Ahli Patologi Sebut Bukti Kematian Mirna Tidak Lengkap
Berita

Ahli Patologi Sebut Bukti Kematian Mirna Tidak Lengkap

Harusnya dilakukan otopsi menyeluruh untuk mengetahui secara pasti penyebab kematian Mirna. Kata jaksa, tidak ada peraturan yang mewajiban.

FNH
Bacaan 2 Menit
Ahli patologi forensik dari Australia dalam persidangan Jessica, di PN Jakarta Pusat,Senin (05/9). Foto: RESFoto
Ahli patologi forensik dari Australia dalam persidangan Jessica, di PN Jakarta Pusat,Senin (05/9). Foto: RESFoto
Penyebab kematian Wayan Mirna Salihin masih terus dipertanyakan tim kuasa hukum terdakwa Jessica Kumala Wongso. Pengacara Jessica, Otto Hasibuan, menyatakan sangsi Mirna menghembuskan nafas terakhir akibat sianida yang bersifat korosif. Apalagi dokter forensik dan toksikolog menyebutkan es kopi vietnam yang masuk ke dalam tubuh Mirna hanya 20 mililiter (ml) dengan kadar sianida di lambung sebesar 0,2 miligram per liter (mg/l). Kadar sianida ini, menurut Otto, terlalu kecil untuk membuat seseorang meninggal dunia.

Dalam persidangan yang digelar Senin (05/9) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kubu Jessica menghadirkan ahli patologi forensik dari Brisbane, Australia, Beng Beng Ong. Ong memberikan keterangan disampingi penerjemah tersumpah. Kepada hakim, Ong mengaku sudah melakukan pemeriksaan 2.500 kasus pasca kematian. Ia bahkan pernah bergabung dalam tim patologi forensik kasus Bom Bali.

Terkait Mirna, Ong telah melakukan analisis terhadap bukti-bukti yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan, terutama bukti pemeriksaan bagian dalam korban yakni lambung, empedu, hati, dan urin. Dijelaskan Ong, sianida adalah racun yang kuat. Jika seseorang terpancar oleh sianida maka gejala seperti muntah dan mual, kesulitan bernafas, sakit kepala dan pusing, dan jika dosis yang ditemukan tinggi, maka seseorang bisa kejang-kejang dan kemudian meninggal dunia.

Seberapa cepat kematian seseorang dikarenakan sianida tergantung bagaimana sianida tersebut masuk ke dalam tubuh, terhirupkah atau melalui mulut. Kematian dengan hitungan detik bahkan menit bisa terjadi jika sianida berbentuk gas terhirup, masuk ke paru-paru dan menyebabkan kematian. Namun jika sianida masuk melalui mulut, proses kematian membutuhkan waktu hingga 30 menit. Perbedaan terjadi, lanjut Ong, karena sianida yang masuk melalui mulut membutuhkan waktu sampai diserap  organ tubuh seperti usus, darah, dan hati.

“Pada awalnya racun tersebut akan dinetralisir oleh jaringan yang ada di hati, jika dosisnya tinggi maka ketika racun sampai ke hati akan melewati hati, masuk ke jantung, akan disebar ke seluruh tubuh. Itulah mengapa sebabnya efek racun yang masuk melalui mulut sedikit lambat. Bisa memakan waktu lima menit atau lebih bahkan hingga beberapa jam,” kata Ong. 
 (Baca juga: Ternyata, Ada ‘Pesanan’ Agar Motif Pembunuhan Mirna Tidak Diungkap)
 
Untuk membuktikan penyebab kematian seseorang, kata Ong, harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti otopsi. Penyebab kematian seseorang tidak bisa disimpulkan dari sisi klinis saja. Atas kematian korban Mirna, Ong mengaku tak bisa menyimpulkan apakah kematian tersebut karena sianida mengingat kematian korban kurang dari lima menit. “Saya kira ini (bukti) tidak memadai. Saya menemukan penyebab kematian yang tidak dapat disimpulkan,” paparnya.

Melihat jumlah sianida yang ditemukan dalam lambung korban, bahkan tidak ditemukannya dalam cairan lambung, Ong mengatakan dirinya tidak mencurigai kematian korban karena sianida. Pertimbangan lainnya yang mungkin terjadi adalah penyebab lain termasuk penyakit bawaan. Jika ingin memastikan, otopsi menjadi jalan utama yang bisa dilakukan.

Ong kemudian menjelaskan ciri-ciri seseorang terkena racun sianida seperti kulit yang berubah menjadi warna merah terang karena sifat sianida yang korosif, terjadi pengikisan pada lapisan lambung, dan jika dilihat di bawah miksroskop akan tampak ciri tertentu seperti bintik-bintik. Bintik-bintik dapat disebabkan oleh keracunan sianida karena beberapa sel akan kehilangan zat warna yang dikenal dengan vakuolusi. “Kalau sel yang terkena sianida tidak berwarna. Ini merupakan ciri khas dari pengikisan pada lapisan lambung yang disebabkan oleh sianida,” jelas Ong.

Berdasarkan data yang dia terima, Ong menegaskan ciri tersebut tidak dijelaskan oleh ahli toksikologi Indonesia. Ciri lainnya, terciumnya bau seperti kacang almond pahit, juga tidak diuraikan dalam BAP. Padahal, kata Ong, bau almond pahit akan tercium pada tubuh seseorang yang meninggal karena sianida. “Tapi dalam laporan tidak dijumpai ciri-ciri tersebut (keracunan sianida) pasca kematian korban,” tuturnya.

Ong juga menjelaskan seeorang yang diduga meninggal dunia karena sianida, kadar racun akan ditemukan di dalam darah dan organ penting seperti hati, ginjal, empedu, dan jantung. Sianida melalui mulut baru akan memiliki efek jika sudah menyebar ke seluruh tubuh. Bahkan, tingkat sianida yang ditemukan dalam lambung kadarnya bisa sangat tinggi.
(Baca juga: Pengacara Jessica Pertanyakan Bukti Transkrip ‘Ciuman’ Jessica)
 
Karena tak ada proses otopsi, maka Ong menilai penyebab kematian alami juga tidak dapat dikesampingkan. Temuan khas kematian sianida juga tidak ditemukan dalam laporan BAP, dan pemeriksaan hanya dilakukan sebatas bagian perut.

Hasil pemeriksaan yang dilakukan toksikolog forensik, Nursarman Subandi, menunjukkan Mirna meninggal karena zat korosif dan mematikan yakni racun sianida alias natrium sianida (NaCl). Kandungan sianida yang ditemukan di dalam tubuh Mirna 297,6 mg/l. Di dalam lambung ditemukan sianida sebesar 0,2 mg/l. Adapun jumlah cairan es kopi Vietnam yang masuk ke dalam lambung Mirna, sesuai perkiraan toksikolog, adalah 20 ml.

Terbentuk Sianida Pasca Kematian
Dalam laporan yang dia terima, Ong menjelaskan pengikisan adalah salah satu ciri kematian karena sianida. Temuan ini dilakukan setelah korban meninggal selama tiga hari dan diberikan formalin. Temuan erosi itu, lanjut Ong, agaknya tidak lazim jika diasumsikan bahwa penyebab kematian korban adalah karena sianida karena volume sianida dalam kopi yang diminum korban hanya sedikit.

Pengikisan yang terjadi di lambung harus dilihat dengan lebih teliti. Keracunan sianida memang menyebabkan terjadinya pengikisan. Namun pengikisan terjadi hanya pada satu tempat yang terpapar sianida. “Tidak menyeluruh,” terang Ong.

Sianida yang ditemukan oleh toksikolog dan diuraikan dalam BAP, bisa juga disebabkan oleh pemberian formalin pasca kematian. Apalagi keterangan dalam BAP juga tidak menjelaskan deskripsi mikroskopi dari vakuolasi sel dasar. Sehingga sianida yang terdeteksi dalam tubuh lambung korban belum tentu karena masuknya sianida melalui mulut.

Berdasarkan pengalaman dan beberapa artikel mengenai korban yang meninggal karena sianida, Ong menerangkan harusnya ditemukan tingkat sianida yang tinggi dan bisa mencapai 1000 mg/liter. Selain lambung, tingkat kandungan racun pada empedu dan hati korban harusnya positif dan tidak tergantung pada seberapa cepat korban meninggal dunia. “Sianida dapat dihasilkan pasca kematian. Dan ini (Mirna) hanya ditemukan 0,2 mg/l, harusnya bisa sampai 100 mg/l,” paparnya.

Untuk mempertegas keterangannya, Ong menunjukkan kepada majelis hakim hasil simposium dalam bidang toksikologi forensik pada 1972 yang menjelaskan sianida bisa terbentuk pasca kematian. Meskipun sudah lama, Ong meyakinkan hingga kini belum ada yang membantah hasil simposium tersebut.

Tak Wajib Otopsi Penuh
Menanggapi keterangan Ong, JPU Ardito Muwardi mengakui otopsi secara keseluruhan adalah cara yang tepat untuk menemukan penyebab kematian Mirna. Hal ini juga diakui oleh toksikolog forensik Nursamran Subandi dalam keterangan sebelumnya. Namun karena penolakan dari keluarga korban, otopsi keseluruhan tidak bisa dilakukan. Lagi pula tak ada aturan hukum yang mengharuskan otopsi. Tetapi poin pentingnya adalah keterangan Ong juga tidak membantah penyebab kematian Mirna adalah karena racun sianida. Ong hanya meragukan dan mengatakan bahwa penyebab kematian tidak dapat disimpulkan.

“Tidak ada aturan hukum yang mengharuskan otopsi penuh di Indonesia, tapi di beberapa Negara ada. Tidak dilakukan otopsi tapi bisa meneliti kondisi jenazah. Cuma memang otopsi sebaiknya dilakukan. Tapi ada penolakan dari keluarga,” kata Ardito.
Tags:

Berita Terkait