Ahli: Perppu Pilkada, Subjektivitas Politik Presiden yang Inkonstitusional
Berita

Ahli: Perppu Pilkada, Subjektivitas Politik Presiden yang Inkonstitusional

Perppu Pilkada yang mengakomodir pilkada langsung terancam tidak demokratis dan efektif.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli yang dihadirkan di sidang pengujian Perppu Pilkada, Irman Putra Sidin (kiri), Suparji (tengah) dan M. Asrun (kanan), Kamis (7/1). Foto: Humas MK
Ahli yang dihadirkan di sidang pengujian Perppu Pilkada, Irman Putra Sidin (kiri), Suparji (tengah) dan M. Asrun (kanan), Kamis (7/1). Foto: Humas MK
 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) dan dan  tentang Perubahan atas tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), merupakanhak subjektivitas politik presiden yang sebenarnya inkonstitusional. Sebab, munculnya Perppu itu terkesan dijadikan alat politik presiden untuk mengatasi persoalan.   “Penerbitan Perppu itu   Irman menganggap p   kata Irman yang dihadirkan salah satu pemohon ini.       “Jadi logika hukum atau awam, UU Pilkada itu otomatis tidak berlaku, sehingga kembali ke sistem pilkada langsung,” papar Irman.      Ahli pemohon lainnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Supardji menilai Perppu Pilkada yang mengakomodir pilkada langsung terancam tidak demokratis dan efektif. Selain proses pembahasannya tidak mendalam dan tidak komprehensif, proses DPR hanya persetujuan yang tidak membahas substansi Perppu itu sendiri. “Persoalan ini menjadi kendala bagi KPU untuk membuat aturan turunannya,” kata Supardji.   Selain itu, penyusunan Perppu Pilkada ini tidak dilakukan secara cermat karena ada kesalahan mendasar dari sisi redaksional yakni penggunaan frasa “undang-undang ini” yang menunjuk Perppu ini. Padahal, Perppu Pilkada belum mendapatkan persetujuan DPR untuk menjadi undang-undang. “Penggunaan bahasa seharusnya memperhatikan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”   “Karena itu, saya berpendapat Perppu Pilkada sebaiknya dikaji ulang atau dibatalkan karena tidak memberi pedoman dan dasar hukum yang kuat dalam penyelenggaraan pilkada yang demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,” harapnya.      

“Kita meminta MK agar segera memutus pengujian kedua Perppu ini. Soalnya, pada 12 Januari 2015, DPR akan segera bersidang,” ujar salah satu pemohon, Didik Supriyadi.

Menanggapi permintaan itu, Arief mengatakan MK tidak bisa diburu-buru untuk segera memutuskan perkara ini karena masih ada tahapan yang harus dilalui. Nantinya, pengujian Perppu ini akan dirapatkan terlebih dahulu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.

“Kalau tidak ada ahli yang dihadirkan lagi, para pemohon termasuk pemerintan agar menyerahkan kesimpulan paling lambat Kamis 15 Januari kepada Kepaniteraan MK,” kata Arief.     

Pengujian Perppu Pilkada ini diajukan oleh delapan pemohon diantaranya Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang teregister dengan No. 118/PUU-XII/2014; Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah  (No. 119/PUU-XII/2014); Edward Dewaruci dan Doni Istyanto Hari Mahdi (No. 125/PUU-XII/2014); Edward Dewaruci dan Doni Istyanto Hari Mahdi pemohon (No. 126/PUU-XII/2014), mantan anggota DPR Didi Supriyadi dan Abdul Khalik Ahmad (No. 127/PUU-XII/2014).  

Meski mendukung pilkada langsung, secara umum para pemohon menilai pembentukan kedua Perppu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu cacat prosedural. Sebab, pembentukannya tidak didasari pada keadaan kegentingan yang memaksa dan kekosongan hukum yang merupakan syarat dikeluarkan sebuah Perppu. Karenanya, para memohon meminta MK membatalkan Perppu Pilkada itu.
Pengamat Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin menilai penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2014Perppu Nomor 2 Tahun 2014UU Nomor 23 Tahun 2014

cenderung kepentingan politik pribadi atas ketidaksetujuan (pilkada tidak langsung) atas keputusan DPR. Ini subjektivitas politik presiden,” ujar Irman saat hadir sebagai ahli di sidang pengujian Perppu Pilkada dan UU Pemda di ruang sidang MK, Kamis (8/1).

enerbitan kedua Perppu itu tidak didasari kepentingan hak subjektif konstitusional presiden. Sebab, proses penerbitan Perppu itu tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa dan kekosongan hukum seperti yang ditentukan dalam UUD 1945 dan putusan MK.   

“Sesuai putusan MK, pembentukan Perppu Pilkada tidak didasari adanya kebutuhan yang mendesak atau unsur mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Jadi, sebenarnya penerbitan Perppu itu inkonstitusional, bahkan bisa dikatakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang sesungguhnya inkonstitusional,”

Menurut dia, jika permohonan ini dikabulkan tidak akan terjadi kekosongan hukum terkait sistem pilkada. Sebab, dalam Perppu Pilkada ada klausul yang mencabut berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota yang mengatur pilkada melalui DPRD.


Sebagai rujukan, Irman menyebut putusan MK yang membatalkan UU Ketenagalistrikan pada tahun 2008. Dalam putusan itu disebutkan untuk mengisi kekosongan hukum akibat dibatalkannya UU Ketenagalistrikan, peraturan sebelum dinyatakan kembali berlaku. “Jadi, sebenarnya tidak ada kekosongan hukum apabila Perppu itu dibatalkan,” katanya.

Tidak Demokratis






Dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat ini, sebagian pemohon meminta agar MK segera memutus pengujian kedua Perppu tersebut. Soalnya, mulai 12 Januari 2015, DPR akan kembali bekerja dan memulai masa sidang.
Tags:

Berita Terkait