Adardam mempertanyakan sikap majelis yang menganggap sidang sudah cukup padahal pemohon dan kuasanya belum menyerahkan keterangan tertulis dari ahli lain yang hendak diajukan. Hakim Mahkamah Konstitusi juga belum mendengar langsung keterangan ahli dimaksud. “Ini sebetulnya sangat tidak pantas dilakukan MK sebagai penjaga konstitusi,” protesnya usai persidangan.
“Kami tetap tidak akan menyerahkan keterangan ahli secara tertulis, buat apa? Apapun keterangan ahli yang disampaikan, hasilnya tetap sesuai penilaian Mahkamah sidang hari ini.”
Dalam persidangan, Hamdan tak menyetujui keinginan kuasa hukum pemohon untuk menghadirkan ahli dalam persidangan karena pemeriksaan persidangan dianggap majelis sudah cukup. Lalu, Hamdan meminta agar pemohon menyerahkan keterangan ahli secara tertulis paling lambat dua minggu bersamaan dengan kesimpulan. Namun, Adardam bersikukuh untuk tetap bisa diizinkan mendengarkan ahli dalam persidangan berikutnya.
Mantan Ketua MK, Akil Mochtar mengajukan permohonan pengujian sembilan pasal UU TPPU. Ia menggugat konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95. Fokus pengujian ini menyangkut polemik tentang tidak wajibnya pembuktian tindak pidana asal (korupsi/teroris) dalam TPPU yang menyertainya karena adanya frasa “patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU.
Akil juga mempersoalkan legalitas kewenangan jaksa KPK menyidik dan menuntut TPPU. Ia meminta MK membatalkan dan meminta tafsir pasal-pasal itu. Penerapan pasal-pasal itu dinilai multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pemohon terutama ketika harta kekayaan yang secara nyata tidak berkaitan dengan korupsi disita dan putusannnya dirampas untuk negara.
Diminta berhati-hati
Berkaitan dengan permohonan ini, pihak terkait meminta majelis MK berhati-hati memutuskan permohonan uji materi sejumlah pasal UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Refki Syahputra yang mewakili Koalisi Masyarakat Anti Pencucian Uang mengatakan permohonan yang diajukan eks Ketua MK Akil Mochtar itu merupakan pasal-pasal “jantung” atau inti dari kriminalisasi pencucian uang. “Kami minta MK agar mempertimbangkan kebutuhan hukum masyarakat yang beresiko lebih besar menjadi korban kejahatan korupsi dan kejahatan kerah putih lain dalam memutus perkara ini,” ujarnya di ruang sidang MK, Selasa (28/10).
Dia menuturkan selama ini kejahatan kerah putih sukses diungkap penggunaan UU TPPU secara maksimal. Seperti kasus mafia pajak Bahasyim, Dana Widiatmika, Joko Susilo, Labora Sitorus, dan lain-lain. Hal ini menunjukan betapa rezim antipencucian uang sangat dibutuhkan untuk menanggulangi kejahatan (kerah putih).
Menurutnya, masyarakat akan beresiko lebih besar lagi sebagai korban kejahatan kerah putih apabila penegakan hukum terhadap tindak pidana asal tidak dibarengi penerapan TPPU. “Negara tidak akan pernah menjerat pelaku utama kejahatan kerah putih jika tidak memaksimalkan UU TPPU,” kata dia.
Tidak bertentangan
Pihak terkait lainnya, Instute for Criminal Justice Reform (ICJR) berpandangan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian sama sekali tidak bertentangan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Misalnya, Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU khususnya yang menyangkut frasa “yang diketahuinya” dan “patut diduganya” merupakan batasan terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena terbukti melakukan aktivitas pencucian uang.
“Delik pencucian uang itu merupakan delik kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa) sekaligus atau disebut pro partus dolus pro partus culpa. Seperti,Pasal 480 KUHP (penadahan) yang memuat frasa ‘yang diketahuinya’ dan ‘harus patut dapat diduga’. Artinya, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban karena kurang hati-hati menilai penitipan barang yang ternyata hasil tindak pidana,” ujar kuasa hukum ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono.
Supriyadi menjelaskan TPPU mirip dengan tindak pidana penadahan yakni tidak perlu membuktikan dan menghukum orang mencuri terlebih dahulu sebelum menuntut dan menghukum orang yang menadah. Hal ini sesuai putusan MA bernomor 79 K/Kr/1958 tertanggal 9 Juli 1958 dan bernomor 126 K/Kr/1969 tertanggal 29 November 1972.
“Pasal 69 UU TPPU yang tidak wajib membuktikan tindak pidana asal pun sebagai bentuk pembarengan tindak pidana yang masing-masing perbuatan berdiri sendiri (concursus realis),” katanya.