Akil Minta Tafsir Penerapan TPPU
Utama

Akil Minta Tafsir Penerapan TPPU

Pemohon diminta mempertajam kerugian konstitusional dan pertentangan normanya.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MK Akil Mochtar. Foto: RES.
Mantan Ketua MK Akil Mochtar. Foto: RES.
Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian sembilan pasal dalamUU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang diajukan mantan Ketua MK M. Akil Mochtar. Akil, yang divonis seumur hidup, merasa dirugikan terkait penerapan TPPU dalam kasus korupsi (suap) sejumlah penanganan sengketa pemilihan kepala daerah di MK.

Secara khusus, Akil memohon pengujian Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95 UU TPPU. Melalui kuasa hukumnya, Akil menilai penerapan sejumlah pasal itu multitafsir yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi dirinya.

“Kita minta pasal-pasal itu ditafsirkan karena penerapan multitafsir,” kata kuasa hukum pemohon, Adardam Achyar dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin M. Alim di ruang sidang MK, Jum’at (29/8). Alim didampingi, Wahidudin Adams dan Aswanto sebagai anggota majelis.

Misalnya, Pasal 69 menyebutkan, “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.” Sementara Pasal 76 menyebutkan, “Penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja….”.

Adardam mengungkapkan fokus pengujian ini menyangkut polemik wajib atau tidaknya pembuktian tindak pidana asal dalam TPPU yang menyertainya dan legalitas kewenangan jaksa KPK dalam menyidik dan menuntut TPPU. Persoalan ini muncul ketika dalam praktik muncul pandangan bahwa dalam TPPU harus dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal.

Misalnya, frasa “atau patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) sangat sulit ditemukan indikatornya secara pasti yang tidak mencerminkan keadilan proporsional bagi pemohon. Faktanya, adanya frasa itu menjadikan jaksa seolah tidak perlu lagi membuktikan adanya mens rea (kesengajaan) dalam TPPU. “Karenanya, frasa ‘patut diduga’ seharusnya dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945,” tutur dia.

Tidak wajbnya pembuktian tindak pidana asal (korupsi/teroris) dalam Pasal 69 UU TPPU dinilai pemohon sebagai akibat adanya frasa “patut diduga” di pasal-pasal sebelumnya. Hal ini bisa berimbas seorang terdakwa dipidana dengan dakwaan (TPPU) yang sebenarnya secara materil belum terbukti. “Seharusnya kata ‘tidak’ dalam Pasal 69 dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” pintanya.

Dia jelaskan kasus yang dialami kliennya (Akil) seolah tidak ada kewajiban penyidik/penuntut membuktikan adanya tindak pidana asal (korupsi). Akibatnya, banyak harta kekayaan pemohon yang secara nyata tidak berkaitan dengan korupsi tetapi disita dan dalam putusannnya dirampas untuk negara. “Ini mencerminkan ketidakadilan,” katanya.

Selain itu, pemohon mempersoalkan kewenangan jaksa KPK dalam menuntut TPPU. Sebab, dalam UU TPPU tidak ada satu pasal pun yang memberi kewenangan kepada jaksa KPK. “Pasal 76 tidak disebutkan tegas siapa yang dimaksud dengan penuntut umum apakah penuntut umum kejaksaan atau KPK. Karenanya, kita minta tafsir yang dimaksud penuntut umum adalah penuntut umum pada Kejaksaan RI, bukan KPK”.

Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU terkait kewajiban terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya yang bukan berasal dari tindak pidana telah ditafsirkan secara luas. Sebab, penerapan kedua pasal itu tidak memberi batasan yang jelas tentang asal-usul harta kekayaan yang mana yang harus dibuktikan? “Kami minta MK mencabut kedua pasal ini karena bertentangan dengan konstitusi.”

“Pasal 95 UU TPPU yang mengatur kewenangan penyidikan dan penuntutan KPK dalam UU TPPU sebelumnya diberlakukan surut dan sudah dicabut melalui Pasal 99 UU TPPU ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945,” katanya.

Anggota Panel Wahidudin Adams meminta agar legal standing (kedudukan hukum) pemohon perlu dipertajam, terutama menyangkut alasan-alasan kerugian konstitusionalnya. “Positanya juga perlu dipertajam menyangkut pertentangan normanya, karena permohonan lebih banyak mengurai penerapan norma yang merugikan pemohon,” kritiknya.

Hakim konstitusi Aswanto juga menyarankan agar pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji perlu dielaborasi lagi agar terlihat pertentangan normanya dan lebih rinci. Dia menilai posita permohonan sudah diuraikan pasal batu uji, tetapi pasal batu uji dalam petitumnya tidak muncul “Ini mesti bisa disempurnakan, ” pintanya.

Seperti diketahui, Akil divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang dengan suara tidak bulat oleh majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Ada dua hakim anggota yang mengajukan perbedaan pendapat (dissenting opinion) yakni Solfiandi dan Alexander Marwata terkait polemik wajib atau tidak membuktikan tindak pidana asal dalam TPPU dan legalitas kewenangan jaksa KPK dalam TPPU.
Tags:

Berita Terkait