​​​​​​​Ajudikasi Khusus Ombudsman Vs Komitmen Pelayanan Publik Oleh: Dominikus Dalu Sogen*)
Kolom

​​​​​​​Ajudikasi Khusus Ombudsman Vs Komitmen Pelayanan Publik Oleh: Dominikus Dalu Sogen*)

Penerapan UU Pelayanan Publik yaitu kewenangan ajudikasi khusus oleh Ombudsman memiliki beberapa implikasi.

Bacaan 2 Menit

 

Tawaran Solusi

Penulis teringat ketika rancangan UU Pelayanan Publik sedang dalam pembahasan sekitar tahun 2007 oleh wakil pemerintah yakni Kementerian PAN pada saat itu. Prof. Sunaryati Hartono, wakil ketua Ombudsman RI (2000-2011), sudah sejak awal menyampaikan keberatan tentang kewenangan AK. Menurut beliau dengan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh UU Ombudsman RI sudah cukup berat melihat kondisi pelayanan publik di negara ini agar tidak ditambah kewenangan AK.

 

Hal ini juga berkaca pada negara lain yang tradisi Ombudsman nya sudah relatif lebih lama bahkan pada Ombudsman klasik di negara asalnya Swedia, tidak ada satupun Ombudsman di dunia memiliki kewenangan melakukan AK. Demikian pula beberapa pakar hukum administrasi negara berpendapat serupa bahwa tidak perlu menambah kewenangan AK. Pendapat ini lebih pada AK adalah mekanisme yang tidak lazim oleh Ombudsman yang adalah lembaga pemberi pengaruh (magistrature of influence) dan bukan mahkamah pemberi sanksi (magistrature of sanction).

 

Selain karena dalam praktiknya akan tidak mudah seperti soal anggaran, hal lain adalah menentukan besaran ganti rugi imaterial akan mengalami kesulitan. Walaupun untuk kerugian materiil relatif bisa dilakukan dengan mekanisme dan sumber daya yang ada saat ini. Akan tetapi mengingat kewenangan AK sudah merupakan kewenangan yang dimandatkan oleh UU Pelayanan Publik dan sampai sekarang masih berlaku maka menjadi kewajiban semua pihak untuk menjalankan mandat tersebut.

 

Salah satu kesulitan selama ini mengenai penganggaran ganti rugi kiranya dapat diterobos dengan cara bahwa ganti rugi tersebut dibebankan kepada pejabat publik yang melakukan pelanggaran sehingga bukan diambil dari anggaran negara. Hal ini merupakan bagian dari liability atau pertanggungjawaban pribadi dari pejabat bersangkutan agar memenuhi kewajiban hukumnya sebagai pejabat publik secara sungguh-sungguh. Tinggal dirumuskan dalam rancangan perpres tentang hal tersebut termasuk derajat tanggung jawab pejabat publik misalnya ditarik sampai pada dua level di atasnya.

 

Sebagai contoh dalam kasus OTT KPK terhadap Kalapas Sukamiskin, selain Kalapasnya yang jelas dicopot dan diproses secara hukum maka Kadiv Pemasyarakatan dan Kakanwil Hukum dan HAM Propinsi Jawa Barat ikut bertanggung jawab secara administrasi dengan dibebastugaskan.

 

Walaupun perlu dipikirkan jumlah ganti ruginya agar tidak terlalu besar misalnya maksimal 50 juta rupiah seperti yang berlaku di beberapa tribunal pelayanan publik di Australia, karena sifatnya selain sanksi administrasi membayar ganti rugi juga sanksi moral sebagai rekam jejak pejabat/petugas bersangkutan.

 

Bila masyarakat belum puas maka dimungkinkan untuk upaya hukum sebagaimana mandat UU Pelayanan Publik. Hal ini juga sebagai wujud komitmen pelayanan publik menuju birokrasi yang bersih, melayani dan bebas dari korupsi yang adalah merupakan tujuan dari reformasi birokrasi dan revolusi mental.

Tags:

Berita Terkait