagai pengelola serta rakyat sebagai pemilik sumber daya alam. Peran pemerintah dalam menjalankan hak menguasai negara, lebih tertuju sebagai pembuat kebijakan guna mengelola dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Indonesia.

“Yang terpenting dalam penguasaan sumber daya alam dapat memberikan kemanfaatan bagi rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat baik dilakukan oleh pemerintah maupun privat. Hal yang paling utama kegiatan pengusahaan sumber daya alam tetap di bawah kendali pemerintah selaku pemegang hak penguasaan negara melalui berbagai peraturan perundang-undangan dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,” kata Tri.  

Tri memaparkan politik hukum pengelolaan migas di era Reformasi telah mengubah paradigma privatisasi sektor sumber daya alam. Sejatinya, evaluasi dan perubahan terhadap UU No. 44 Tahun 1960, UU No. 8 Tahun 1971 yang menghasilkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah menyatakan hak menguasai negara terhadap pengelolaan sumber daya alam tidak lagi di tangan Pertamina.

“Penguasaan negara diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dan selanjutnya Pemerintah membentuk badan pelaksana,” lanjutnya.  

Dia melihat politik hukum UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengembalikan hak menguasai negara kepada Pemerintah sebagai penerima mandat rakyat dalam bentuk kuasa pertambangan. Tri berpendapat PT Pertamina tak lain adalah pelaku usaha yang berkedudukan sama dengan kontraktor migas lainnya. Hanya saja, kepemillikan modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN.

“Pertamina saat ini merupakan entitas bisnis seperti kontraktor pada umumnya, namun modalnya berasal dari negara. Kalaupun dilakukan privatisasi terhadap tubuh Pertamina, tidak akan mendegradasi hak menguasai negara. Sebab, PT Pertamina bukan lagi sebagai pemegang kuasa pertambangan seperti saat berlakunya UU No. 8 Tahun 1971,” kata Tri yang hadir secara virtual.

Tri menjelaskan dengan peran pemerintah sebagai pelaku usaha atau operator, maka terbuka peluang untuk ditiadakannya larangan privatisasi. Namun dalam peran tersebut, pemerintah tetap melakukan kegiatan yang bersifat nonprofit, sedangkan kegiatan yang berorientasi profit dapat diserahkan pada perusahaan privat.

Sebelumnya, permohonan ini diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) terkait aturan mengenai privatisasi BUMN sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dinilai bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Dalam sidang pendahuluan, Pemohon menyatakan PT Pertamina (Persero) merupakan perusahaan persero yang berdasarkan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan PT Pertamina No. 27 tanggal 19 Desember 2016 memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggara usaha energi. Karena itu, PT Pertamina termasuk perusahaan persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN. Bisnis PT Pertamina terintegrasi dari hulu ke hilir yaitu mulai proses hulu, pengolahan/kilang/refinery, pemasaran/trading, dan distribusi/transportasi/perkapalan.

Pemohon menilai Pemerintah dalam rangka strategi menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan BUMN seharusnya dapat membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/Holding Company. Salah satu tindakan nyatanya membentuk dan menetapkan Subholding dan Anak Perusahaan PT Pertamina (Persero) sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Direksi Pertamina (Persero) Nomor Kpts-18/C00000.2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT.

Pertamina (Persero) yaitu Subholding Upstream, Refining, Petrochemical, Comercial, Trading, Gas, Power NRE, dan Shipping Co. Privatisasi telah direncanakan oleh pemerintah yang akan melakukan Initial Public Offering (IPO) kepada anak dan cucu usaha PT Pertamina Persero di level subholding.

Tags:

Berita Terkait