Ahli: Wewenang Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA Sudah Ditentukan Pembentuk UU
Terbaru

Ahli: Wewenang Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA Sudah Ditentukan Pembentuk UU

Adanya frasa “mempunyai wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945 itulah yang memungkinkan KY dapat melakukan tugas dan kewenangan lain yang ditentukan oleh UU. Dalam hal ini melakukan seleksi hakim ad hoc di MA sebagaimana yang ditentukan Pasal 13 huruf a UU KY.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit

Menurutnya, pembentuk UU memiliki kewenangan mengatur bagaimana rekrutmen hakim, termasuk hakim ad hoc MA dengan melihat kebutuhan di masyarakat dan tuntutan adanya kualitas, kapasitas, dan profesionalitas hakim yang harus memiliki standar yang terukur dan pasti sebagaimana yang sudah dilakukan KY selama ini dalam melakukan seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc MA.  

Adanya frasa “mempunyai wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945 itulah yang memungkinkan KY dapat melakukan tugas dan kewenangan lain yang ditentukan oleh UU. Dalam hal ini melakukan seleksi hakim ad hoc di MA sebagaimana yang ditentukan Pasal 13 huruf a UU KY. “Dengan demikian, kehadiran KY dalam sistem seleksi hakim ad hoc di MA sudah ditentukan legalitasnya melalui UU No.18 Tahun 2011, bukan kreasi kebijakan yang dibuat sendiri oleh KY,” kata dia.

Hal senada disampaikan ahli yang dihadirkan oleh KY lainnya yakni Sidharta. Ia mengatakan frasa “hakim ad hoc” yang muncul pada Pasal 13 huruf a UU KY tidaklah berinduk pada kewenangan pada objek norma pertama. Frasa hakim ad hoc itu harus dicermati berinduk pada objek norma kedua yaitu KY mempunyai wewenang lain.

“Apa wewenang tersebut? Tidak disebutkan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945. Sekalipun tidak disebutkan, Pasal 24B ayat (1) membingkainya dengan dua kondisi, kondisi norma, ya. Pertama, kondisi bahwa KY harus bersifat mandiri menjalankan kewenangan itu. Kedua, kondisi kedua objek norma itu harus dijalankan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,” kata Sidharta.  

Menurutnya, kondisi norma yang pertama mengkondisikan subjek normanya. Sementara kondisi norma yang kedua mengkondisikan dua objek norma itu bersama‑sama. Sebab, kondisi norma yang kedua ini menggunakan frasa, “…serta perilaku hakim”, bukan dibatasi hanya hakim agung. Artinya, kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung itu harus dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 

Begitu juga dengan kewenangan lain di luar wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Ia menjelaskan kewenangan ini pun sama yaitu dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Menurut Sidharta, Pemohon hanya berfokus pada objek norma yang pertama, bukan pada objek norma yang kedua. 

“Pandangan demikian tidak tepat karena jika demikian halnya, maka semua kewenangan yang dimiliki oleh KY di luar wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, harus juga dianggap sebagai perluasan makna,” lanjutnya.  

Tags:

Berita Terkait