Menurutnya, tidak ada argumentasi yang telah menjustifiklasi bahwa KY dalam menjalankan kewenangannya itu telah melampaui batas kekuasaan publiknya. Ketidaklayakan itu berangkat pula dari catatan tambahan bahwa sistem atau proses seleksi hakim ad hoc di MA pada hakikatnya juga tidak langsung berkaitan dengan kepada siapa wewenang pengusulan pengangkatan itu diberikan. Artinya, tidak ada jaminan jika nanti penyeleksian dilakukan hanya oleh MA, maka seleksinya akan menjadi lebih sederhana.
Permohonan ini diajukan oleh Burhanudin, dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) pada 2016. Dalam permohonannya, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”.
Bagi pemohon, menyamakan hakim ad hoc dengan hakim agung merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan hakim ad hoc bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman.
Berlakunya Pasal 13 huruf a UU KY, secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung, tapi juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim agung dengan hakim ad hoc di MA yang memiliki perbedaan baik secara struktural, status, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan. Karena itu, pemohon meminta MK Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.