“Kita meminta MK agar segera memutus pengujian kedua Perppu ini. Soalnya, pada 12 Januari 2015, DPR akan segera bersidang,” ujar salah satu pemohon, Didik Supriyadi.
Menanggapi permintaan itu, Arief mengatakan MK tidak bisa diburu-buru untuk segera memutuskan perkara ini karena masih ada tahapan yang harus dilalui. Nantinya, pengujian Perppu ini akan dirapatkan terlebih dahulu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.
“Kalau tidak ada ahli yang dihadirkan lagi, para pemohon termasuk pemerintan agar menyerahkan kesimpulan paling lambat Kamis 15 Januari kepada Kepaniteraan MK,” kata Arief.
Pengujian Perppu Pilkada ini diajukan oleh delapan pemohon diantaranya Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang teregister dengan No. 118/PUU-XII/2014; Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah (No. 119/PUU-XII/2014); Edward Dewaruci dan Doni Istyanto Hari Mahdi (No. 125/PUU-XII/2014); Edward Dewaruci dan Doni Istyanto Hari Mahdi pemohon (No. 126/PUU-XII/2014), mantan anggota DPR Didi Supriyadi dan Abdul Khalik Ahmad (No. 127/PUU-XII/2014).
Meski mendukung pilkada langsung, secara umum para pemohon menilai pembentukan kedua Perppu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu cacat prosedural. Sebab, pembentukannya tidak didasari pada keadaan kegentingan yang memaksa dan kekosongan hukum yang merupakan syarat dikeluarkan sebuah Perppu. Karenanya, para memohon meminta MK membatalkan Perppu Pilkada itu.
cenderung kepentingan politik pribadi atas ketidaksetujuan (pilkada tidak langsung) atas keputusan DPR. Ini subjektivitas politik presiden,” ujar Irman saat hadir sebagai ahli di sidang pengujian Perppu Pilkada dan UU Pemda di ruang sidang MK, Kamis (8/1).
enerbitan kedua Perppu itu tidak didasari kepentingan hak subjektif konstitusional presiden. Sebab, proses penerbitan Perppu itu tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa dan kekosongan hukum seperti yang ditentukan dalam UUD 1945 dan putusan MK.
“Sesuai putusan MK, pembentukan Perppu Pilkada tidak didasari adanya kebutuhan yang mendesak atau unsur mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Jadi, sebenarnya penerbitan Perppu itu inkonstitusional, bahkan bisa dikatakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang sesungguhnya inkonstitusional,”
Menurut dia, jika permohonan ini dikabulkan tidak akan terjadi kekosongan hukum terkait sistem pilkada. Sebab, dalam Perppu Pilkada ada klausul yang mencabut berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota yang mengatur pilkada melalui DPRD.
Sebagai rujukan, Irman menyebut putusan MK yang membatalkan UU Ketenagalistrikan pada tahun 2008. Dalam putusan itu disebutkan untuk mengisi kekosongan hukum akibat dibatalkannya UU Ketenagalistrikan, peraturan sebelum dinyatakan kembali berlaku. “Jadi, sebenarnya tidak ada kekosongan hukum apabila Perppu itu dibatalkan,” katanya.
Tidak Demokratis
Dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat ini, sebagian pemohon meminta agar MK segera memutus pengujian kedua Perppu tersebut. Soalnya, mulai 12 Januari 2015, DPR akan kembali bekerja dan memulai masa sidang.